Mohon tunggu...
Daud Amarato D
Daud Amarato D Mohon Tunggu... Warga Belajar -

Aktif memotret berbagai fenomena sosial di lapangan. “Segala sesuatu ADA WAKTUNYA”

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Masa Kampanye yang Panjang Menimbulkan Masalah Baru

25 Februari 2019   12:09 Diperbarui: 1 Maret 2019   11:08 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: kompas.com/kristianto purnomo

Jika seandainya anggaran yang sebesar puluhan bahkan ratusan trilyun rupiah itu disumbangkan untuk membangun jalan raya, irigasi atau infrastruktur lainnya, atau jika disumbangkan kepada petani atau PKL untuk modal pengembangan usaha, maka akan memiliki nilai manfaat yang lebih tinggi.

Sumber gambar: fin.co.id
Sumber gambar: fin.co.id
Memang tidak semua biaya di atas, berasal dari kas negara. Sebab sebagian besar biaya itu berasal dari kas parpol, capres, caleg, tim kampanye dan para donatur tertentu. Tetapi secara ekonomi, hal ini tetap tergolong biaya tinggi dan boros.

Kita berharap semua biaya kampanye yang sebesar puluhan atau ratusan trilyun rupiah itu berasal dari cash money para capres dan caleg yang sudah secara khusus siap dikorbankan untuk urusan politik tanpa mengharapkan untuk kembali dan bukan hutang. Jika tidak demikian, maka tak usah heran apabila di kemudian hari terjadi penyelewengan uang negara.

Demikian pula, apabila kita menghitung nilai ekonomi dari waktu yang dihabiskan oleh warga untuk menghadiri pertemuan kampanye dari satu titik ke titik berikutnya selama masa kampanye 6 bulan 3 minggu (riilnya 29 minggu). Tentu nilainya sangat tidak seimbang dengan 1 bungkus nasi dan 1 botol air mineral yang diperolehnya dalam pertemuan-pertemuan politik tersebut.

Misalkan dalam seminggu warga menghabiskan 6 jam kerja untuk menghadiri pertemuan politik maka kita bisa membayangkan pengorbanan yang diberikan secara ekonomi sebesar 6 jam x 29 minggu, maka jumlah waktu yang dihabiskan menjadi 174 jam per orang.

Jika diandaikan hanya 10 juta warga RI yang aktif mengikuti pertemuan politik dengan jam kampanye minimalis di atas, maka ada sekitar 1.740.000.000 jam waktu kerja yang tersedot untuk urusan kampanye. 

Lalu waktu yang sebanyak 1.740.000.000 jam itu dibagi dengan waktu kerja sebulan sebesar 173 jam kerja reguler, maka diperoleh 10.057.803 bulan. Selanjutnya bila waktu 10.057.803 bulan ini dikali dengan Rp 2.260.225 (rerata UMP Nasional, BPS, 2018), maka diperoleh nilai sebesar Rp 22.732.897.785.675,- singkatnya lebih dari 22,7 trilyun rupiah yang harus dihabiskan akibat waktu kampanye yang terlalu panjang itu.

Pengorbanan secara ekonomis di atas mestinya bisa dikurangi karena pada zaman now, masyarakat sudah bisa mengakses semua visi, misi dan rencana program pembangunan nasional melalui berbagai media massa dan media sosial dengan biaya yang jauh lebih murah.

Kita belum menghitung biaya operasional maupun biaya pragmatis yang akan ditumpahkan pada tanggal 17 April 2019. Dengan demikian kita bisa bayangkan betapa besarnya biaya politik akibat masa kampanye yang panjang (selama 6 bulan, 3 minggu) pada Pemilu Tahun 2019 ini.

Kita juga belum menghitung biaya subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang dihabiskan oleh para caleg dan tim kampanye selama 6 bulan 3 minggu. Setiap hari mereka mengunjungi warga dari rumah ke rumah hingga titik-titik terjauh yang dapat menghabis BBM dalam jumlah yang besar.

Sebagai informasi tambahan, Subsidi BBM tahun 2018 sebesar Rp 2.000,- per liter untuk solar (merdeka.com dalam Liputan6, 01/08/2018) dan subsidi tersebut naik pada tahun 2019 akibat kenaikan nilai dollar terhadap rupiah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun