Mohon tunggu...
Daud Amarato D
Daud Amarato D Mohon Tunggu... Warga Belajar -

Aktif memotret berbagai fenomena sosial di lapangan. “Segala sesuatu ADA WAKTUNYA”

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Masa Kampanye yang Panjang Menimbulkan Masalah Baru

25 Februari 2019   12:09 Diperbarui: 1 Maret 2019   11:08 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: fin.co.id

Masa kampanye Pemilihan Umum (pemilu) tahun 2019 resmi ditetapkan KPU RI tanggal 23 September 2018 hingga 13 April 2019. Secara akumulatif, sekitar 6 bulan 3 minggu (hampir 7 bulan), waktu ini cukup panjang untuk kampanye Pemilu Tahun 2019.

Masa kampanye dalam waktu yang lama ini diharapkan dapat dimanfaatkan dengan baik oleh calon presiden (capres) dan calon legislatif (caleg) melalui partai politik (parpol) pendukung dan tim kampanye masing-masing. Diharapkan pula dengan tersedianya waktu kampanye yang panjang ini akan menjangkau seluruh lapisan warga untuk melakukan sosialisasi visi, misi dan rencana program pembangunan pada lima tahun ke depan.

Kesempatan kampanye itu mestinya diisi dengan hal-hal substansi maupun pertarungan ide dan gagasan antarkandidat serta timnya, guna mencerdaskan warga dalam menentukan pilihan yang tepat. Namun faktanya dalam masa kampanye yang panjang ini, para kandidat maupun tim kampanye terkesan kehabisan bahan untuk kampanye.

Akibatnya mereka cukup sibuk bertengkar tentang hal-hal yang receh, berbalas puisi, saling melapor ke polisi untuk hal-hal yang bisa diabaikan, mengumbar pernyataan yang cenderung menguatirkan warga awam, dan berbagai urusan receh lainnya. Bahkan saling mengungkit masalah-masalah pribadi yang cenderung berupa hoax dan tidak pada tempatnya. Selama masa kampanye kita disuguhkan drama saling melayani dalam hal hoax dan bertengkar tentang hal-hal receh antar tim kampanye.

Memperdebatkan hal-hal yang receh bisa saja memiliki keasyikan tersendiri bagi tim kampanye. Namun jangan lupa bahwa saling meladeni dalam hal receh oleh para politisi, telah mempertontonkan hal-hal yang kurang mendidik bagi masyarakat umum. Hal demikian, dapat memicu grassroot untuk ikut-ikutan memperdebatkan hal-hal yang kurang bermanfaat. Bahkan dapat memicu konflik horizontal di tingkat grassroot.

Fenomena di atas bisa diadopsi dan diadaptasi oleh warga dalam urusan politik di tingkat daerah dan desa, bahkan di tingkat pemilihan ketua RT atau kelompok kecil lainnya. Masa kampanye yang panjang itu memberikan pendidikan politik yang kurang berkualitas sebagaimana yang diharapkan.

Sangat kuat kesan bahwa pertengkaran antar tim kampanye merupakan salah satu cara mereka untuk mengisi waktu kampanye yang panjang. Dari kejadian ini saya menduga bahwa munculnya berbagai masalah yang receh itu disebabkan oleh karena waktu kampanye yang terlalu panjang. Dengan demikian, saya berharap agar masa kampanye dipersingkat pada pemilu yang akan datang.

Selain terjebak dalam hal-hal receh untuk mengisi masa kampanye yang panjang sebagaimana terurai di atas, fakta lain yang ditemukan bahwa masa kampanye yang panjang dapat menelan biaya politik yang sangat mahal.

Misalkan untuk tim kampanye dari 1 paket capres berkampanye dalam sehari pada 514 kab/kota/kotif hanya pada 1 titik kampanye dengan biaya hanya Rp 10.000.000,- per 1 kali kampanye, maka selama masa kampanye 203 hari kalender (6 bulan, 3 minggu) pada 509 Kab/Kota dan 5 Kota Administratif (Kotif) di wilayah DKI Jakarta, dapat menghabiskan biaya sebesar Rp 1.043.420.000.000,- untuk 1 paket capres (diperoleh dari: 514 kab/kota/kotif x 1 titik x Rp 10.000.000 x 203 hari). Jika 2 paket capres dapat menelan biaya kampanye sekitar Rp 2.086.840.000.000,-.

Biaya kampanye yang lebih dari 2 triyunan itu baru hanya untuk 1 titik kampanye pada setiap kabupaten/kota/kotif, jika 10 titik untuk masing-masing kab/kota/kotif maka akan amblas biaya sekitar 30-an triiyun rupiah. Jika puluhan titik kampanye dan seterusnya pada setiap kab/kota/kotif, dapat kita bayangkan betapa besarnya biaya politik yang harus dihabiskan hanya untuk kampanye pada masa kampanye yang panjang ini.

Belum lagi jika biaya kampanye lebih besar dari 10 juta rupiah per titik kampanye, tentu biayanya akan jauh lebih besar. Mudah-mudahan biaya kampanye tersebut kurang dari 10 juta rupiah per titik.

Jika seandainya anggaran yang sebesar puluhan bahkan ratusan trilyun rupiah itu disumbangkan untuk membangun jalan raya, irigasi atau infrastruktur lainnya, atau jika disumbangkan kepada petani atau PKL untuk modal pengembangan usaha, maka akan memiliki nilai manfaat yang lebih tinggi.

Sumber gambar: fin.co.id
Sumber gambar: fin.co.id
Memang tidak semua biaya di atas, berasal dari kas negara. Sebab sebagian besar biaya itu berasal dari kas parpol, capres, caleg, tim kampanye dan para donatur tertentu. Tetapi secara ekonomi, hal ini tetap tergolong biaya tinggi dan boros.

Kita berharap semua biaya kampanye yang sebesar puluhan atau ratusan trilyun rupiah itu berasal dari cash money para capres dan caleg yang sudah secara khusus siap dikorbankan untuk urusan politik tanpa mengharapkan untuk kembali dan bukan hutang. Jika tidak demikian, maka tak usah heran apabila di kemudian hari terjadi penyelewengan uang negara.

Demikian pula, apabila kita menghitung nilai ekonomi dari waktu yang dihabiskan oleh warga untuk menghadiri pertemuan kampanye dari satu titik ke titik berikutnya selama masa kampanye 6 bulan 3 minggu (riilnya 29 minggu). Tentu nilainya sangat tidak seimbang dengan 1 bungkus nasi dan 1 botol air mineral yang diperolehnya dalam pertemuan-pertemuan politik tersebut.

Misalkan dalam seminggu warga menghabiskan 6 jam kerja untuk menghadiri pertemuan politik maka kita bisa membayangkan pengorbanan yang diberikan secara ekonomi sebesar 6 jam x 29 minggu, maka jumlah waktu yang dihabiskan menjadi 174 jam per orang.

Jika diandaikan hanya 10 juta warga RI yang aktif mengikuti pertemuan politik dengan jam kampanye minimalis di atas, maka ada sekitar 1.740.000.000 jam waktu kerja yang tersedot untuk urusan kampanye. 

Lalu waktu yang sebanyak 1.740.000.000 jam itu dibagi dengan waktu kerja sebulan sebesar 173 jam kerja reguler, maka diperoleh 10.057.803 bulan. Selanjutnya bila waktu 10.057.803 bulan ini dikali dengan Rp 2.260.225 (rerata UMP Nasional, BPS, 2018), maka diperoleh nilai sebesar Rp 22.732.897.785.675,- singkatnya lebih dari 22,7 trilyun rupiah yang harus dihabiskan akibat waktu kampanye yang terlalu panjang itu.

Pengorbanan secara ekonomis di atas mestinya bisa dikurangi karena pada zaman now, masyarakat sudah bisa mengakses semua visi, misi dan rencana program pembangunan nasional melalui berbagai media massa dan media sosial dengan biaya yang jauh lebih murah.

Kita belum menghitung biaya operasional maupun biaya pragmatis yang akan ditumpahkan pada tanggal 17 April 2019. Dengan demikian kita bisa bayangkan betapa besarnya biaya politik akibat masa kampanye yang panjang (selama 6 bulan, 3 minggu) pada Pemilu Tahun 2019 ini.

Kita juga belum menghitung biaya subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang dihabiskan oleh para caleg dan tim kampanye selama 6 bulan 3 minggu. Setiap hari mereka mengunjungi warga dari rumah ke rumah hingga titik-titik terjauh yang dapat menghabis BBM dalam jumlah yang besar.

Sebagai informasi tambahan, Subsidi BBM tahun 2018 sebesar Rp 2.000,- per liter untuk solar (merdeka.com dalam Liputan6, 01/08/2018) dan subsidi tersebut naik pada tahun 2019 akibat kenaikan nilai dollar terhadap rupiah.

Sekadar untuk ingat saja bahwa pada pemilu 2019, jumlah Caleg DPR RI sebanyak 7.068 orang; calon DPD RI sebanyak 807 orang; ribuan calon DPRD Provinsi yang merebut 2.207 kursi; serta puluhan ribu calon DPRD Kab/Kota yang memperbutkan 17.610 kursi (KPU RI, 2018, saya belum sempat menjumlahkan total caleg DPRD Provinsi/Kab/Kota).

Katakanlah bahwa jika masing-masing calon mengeluarkan 5 liter BBM per hari untuk urusan politik, maka bisa dibayangkan sekitar ratusan ribu liter BBM per hari dikalikan dengan subsidi Rp 2.000,- per liter dan dikalikan lagi dengan 203 hari kampanye, maka dihabiskan milyaran rupiah untuk subsidi BBM dalam masa kampanye yang panjang tersebut. Belum terhitung penggunaan BBM oleh para Tim Kampanye non caleg, yang jumlahnya kurang lebih sama dengan jumlah caleg di atas.

Dari perhitungan kasar dan sederhana di atas, sudah dapat memberikan gambaran tentang betapa tingginya biaya politik yang harus dikorbankan akibat lamanya masa kampanye tahun 2019.

Saya tidak mempersoalkan tentang adanya biaya politik di atas. Sebab biaya politik itu hal pasti yang harus dikeluarkan. Namun hal yang menjadi persoalan adalah biaya itu terlalu besar akibat lamanya masa kampanye. Jika masa kampanye lebih dipersingkat, tentu besaran biaya politiknya akan semakin berkurang.

Semakin signifikan penurunan jumlah hari dalam masa kampanye, akan semakin signifikan pula penurunan biaya politik. Dengan makin kecilnya biaya politik yang dikeluarkan, kita berharap peluang penyelewengan uang negara akan semakin kecil pula.

Berkaca dari gambaran di atas, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa masa kampanye yang panjang (6 bulan 3 minggu) dapat menimbulkan beberapa masalah baru, sebagai berikut:

Pertama, masa kampanye yang panjang dapat menjebak tim kampanye dalam urusan politik yang receh. Jika waktunya lebih singkat, maka mereka akan menggunakan waktu dengan lebih efektif dan akan lebih fokus pada hal-hal yang substantif ketimbang sibuk dengan hal-hal yang receh.

Kedua, masa kampanye yang panjang dapat membuat banyak warga meninggalkan kegiatan produktifnya, karena terjebak dalam dinamika politik. Hal ini dapat mendatangkan kerugian secara ekonomi bagi warga yang bersangkutan.

Ketiga, masa kampanye yang panjang dapat menyebabkan makin menumpuknya hutang ekonomi dan hutang jasa dari para caleg dan capres. Hal ini akan menjadi beban tersendiri kelak di saat kandidat yang bersangkutan telah menjadi pejabat politik.

Keempat, masa kampanye yang panjang dapat berakibat sangat tingginya biaya politik yang berpotensi terjadinya penyelewengan uang negara, di kala kandidat yang bersangkutan menduduki jabatan politik tertentu. Sebab mereka perlu mengembalikan kerugian dan harus membayar hutang-hutangnya.

Parahnya lagi biaya politik yang tinggi itu tak seimbang dengan kualitas pendidikan politik yang peroleh warga selama masa kampanye.

Sementara itu, jika masa kampanye lebih singkat akan menghabiskan biaya politik yang lebih murah. Dengan demikian bisa memperkecil peluang penyelewengan uang negara.

Berdasarkan pemikiran di atas, waktu kampanye tidak perlu lama. Kampanye dan sosialisasi visi, misi dan rencana program pembangunan bisa tersampaikan melalui pemanfaatan media massa dan berbagai media sosial secara kreatif pada era digital ini.

Dengan cara ini, masyarakat akan dapat mengakses dengan mudah semua informasi politik setiap saat dengan biaya yang jauh lebih murah.

Hal pasti bahwa dengan adanya kemajuan teknologi informasi di era digital ini, sudah terbuka ruang akses yang efektif bagi semua warga untuk mengetahui materi kampanye, dengan biaya yang lebih murah.

Keputusan final tentang berapa lama masa kampanye pada pemilu yang akan datang, kita serahkan kepada KPU RI dan pihak terkait yang memiliki kewenangan untuk mengatur hal ini. Semoga mereka diberikan hikmat dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan yang tepat.

Salam demokrasi.

Daud Amarato D.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun