Perkawinan haruslah monogam, yakni antara seorang pria dan seorang wanita. Konsekuensi logis dari gagasan monogam perkawinan adalah bahwa orang yang sudah terikat pada perkawinan sah tidak bisa menikah lagi secara sah dengan orang lain.
Selain memiliki sifat monogam, perkawinan Katolik juga memiliki prinsip heteroseksual. Allah pencipta menghendaki bahwa perkawinan harus merupakan relasi yang saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan untuk berpartisipasi dalam karya penciptaan-Nya melalui kelahiran dan pendidikan anak.Â
Yang saling diterima dan diberikan dalam perjanjian perkawinan adalah kesediaan menjadi pasangan yang saling memberikan seluruh diri, termasuk dimensi seksual. Oleh karena itu, sampai saat ini Gereja tidak mengakui adanya perkawinan antara dua orang yang berkelamin sama, yakni antara dua orang perempuan (lesbianisme) dan antara dua laki-laki (homoseksualisme).
***
Daftar Rujukan:
Anselmus, Eligius. Persiapan Perkawinan Katolik. Ende: Nusa Indah, 1997.
Raharso, Catur. Paham Perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik. Malang: Dioma, 2006.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H