Sejuk!
Demikian kesan pertama saat memasuki area omah petruk yang beralamatkan di desa Krang Klethak Wonorejo Hargobinangun Pakem Sleman Yogyakarta
Gerbang masuknya pun bukan merupakan pagar tinggi yang berkait dengan tembok yang tinggi pula untuk menutupi isi bangunan yang banyak dan cukup berharga tersebut melainkan hanya sekedar pagar besi sederhana yang sebelah kanan kirinya tetap ada celah yang cukup untuk masuk orang sehingga seolah pagar tersebut hanya sekedar sebuah estetika seni yang menandakan bahwa kita akan memasuki sebuah fasilitas publik seperti fasilitas fasilitas publik pada umumnya.
“Wedang Uwuh Gula Jawa, Sugeng Rawuh Atur Kawula” demikian tulisan pada papan rumah saat kita melanjutkan langkah kaki sebelum menuju ke area yang lebih besar dan luas lagi, dimana itu adalah ungkapan peribahasa jawa yang artinya kurang lebih adalah mengucapkan selamat datang dengan bahasa yang sopan dan halus ...
Omah petruk adalah rumah budaya, rumah seni dimana didalam ruangan terbuka yang cukup luas tersebut terdapat banyak patung yang bisa kita nikmati sembari berjalan santai berkeliling disela sela sepoi sepoi angin di rerindang dedaunan hijau.
Di ruang terbuka omah petruk terdapat patung yang beragam, dari yang menggambar kan keberagaman agama hingga patung patung orang yang pernah menduduki pimpinan tertinggi Indonesia ada disini. Namun seperti apa yang dijelaskan oleh salah satu pengelola omah petruk, dari keberagaman patung berbagai agama tersebut yang ditekankan adalah keberagaman dari berbagai macam budaya, baik budaya dalam negeri maupun luar negeri; sebagai salah satu contohnya adalah patung Budha Tiongkok yang diapit oleh dua pengiring wanita jawa dengan pakaian tiongkok yang menunjukkan bahwa ini adalah sifat akulturatif.
Dimana seperti kita ketahui bahwa adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri.
Nah, disitulah makanya sebagaimana ditekankan oleh salah satu pengelolanya, omah petruk adalah rumah budaya dimana didalamnya terdapat berbagai macam simbol agama akan tetapi yang ditekankan adalah unsur budayanya.
Oleh karena itu di omah petruk selain patung seperti yang saya sebutkan diatas juga banyak patung lain yang bukan menunjukkan simbol keagamaan. Dan kenapa disebut rumah budaya, karena disini juga sering diadakan petunjukan berbagai macam budaya diantaranya adalah wayang, kethoprak, bahkan musik dangdutpun.
Yang patut diacungi jempol adalah pertunjukan seni atau budaya yang digelar, meski sepi atau tidak ada penontonnya, pertunjukan tersebut tetap dilangsungkan hingga selesai.
Perlu diketahui pula bahwa ruang terbuka luas ini selain terdapat patung, menyatu diantara dan sekitar patung tersebut ada beberapa bangunan berupa rumah rumah panggung yang cukup artistik pula yang bisa dipergunakan untuk menunjang kegiatan yang akan dilakukan disini. Rumah tersebut bisa dipergunakan untuk menginap dalam kegiatan semacam retret atau kegiatan keagamaan lain, dan terutama adalah kegiatan budaya dengan biaya yang sudah ditentukan, dan hanya dibagi dalam dua kategori yaitu kategori mahasiswa dan umum.
Apabila ingin sekedar mengunjungi Omah Petruk saja tanpa ingin mengadakan kegiatan disitu, tidak ada pungutan sepeserpun selain hanay uang parkir ang dikelola oleh penduduk setempat.
Banyak kesan yang saya peroleh setelah berkeliling melihat berbagai sisi dan sudut ruang terbuka ini, diantaranya adalah suasana sejuk, rumah rumah yang indah, bersih dan sejuk yang mengikuti hawa sekitar, hawa rerindang dedaunan dan juga keunikan berbagai ragam patung yang ada disitu.
Tapi satu hal yang paling berkesan bagi saya tentang omah petruk ini adalah saat ada penjelasan dari pengelolanya, bahwa tempat ini memang sengaja tidak diberi pagar tembok yang tinggi tinggi selayaknya fasilitas lain dikarenakan ada beberapa hal :
Yang pertama adalah agar tempat ini bisa menyatu dengan warga, sehingga semacam ada aura kebersamaan yang berdampak juga pada tanggung jawab bersama atas keberadaan tempat ini.
Yang selanjutnya adalah bahwa dari rasa tanggung jawab bersama ini ada semacam tembok tak terlihat yang selalu mengawasi tempat ini, yaitu pengawasan para warga sekitar. Meski, pengawasan yang mengalir begitu saja, bukan pengawasan yang kaku.
Saya jadi teringat akan sebuah ungkapan berfilosofi dari salah satu instansi yang bergerak dibidang pelayanan kesehatan yang kurang lebih bunyinya adalah seperti berikut : Hospital without wall, rumah sakit tanpa dinding.
Ungkapan berfilosofi tersebut seperti muncul berkelebat saat saya mencermati setiap kata dari penjelasan pengelola omah petruk tersebut
Dan meski Omah Petruk tidak menuliskan ungkapan filosofi samacam sebagai motonya, namun filosofi tersebut sudah kental melekat dalam emplementasinya, bahwa omah petruk adalah sebuah rumah budaya yang tanpa sekat, baik sekat budaya, agama dan sekat apapun
Salam budaya!
Berikut adalah foto foto penyerta yang mudah mudahan bisa sedikit menggambarkan situasi omah petruk:
Saat memasuki gerbang "Omah Petruk" ada Rumah dengan gambar wayang yaitu punokawan Petruk dan ucapan Selamat Datang dalam bahasa Jawa
Di gerbang masuk disisi lain ada sebuah patung Banteng yang begitu terlihat perkasa
Pendopo utama "Omah Petruk
Patung Budha Tiongkok yang diapit oleh dua pengiring wanita jawa dengan pakaian tiongkok yang menunjukkan bahwa ini adalah sifat akulturatif.
Patung Gus Dur
Patung (Mirip ?) Pak Harto
Rumah rumah panggung yang begitu bersih indah dan sejuk karena dikelilingi oleh rerindang pepohonan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H