"Dua gadis bersaudara itu adalah adik kandung Pangeran Zainudin. Yang sulung berusia hampir 20 tahun. Namanya Siti. Warna kulitnya berada di antara putih bening dan kuning langsat. Seluruh perawakannya dibalut keanggunan. Setiap lekuknya begitu indah, mengungguli apa pun yang memiliki daya tarik dan melampaui segala yang memikat.
Sedangkan yang bungsu bernama Zein. Tuhan menciptakan Zein lebih cantik dan lebih anggun dari berbagai sisi dibanding kakaknya. Tubuh Zein indah, langsing berisi.
 Kulitnya yang halus putih bercahaya dan kemerah-merahan manakala diterpa panas matahari atau cuaca dingin. Sepasang matanya lebar, dengan bola mata hitam, seperti sengaja diciptakan Allah agar menjadi bingkai yang mencolok bagi wajahnya nan putih. Sesekali beberapa helai rambut jatuh terurai di wajahnya bagai senja yang ingin mempertemukan siang dengan malam hari.
Bibir Zein merah delima. Pipi putih bersih, bersemburat rona merah dadu. Setiap orang yang menatapnya pasti terbuai dan terhanyut, terengah-engah terbawa arus daya pikatnya yang melumpuhkan." Hal. 6.
Karena kecantikan mereka begitu terkenal ke seluruh Jazirah. Siti dan Zein dilarang kakaknya Pangeran Zainudin keluar dari Istana. Tidak seorang pun yang bukan mahram boleh melihat wajah keduanya. Jangankan melihat wajah mereka, melintas depan kamarnya saja tidak diperkenankan. Hingga pesta musim semi tahunan pun tiba. Mereka sadar mereka cantik jelita dan ingin mendapatkan lelaki yang tampan rupawan dan sepadan dengan kecantikan yang mereka miliki. Mereka ingin mencari kriteria lelaki yang mereka inginkan di pesta musim semi. Hingga Siti dan Zein pun melakukan penyamaran menjadi laki-laki dan bergabung dengan barisan laki-laki.
Sebaliknya Tajudin dan sahabatnya Mamu, dua pemuda tampan yang juga menyamar jadi perempuan. Delapan mata itu saling bertemu ketika Siti dan Zein hendak balik ke istana sebab kakaknya Pangeran Zainudin akan segera pulang dari berburu. Herannya, Tajudin dan Mamu jatuh pingsan melihat ketampanan dua laki-laki yang belum pernah mereka lihat. Siti dan Zein iba melihat mereka pingsan, dan penasaran siapa dua perempuan yang terkulai itu. Akhirnya karena rasa iba, mereka menukarkan cincin mereka dengan cincin dua perempuan yang jatuh ke tanah dan tak sadarkan diri.
Tajudin dan Mamu jatuh sakit. Â Siti dan Zein masih penasaran dengan dua perempuan yang tak sadarkan itu. Hingga mereka mengutus pembantu istana seorang nenek tua untuk menemukan perempuan yang sebenarnya adalah laki-laki. Nenek tua pun menyamar jadi tabib keliling demi memenuhi rasa penasaran dua putri cantik di istana.
Awalnya kisah ini adalah mulus-mulus saja. Namun, yang membuat kisah ini dengan sad ending adalah sosok Bakar, pemilik hati keji dan tukang fitnah.
Karena fitnah Bakar itulah yang membuat kisah cinta antara Mamu dan Zein ini menyedihkan, dikungkung rindu dan kasih yang tak sampai. Bahkan sebenarnya pangeran Zainuddin pun telah setuju dari jauh hari. Akan tetapi,
"Demi Tuhan, aku memang berencana mengawinkan Zein dengan Mamu. Aku mau mengadakan pesta untuk keduanya dalam waktu dekat. Tapi, hari ini, aku bersumpah, demi keagungan leluhurku di dunia ini, tak akan kubiarkan itu terjadi walau jalan yang akan kuhadapi penuh genangan darah. Jika ada yang menjadi perantara bagi keduanya, siapa pun, berarti ia sudah bosan hidup. Karena ia akan berhadapan denganku!" Hal. 64.
 Begitu ucapan Pangeran Zainudin setelah mendengar fitnah yang diutarakan oleh Bakar. Meletup!
Hingga Zein pun semakin ketat penjagaannya. Semakin tidak boleh keluar istana. Namun suatu hari takdir mempertemukan Mamu dan Zain di taman istana, mengobati kerinduan yang berkecamuk di antara keduanya yang telah lama dikungkung kekuasaan Pangeran Zainudin. Â Bahkan Mamu jatuh pingsan kedua kalinya oleh kecantikan Zein yang ia lihat di taman istana. Setelah ia sadar ia tidak percaya sama sekali yang sedang memangku dirinya adalah Zein.
"Ya. Aku Zein, kekasihku. Aku nyata. Sekarang kita berdua berada di taman halaman istana. Sadarlah." Â Hal. 91.
Setelah pertemuan itu hanyalah kesedihan yang menimpa keduanya. Kawan, usahlah aku teruskan semuanya, biarlah kamu baca sendiri saja. Karena ini hanyalah resensi, bukan menceritakan ulang keseluruhan isi.
Setting Tempat: Aku akui, Syekh Buthi amat piawai mendeskripsikan tempat dalam kisah ini. Cara beliau bercerita tentang keindahan istana Jazirah Buton, hingga aku bisa membayangkan sebuah istana yang megah dan indah. Aku ikut larut dalam tempat yang beliau uraikan.