Jangankan dalam situasi ekonomi resesi, dalam situasi ekonomi normal pun, mereka sulit bersaing untuk mendapatkan pekerjaan di dalam negeri. Sungguh menyedihkan, bahkan pada saat Krisis Moneter 1998 pun, CPMI tidak menghadapi situasi sulit ini untuk dapat bekerja ke luar negri, seperti saat ini.
Jadi, Bolehkah CPMI Membiayai Sendiri Pelatihannya ?
Sebagian kalangan ahli hukum berpendapat, jika tidak terdapat aturan yang melarang, dan juga tidak terdapat norma preseden/yurisprudensi yang melarang, maka artinya dibolehkan.Â
Karena dalam UU 18 / 2017 maupun Peraturan BP2MI 9/2020 tidak ada satupun pasal yang melarang CPMi untuk membiayai sendiri biaya pelatihan dan sertifikasi nya, maka ada sebagian ahli hukum yang berpendapat CPMI boleh-boleh saja membiayai Pelatihan dan Sertifikasinya.Â
Apalagi mengingat kondisi tidak/belum siapnya Pemerintah (Pusat, Propinsi, Kab-Kota) untuk menganggarkan biaya pelatihan dan sertifikasi bagi keseluruhan / semua CPMI yang ada di daerahnya. Bukankah lebih baik bagi CPMI nya berinisiatif dan membiayai sendiri terlebih dahulu, entah dengan cara menjual asset , ataupun meminjam kepada sumber pendanaan yang ada, sehingga dapat bekerja di luar negeri, seperti yang diinginkannya?.Â
Apalagi dalam Peraturan BP2MI 9/2020 pasal 4, jelas tertulis bahwa PMI tidak dapat dibebani pinjaman yang dipaksakan secara sepihak oleh pihak manapun sebagai biayapenempatan, yang berakibat kerugian sepihak, dan/atau berakibat pada pemotongan gaji selama bekerja di Negara tujuan.
Selanjutnya urusan pembayaran/pencicilan pinjaman CPMI kepada pihak yang meminjamkan/lender, akan menjadi urusan tersendiri antara CPMI dengan pihak yang meminjamkan , tanpa melibatkan pemotongan gaji selama bekerja di Negara tujuan Jadi masalah pinjaman CPMI kepada pihak sumber pendanaan, tidak bisa dicampuri lagi oleh pihak P3MI, Agency, maupun Pengguna.Â
Dalam regim UU 18/2017, situasinya sudah tidak
seperti dulu lagi, dimana CPMI terpaksa/dipaksa meminjam kepada sebagian oknum P3MI, yang mengakibatkan pemotongan gaji secara berlebih (over charging) di negara tujuan penempatan.
Akan sangat lebih baik , jika Pengguna pun bersedia membayar biaya pelatihan dan sertifikasi tersebut, meskipun nampaknya akan kecil kemungkinannya, terutama bagi Pengguna di Negara-negara yang selama ini tidak membiayai pelatihan dan sertifikasi tersebut. Apalagi dalam regim UU 18/2017 saat ini, Pengguna pun masih harus menanggung fee untuk Agency, yang di masa lalu biaya itu ditanggung PMI.
Peraturan Badan no 9/2020, mulai berlaku tanggal 14 Juli 2020, dan ada masa transisi paling lambat selama 6 bulan bagi CPMI yang sudah memiliki identitas PMI, sehingga mulai tanggal 15 Januari 2021 seluruh biaya penempatan PMI harus sudah menyesuaikan dengan Peraturan BP2MI no 9/2020, yang mana artinya biaya pelatihan dan sertifikasi PMI sudah menjadi tugasdan tanggung jawab Pemerintah Daerah. Dan sudah tidak ada lagi pemotongan gaji selama PMIÂ bekerja di Negara tujuan. Sehingga semua 12 item biaya penempatan PMI ditanggung Pengguna, sesuai amanat Peraturan BP2MI 9/2020 pasal 3 ayat 2.
Dengan pertimbangan bahwa saat ini, belum ada satupun LTSA/Disnaker yang menjalankan fungsi perekrutan dan pelatihan, dengan berbagai alasan, maka semakin kuat argumen bahwa sebaiknya CPMI diperbolehkan membiayai sendiri biaya pelatihan dan sertifikasi. Hal ini jauh lebih baik dibandingkan apabila CPMI tidak bisa kerja ke luar negeri disebabkan Pemerintah (Pusat dan Daerah) belum/tidak siap melatih dan mengurus sertifikasi , serta pembiayaannya.