Â
Arus globalisasi mempengaruhi seluruh sektor kehidupan, termasuk di dalamnya turut mempengaruhi budaya sebuah bangsa atau suku. Salah satu di antaranya adalah soal mode atau cara berpakaian.Â
Dalam hal ini, saya ingin mengangkat sebuah tema kecil tentang busana pengantin. Jika kita mau jujur, maka busana yang dikenakan oleh para pengantin dewasa ini adalah busana modern yang sangat dipengaruhi oleh budaya barat dan bukan merupakan cerminan dari budaya kita sendiri. Namun nyatanya busana pengantin modern semakin hari semakin menggeser busana adat kita sendiri.
Saya mengambil contoh, busana pengantin orang Maumere-Kabupaten Sikka, sejatinya bukan gaun dan jas seperti lazim kita temukan saat ini. Aslinya, busana pengantin Maumere adalah utan-ragi (labu), atau di beberapa wilayah menggunakan setelan Kimang untuk baju pengantin.
Jika dilihat dari penampilan, sebenarnya busana pengantin adat Maumere memiliki nilai estetik tinggi dan tidak kalah menarik dengan busana pengantin modern.Â
Apalagi dengan mengikuti perkembangan, banyak di antara para perancang busana telah memodivikasi pakaian adat tersebut menjadi lebih menarik karena disesuaikan dengan konteks zaman. Belum lagi ketika kita menguraikan tentang makna di balik busana adat tersebut.Â
Setidaknya ditemukan ada tiga makna yang ada dibalik busana pengantin dari adat Maumere.
Pertama, simbolisasi penghargaan terhadap martabat perempuan.Â
Setelan pakaian adat (Kimang) mempelai wanita terdiri dari bawahan berupa sarung tenun ikat bermotif dan atasan berupa baju sulam yang dipadu dengan sejenis selendang yang disebut "dong".Â
Sarung yang digunakan oleh pengantin perempuan memiliki motif Utan Merak (sarung merah). Utan merak merupakan simbol keagungan dan kecantikan sang gadis yang akan melangsungkan pernikahan.
Selendang (dong) yang berwarnah cerah seperti kuning atau biru laut, juga melambangkan kecantikan dan keceriaan yang menjadi kebanggaan sang suami dan bentuk penghormatan kepada para undangan yang hadir.
Pakaian ini dilengkapi denan asesoris adat yaitu gelang (kalar) dari gading, anting emas (suwong bahar). Barang-barang ini pun cukup mahal harganya, sebagai bentuk simbolisasi betapa tingginya martabat seorang perempuan yang tidak boleh diabaikan begitu saja.Â
Pada bagian rambut, terdapat tiga tusuk konde sebagai lambang bahwa sebelum melangsungkan pernikahan, pengantin perempuan ini telah melewati tiga tahap penting dalam perkawinan yang dimulai dari persiapan (peminangan), penentuan belis (mahar) dan upacara perkawinan itu sendiri.Â
Hal ini mau menunjukkan bahwa martabat perempuan perlu dihargai, sehingga untuk mendapatkannya perlu melalui proses atau tahapan tertentu.
Kedua, menggambarkan suasana hati dan moral.Â
Sesuai dengan keyakinan orang Maumere, kecantikan yang dipancarkan oleh seseorang (khususnya perempuan), akan menunjukkan atau mencerminkan kesucian hidup dari perempuan tersebut.Â
Ada keyakinan bahwa jika perempuan tersebut masih perawan, maka ketika menggenakan pakaian adat tersebut, ia akan kelihatan sangat cantik dan anggun.Â
Sebaliknya jika perempuan tersebut memiliki masa lalu yang suram, maka tampilannya akan berbeda, tidak cantik dan kurang segar, sekalipun sudah dipoles dengan berbagai kosmetik. Dengan kata lain, kecantikan hati akan tercermin dari kecantikan penampilan. Hal yang sama juga ditampilkan oleh mempelai laki-laki.
Ketiga, menunjukkan tentang tingkat kejujuran seseorang.Â
Salah satu perlengkapan busana pengantin adat Maumere adalah "ala gadeja" (perhiasan penutup wajah). Perhiasan penutup wajah ini sebagai simbolisasi kesucian hidup yang masih dijaga oleh kedua mempelai. Maka yang penutup wajah ini hanya dikenakan oleh perempuan yang masih perawan. Di sinilah dituntut kejujuran dari pengantin, terhadap dirinya sendiri, pasangan dan publik.
Demikianlah tiga makna simbolis dari busana pengantin dalam adat Maumere. Dari ungkapan simbolis tersebut dapat dilihat betapa martabat perempuan ingin ditampilkan atau dikedepankan.Â
Masih ada banyak nilai budaya yang kita miliki untuk digali karena mempunyai makna yang mendalam bagi kehidupan. Mencintai budaya sendiri jauh lebih penting daripada mengikuti budaya orang lain. Atau setidaknya ada filterisasi untuk sebuah alkulturasi; terimalah budaya dari luar tetapi tidak membuang budaya sendiri.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H