Sekadar untuk ingat saja bahwa pada pemilu 2019, jumlah Caleg DPR RI sebanyak 7.068 orang; calon DPD RI sebanyak 807 orang; ribuan calon DPRD Provinsi yang merebut 2.207 kursi; serta puluhan ribu calon DPRD Kab/Kota yang memperbutkan 17.610 kursi (KPU RI, 2018, saya belum sempat menjumlahkan total caleg DPRD Provinsi/Kab/Kota).
Katakanlah bahwa jika masing-masing calon mengeluarkan 5 liter BBM per hari untuk urusan politik, maka bisa dibayangkan sekitar ratusan ribu liter BBM per hari dikalikan dengan subsidi Rp 2.000,- per liter dan dikalikan lagi dengan 203 hari kampanye, maka dihabiskan milyaran rupiah untuk subsidi BBM dalam masa kampanye yang panjang tersebut. Belum terhitung penggunaan BBM oleh para Tim Kampanye non caleg, yang jumlahnya kurang lebih sama dengan jumlah caleg di atas.
Dari perhitungan kasar dan sederhana di atas, sudah dapat memberikan gambaran tentang betapa tingginya biaya politik yang harus dikorbankan akibat lamanya masa kampanye tahun 2019.
Saya tidak mempersoalkan tentang adanya biaya politik di atas. Sebab biaya politik itu hal pasti yang harus dikeluarkan. Namun hal yang menjadi persoalan adalah biaya itu terlalu besar akibat lamanya masa kampanye. Jika masa kampanye lebih dipersingkat, tentu besaran biaya politiknya akan semakin berkurang.
Semakin signifikan penurunan jumlah hari dalam masa kampanye, akan semakin signifikan pula penurunan biaya politik. Dengan makin kecilnya biaya politik yang dikeluarkan, kita berharap peluang penyelewengan uang negara akan semakin kecil pula.
Berkaca dari gambaran di atas, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa masa kampanye yang panjang (6 bulan 3 minggu) dapat menimbulkan beberapa masalah baru, sebagai berikut:
Pertama, masa kampanye yang panjang dapat menjebak tim kampanye dalam urusan politik yang receh. Jika waktunya lebih singkat, maka mereka akan menggunakan waktu dengan lebih efektif dan akan lebih fokus pada hal-hal yang substantif ketimbang sibuk dengan hal-hal yang receh.
Kedua, masa kampanye yang panjang dapat membuat banyak warga meninggalkan kegiatan produktifnya, karena terjebak dalam dinamika politik. Hal ini dapat mendatangkan kerugian secara ekonomi bagi warga yang bersangkutan.
Ketiga, masa kampanye yang panjang dapat menyebabkan makin menumpuknya hutang ekonomi dan hutang jasa dari para caleg dan capres. Hal ini akan menjadi beban tersendiri kelak di saat kandidat yang bersangkutan telah menjadi pejabat politik.
Keempat, masa kampanye yang panjang dapat berakibat sangat tingginya biaya politik yang berpotensi terjadinya penyelewengan uang negara, di kala kandidat yang bersangkutan menduduki jabatan politik tertentu. Sebab mereka perlu mengembalikan kerugian dan harus membayar hutang-hutangnya.
Parahnya lagi biaya politik yang tinggi itu tak seimbang dengan kualitas pendidikan politik yang peroleh warga selama masa kampanye.