Apabila ingin sekedar mengunjungi Omah Petruk saja tanpa ingin mengadakan kegiatan disitu, tidak ada pungutan sepeserpun selain hanay uang parkir ang dikelola oleh penduduk setempat.
Banyak kesan yang saya peroleh setelah berkeliling melihat berbagai sisi dan sudut ruang terbuka ini, diantaranya adalah suasana sejuk, rumah rumah yang indah, bersih dan sejuk yang mengikuti hawa sekitar, hawa rerindang dedaunan dan juga keunikan berbagai ragam patung yang ada disitu.Â
Tapi satu hal yang paling berkesan bagi saya tentang omah petruk ini adalah saat ada penjelasan dari pengelolanya, bahwa tempat ini memang sengaja tidak diberi pagar tembok yang tinggi tinggi selayaknya fasilitas lain dikarenakan ada beberapa hal :
Yang pertama adalah agar tempat ini bisa menyatu dengan warga, sehingga semacam ada aura kebersamaan yang berdampak juga pada tanggung jawab bersama atas keberadaan tempat ini.
Yang selanjutnya adalah bahwa dari rasa tanggung jawab bersama ini ada semacam tembok tak terlihat yang selalu mengawasi tempat ini, yaitu pengawasan para warga sekitar. Meski, pengawasan yang mengalir begitu saja, bukan pengawasan yang kaku.
Saya jadi teringat akan sebuah ungkapan berfilosofi dari salah satu instansi yang bergerak dibidang pelayanan kesehatan yang kurang lebih bunyinya adalah seperti berikut : Hospital without wall, rumah sakit tanpa dinding.
Ungkapan berfilosofi tersebut seperti muncul berkelebat saat saya mencermati setiap kata dari penjelasan pengelola omah petruk tersebut
Dan meski Omah Petruk tidak menuliskan ungkapan filosofi samacam sebagai motonya, namun filosofi tersebut sudah kental melekat dalam emplementasinya, bahwa omah petruk adalah sebuah rumah budaya yang tanpa sekat, baik sekat budaya, agama dan sekat apapun
Salam budaya!
Berikut adalah foto foto penyerta yang mudah mudahan bisa sedikit menggambarkan situasi omah petruk: