Mohon tunggu...
Hendrikus Dasrimin
Hendrikus Dasrimin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Kunjungi pula artikel saya di: (1) Kumpulan artikel ilmiah Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?user=aEd4_5kAAAAJ&hl=id (2) ResearchGate: https://www.researchgate.net/profile/Henderikus-Dasrimin (3)Blog Pendidikan: https://pedagogi-andragogi-pendidikan.blogspot.com/ (4) The Columnist: https://thecolumnist.id/penulis/dasrimin

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Perkawinan sebagai Perjanjian (Foedus) atau Kontrak (Contractus)?

14 Agustus 2022   19:00 Diperbarui: 14 Agustus 2022   19:44 2126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Kompas.com)

Artikel ini sebagai kelanjutan dari pembahasan tentang penkawinan dalam Gereja Katolik. Kali ini akan diulas mengenai perjanjian dalam perkawinan. Hukum Gereja menggunakan dua istilah untuk mendeskripsikan aspek perjanjian dari perkawinan, yaitu foedus (covenant) dan contractus (contract). 

Kedua istilah tersebut sama-sama bisa diterjemakan dengan perjanjian, namun masing-masing memiliki arti dan kekayaan nuansa yang khas. Di antara kedua gagasan tersebut yang paling tua dalam tradisi kanonik adalah gagasan perkawinan sebagai kontrak. 

Menurut sejarah doktrinalnya, sejak abad ke-9 perkawinan sudah biasa disebut kontrak. Paus Alexander III (seorang pakar hukum gereja) memakai istilah "kontrak". Kontrak adalah consensus atau kesepakatan di mana dua orang atau lebih membuat perjanjian tentang sesuatu. 

Perkawinan adalah kontrak karena terdiri dari suatu consensus, di mana dua orang (laki dan wanita), yang layak saling berjanji untuk hidup bersama-sama, saling membantu dan mengadakan keturunan. Namun Konsili Vatikan II tidak memakai lagi istilah kontrak, meskipun 190 patres konsili menganjurkan pemakaiannya lagi. 

Istilah "kontrak" kurang tepat karena berbau yuridis dan legalistis, kurang memperlihatkan perkawinan sebagai persekutuan cinta dan terlalu menekankan hak dan kewajiban. Konsili menggunakan istilah yang baru yakni perjanjian atau "foedus". Istilah "foedus" dianggap lebih tepat untuk mengungkapkan bahwa perkawinan merupakan gambar dari partisipasi dalam perjanjian Allah dengan umat-Nya dan hubungan mesra antara Kristus dan Gereja. 

Perjanjian itu juga meliputi hak dan kewajiban, tetapi wujud dari hak dan kewajiban itu timbul dari cinta kasih dan menunjukkan diri dalam penyerahan total kepada partner tercinta.

Kata foedus digunakan pertama kali dalam kanon 1055, 1 untuk mendeskripsikan hakikat perkawinan. Dalam kanon itu dikatakan bahwa: "Dengan perjanjian (foedus), perkawinan pria dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan seumur hidup,...". 

Dengan ini menjadi jelas bahwa perjanjian kedua mempelai adalah unsur konstitutif perkawinan. Dengan pertukaran kesepakatan perkawinan (consensus) lahirlah persekutuan hidup yang bersifat tetap antara seorang pria dan seorang wanita. 

Oleh karena itu, pria dan wanita yang telah mengambil keputusan untuk melangsungkan perkawinan, harus berjanji dan bersepakat untuk saling memberi dan menerima. Kesepakatan untuk saling memberi dan menerima itu dinyatakan melalui pengungkapan janji perkawinan (foedus) yang sungguh jelas dan tegas di hadapan petugas Gereja dan dua saksi (forma canonica).

Berbeda dengan paham kontrak, perkawinan sebagai suatu perjanjian kasih memuat pengakuan kesamaan spiritual dari dua pribadi dan kesamaan dalam kemampuan mereka untuk saling memberi dan menerima secara utuh satu sama lain. 

Oleh karena itu perjanjian merupakan pilihan bebas, dimana orang tidak bisa menikah kalau dalam keadaan terpaksa. Perjanjian melibatkan hubungan antar pribadi yang utuh, melibatkan kesatuan spiritual, emosi, dan fisik. 

Inti perjanjian adalah pendekatan Allah kepada manusia dan jawaban manusia kepada Allah (Ul 26: 17-18). Perjanjian adalah suatu bentuk kontrak, tetapi lebih biblis sifatnya. Yang lebih utama adalah komitmen dan tanggungjawab pribadi dalam kesetiaan terhadap satu sama lain. Berikut ini adalah gambaran singkat tentang perbedaan antara kontrak dan perjanjian:

Perbedaan antara kontrak dan perjanjian (Dokpri)
Perbedaan antara kontrak dan perjanjian (Dokpri)

Dalam Alkitab, perjanjian perkawinan pertama-tama merupakan suatu hubungan pribadi dan komitmen antara satu sama lain. Hal ini dapat dilihat dalam terang janji Allah yang tidak pernah diingkari atau dilanggar-Nya (Yer 31: 31-34) dan dalam kebaikan cinta-Nya yang tak pernah pudar (Mal 2: 14).

Para Bapak Konsili Vatikan II berusaha untuk menghindari penggunaan istilah kontrak dalam mendiskusikan tentang perkawinan Katolik. Sebaliknya mereka menggunakan istilah perjanjian, karena perkawinan berakar dalam perjanjian suami-isteri yang terjadi oleh consensus pribadi yang tak dapat ditarik kembali. Dalam perspektif ini, perkawinan menjadi suatu hubungan antarpribadi yang mencerminkan perjanjian Allah dengan umat-Nya dan Kristus dengan Gereja-Nya.

Perkawinan sebagai perjanjian mau mengatakan bahwa baik saat perkawinan itu diteguhkan, maupun kehidupan perkawinan atau relasi suami-istri yang menyusul sesudahnya, sungguh-sungguh merupakan sebuah perjanjian yang satu dan sama.

Pasangan yang melangsungkan perkawinan akan berjanji di hadapan Allah yang disaksikan oleh imam dan umat, bahwa mereka akan setia seumur hidup, di waktu sehat dan sakit, di kala untung dan malang, dalam suka dan duka. 

Dengan diucapkan di depan para saksi yang hadir, maka perjanjian itu mempunyai kekuatan hukum yang mengikat tanggung jawab si pengucap janji secara tetap dan tidak dapat ditarik kembali. 

Pasangan harus berjanji secara formal di depan imam sebagai saksi peneguh dan dua orang saksi dari pihak masing-masing serta umat yang hadir, dan secara non-formal sebetulnya pada semua orang yang tahu bahwa mereka akan menikah atau sudah mengucapkan janji perkawinan itu.

Perkawinan Sebagai Perjanjian Antara Seorang Pria dan Seorang Wanita

Obyek material dari perjanjian perkawinan adalah penerimaan dan pemberian diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam relasi cinta seumur hidup. Di sini Gereja menekankan dua hal penting yakni tentang prinsip monogam dan prinsip heteroseksual. 

Perkawinan haruslah monogam, yakni antara seorang pria dan seorang wanita. Konsekuensi logis dari gagasan monogam perkawinan adalah bahwa orang yang sudah terikat pada perkawinan sah tidak bisa menikah lagi secara sah dengan orang lain.

Selain memiliki sifat monogam, perkawinan Katolik juga memiliki prinsip heteroseksual. Allah pencipta menghendaki bahwa perkawinan harus merupakan relasi yang saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan untuk berpartisipasi dalam karya penciptaan-Nya melalui kelahiran dan pendidikan anak. 

Yang saling diterima dan diberikan dalam perjanjian perkawinan adalah kesediaan menjadi pasangan yang saling memberikan seluruh diri, termasuk dimensi seksual. Oleh karena itu, sampai saat ini Gereja tidak mengakui adanya perkawinan antara dua orang yang berkelamin sama, yakni antara dua orang perempuan (lesbianisme) dan antara dua laki-laki (homoseksualisme).

***

Daftar Rujukan:
Anselmus, Eligius. Persiapan Perkawinan Katolik. Ende: Nusa Indah, 1997.
Raharso, Catur. Paham Perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik. Malang: Dioma, 2006.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun