Agustinus membagi waktu menjadi dua macam, yakni waktu subyektif dan waktu obyektif. Waktu subyektif merupakan waktu yang dirasakan manusia di dalam batinnya. Sedangkan, waktu obyektif merupakan periodesasi waktu seperti yang tertera di dalam jam dan kalender.
Waktu subyektif dan waktu obyektif memiliki logika yang berbeda. Satu jam menunggu teman yang tak kunjung datang dan satu jam berada bersama kekasih, tentu memiliki rasa yang amat berbeda. Secara obyektif, keduanya memiliki durasi waktu yang sama, yakni satu jam. Namun, secara subyektif, keduanya sangat berbeda. Yang satu pasti menyebalkan, sedangkan yang lain pasti mengasyikan.
Walaupun demikian, dalam perlembangan selanjutnya, pandangan tentang waktu subyektif kemudian disingkirkan. Yang ada hanyalah pandangan tentang waktu obyektif. Waktu dipandang sebagai bagian nyata dari alam yang bisa diukur.
Pandangan ini dikritik oleh Immanuel Kant. Filsuf asal Jerman ini berpendapat bahwa waktu merupakan bagian dari akal budi manusia. Ia tidak berada di alam nyata, tetapi di dalam pikiran manusia. Oleh karena itu, waktu dapat membantu manusia sampai pada pengetahuan tentang dunia.
Bagi Kant, waktu memiliki kaitan erat dengan ruang, yang merupakan bagian dari pikiran manusia. Gagasan inilah yang kemudian dikembangkan oleh Albert Einstein, yang pada akhirnya muncul konsep ruang-waktu. Einstein yang mengembangkan pemikiran Kant, melihat keterkaitan antara ruang dan waktu, tetapi Filsafat Timur justru melihat keterkaitan antara aku dan waktu.
Sementara itu, pandangan Barat melihat ada perbedaan atara masa lalu, kini dan masa depan, walaupun ketiganya memiliki hubungan satu sama lain. Apabila masa lalu, sudah lewat maka ia tidak akan pernah bisa kembali lagi. Hal ini kemudian muncul slogan, waktu adalah uang. Artinya, menghabiskan waktu dengan hal yang tidak produktif, sama halnya dengan membuang uang.
Pandangan tentang waktu seperti ini, bergerak lurus: masa lalu-masi kini-masa depan. Namun ada pula pendapat yang berbeda. Mereka memiliki pandangan bahwa waktu itu bukan bergerak lurus, melainkan sebagai sebuah lingkaran. Waktu dalam pola lurus berarti masa lalu tidak akan kembali lagi. Sedangkan waktu sebagai lingkaran berarti segala sesuatu akan berulang dan membentuk pola yang tetap.
Terhadap dua tradisi pemilkiran tersebut (waktu yang bergerak lurus dan waktu yang berputar seperti lingkaran), Martin Heidegger kemudian berpendapat bahwa waktu merupakan horison hidup manusia. Filsuf asal Jerman ini berpandangan bahwa manusia berada dalam kenyataan dan selalu hidup dalam masa lalu, masa kini dan masa depan, yang terjadi secara bersamaan.
Ketiga masa ini selalu hidup dalam diri kita. Misalnya, ketika kita berpikir, kita secara otomatis akan berpikir dalam kategori waktu yang berbeda. Konsep pemikiran Heidegger ini kemudian dikenal dengan temporalitas.
Pemikiran ini dipengaruhi oleh pemahaman Heidegger tentang manusia sebagai Dasein (yang berada-di-sana). Menurutnya, di mana pun seorang manusia berada, ia akan sadar akan apa yang pernah dialami (masa lalu), sedang dialami (masa kini) dan akan dialami (masa depan).
Pada titik ini Heidegger membantah pemahaman Aristoteles yang hanya berpatokan pada masa kini. Menurut Aristoteles, masa lalu telah mengalir dan masa kini adalah saat ini yang mengalir ke masa lampau. Sedangkan masa depan adalah masa kini yang akan hadir.
Yang ada hanyalah masa kini. Masa lalu tidak sungguh ada, karena ia hanya merupakan ingatan atau kenangan atas peristiwa yang tak lagi ada saat ini. Masa depan juga belum sungguh ada, karena ia hanya berupa angan-angan atau harapan dan bayangan semata. Maka yang ada hanyalah masa kini.
Heidegger membantah hal ini dan kemudian memberikan beberapa syarat temporalitas, yakni: Pertama, manusia harus memiliki pemahaman tentang apa yang ia alami dan apa yang akan ia tuju. Kedua, manusia harus memiliki pemusatan pikiran (intensionalitas) terhadap kejadian yang sedang terjadi. Ketiga, manusia harus menyadari keterjatuhan dirinya, bahwa ia adalah yang terlempar sedemikian rupa dan akan menuju kematian.
Waktu, ternyata sulit untuk dipahami dan terus menjadi perdebatan yang belum tuntas. Namun yang pasti bahwa manusia hidup dalam waktu. Dalam konteks pergantian tahun, kita akan segera mengakhiri tahun 2022, dan akan memasuki tahun yang baru yakni tahun 2023. Ada yang akan menjadi masa lalau, kini dan yang akan datang.
Yang terpenting bagi kita adalah bagaimana kita memaknai temporalitas. Bila dikenang dan dilacak, ada banyak pekerjaan dan program kerja masa lalu yang belum sempurna. Banyak tugas yang tidak tuntas, banyak amanat yang tersendat. Banyak pula hasil yang nihil.
Kini kegagalan-kegagalan perlu dievaluasi, diperbaiki untuk hari esok yang lebih berarti. Direncanakan untuk masa depan yang lebih mapan. Itulah cita-cita. Cita-cita harus diperjuangkan untuk digapai secara terus-menerus, di manapun kita berada. Tidak perlu ada kata mundur dan tidak perlu ada kata surut, meskipun sejatinya cita-cita itu sendiri bersifat ideal atau imajiner.
Cita-cita, rencana, dan agenda manusia tidak pernah selesai. Tidak pernah usai. Kekurangan-kekurangan pasti ada. Memang cita-cita harus ideal, rencana harus maksimal, yang tidak mungkin tercapai dengan optimal. Semua itu adalah proses menuju kondisi yang sukses.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H