Mohon tunggu...
Hendrikus Dasrimin
Hendrikus Dasrimin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Kunjungi pula artikel saya di: (1) Kumpulan artikel ilmiah Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?user=aEd4_5kAAAAJ&hl=id (2) ResearchGate: https://www.researchgate.net/profile/Henderikus-Dasrimin (3)Blog Pendidikan: https://pedagogi-andragogi-pendidikan.blogspot.com/ (4) The Columnist: https://thecolumnist.id/penulis/dasrimin

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Apa Saja Persiapan Pranikah dalam Perkawinan Katolik?

14 Agustus 2022   07:55 Diperbarui: 15 Agustus 2022   05:28 3695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Kompas.com)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia perkawinan didefinisikan sebagai hubungan cinta antara seorang pria dan wanita yang disahkan lewat janji perkawinan; perkawinan merupakan persekutuan hidup yang dilandasi dorongan seksual, dorongan untuk punya keturunan dan saling memiliki serta dorongan untuk saling menumpahkan kasih sayang. 

Undang-Undang R.I. No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 menegaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.  

Dalam Gereja Katolik, pengertian perkawinan dinyatakan dalam Kanon 1055, 1 (KHK 1983) Dalam Kanon tersebut dikatakan bahwa, "Dengan perjanjian, pria dan wanita membentuk kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya, perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami istri serta kelahiran anak; oleh Kristus Tuhan, perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat sakramen".

Sebelum ke tahap perkawinan seseorang harus melewati berbagai tahapan persiapan. Apakah dalam tahap pranikah perlu ada perjanjian pranikah? Apa saja tahapan-tahapan yang harus disiapkan oleh seorang anggota Gereja Katolik sebelum melangsungkan pernikahan? Berikut ini adalah tahapan-tahapan persiapan pranikah dalam Gereja Katolik:

Persiapan Jangka Panjang

Persiapan jangka panjang dan umum untuk hidup perkawinan dan keluarga hendaknya dilakukan atau diberikan kepada anak-anak, remaja dan kaum muda. 

Menurut Kanon 1063, 1, persiapan ini diwujudkan dengan kotbah dan katekese. Setiap pewarta sabda Allah bertugas menyampaikan kepada kaum beriman ajaran magisterium tentang monogami dan kekukuhan keluarga serta tugas-tugasnya (Kanon 768, 2). 

Masa kanak-kanak adalah saat untuk menanamkan penghargaan terhadap setiap nilai insani yang otentik, baik dalam hubungan antarpribadi maupun sosial, dengan memberikan apa yang perlu untuk pembinaan karakter anak untuk di kemudian hari memberikan penghargaan yang baik terhadap panggilan untuk membangun sebuah keluarga kristiani yang sejahtera dan harmonis.

Dalam persiapan jangka panjang ini, keluarga memegang peranan kunci. Keluarga dapat mempersiapkan anak-anak melalui kesaksian hidup yang selaras dengan hukum ilahi, formasi kristiani bagi anak-anak, penguatan iman, kewaspadaan dalam menjaga anak-anak dari bahaya ideologi dan moral, bantuan dan nasihat dalam memilih panggilan hidup, keterlibatan dalam komunitas gerejawi dan sipil, dan saling membantu di antara kaum keluarga demi pertumbuhan manusiawi dan kristiani bersama.

Persiapan Jangka Pendek

Persiapan jangka pendek diberikan kepada pasangan nikah yang sudah bertunangan dan sedang mempersiapkan diri ke jenjang perkawinan. Pertunangan adalah satu tahapan penting untuk memasuki perkawinan, tetapi tidak ada upacara khusus yang ditetapkan bagi Gereja sejagad. Karena itu, upacaranya diatur dalam hukum partikular yang ditetapkan oleh Konferensi Waligereja sesuai dengan konteks setempat (bdk. Kan. 1062 1).

Salah satu bagian pokok dari persiapan ini adalah kursus persiapan perkawinan. Kursus ini bertujuan agar pasangan suami-istri memiliki pengetahuan mengenai ajaran moral yang benar dan tentang perkawinan dan keluarga, serta mendapatkan pembinaan hati-nurani. 

Di samping pertemuan yang bersifat instruksional dan intelektual, hendaknya diadakan juga pertemuan berkala yang diisi dengan dialog, diskusi, acara persahabatan, rekoleksi dan doa bersama. 

Selain menuntut keterlibatan para ahli dari berbagai kalangan yang bekerja sebagai pembina dan pendamping, baik ahli psikologi, hukum, moral, teologi dan lain-lain, hendaknya ordinaris wilayah dapat mengkoordinasikannya, bila perlu mendatangkan keluarga-keluarga tertentu yang teruji karena pengalamannya dalam hidup berkeluarga untuk mendengarkan shering dan nasihat-nasihat dari mereka.

Persiapan akhir dari tahap ini hendaknya menghasilkan satu pencerahan akan karakter esensial dari perkawinan kristiani. Selain itu diharapkan persiapan ini juga menghasilkan kesadaran iman yang berkaitan dengan prioritas rahmat sakramen yang menyatukan pasangan nikah sebagai obyek dan pelayan sakramen dengan cinta Kristus sebagai mempelai dari Gereja. 

Pada akhirnya dalam diri calon pasangan nikah juga mulai bertumbuh kemauan untuk melaksanakan misi terhadap keluarga-keluarga dalam bidang pendidikan, sosial kemasyarakatan dan Gereja.

Persiapan Langsung

Persiapan langsung merupakan persiapan yang dilakukan pada tahap, bulan atau minggu-minggu terakhir sebelum perayaan sakramen perkawinan. Persiapan ini merupakan lanjutan dari persiapan dekat. Persiapan langsung juga merupakan satu-satunya persiapan bagi pasangan yang karena alasan yang wajar tidak bisa mengikuti seluruh proses persiapan sejak awal. 

Persiapan langsung ini biasanya berupa pertemuan doa atau retret untuk para calon pengantin, agar lewat perjumpaan dengan Tuhan mereka dapat menggali keindahan dan kekayaan hidup doa. 

Selain itu akan diadakan wawancara dalam rangka penyelidikan kanonik. Penyelidikan pranikah ini mencakup dokumen-dokumen (bdk. Kan. 1065), domisili dan kuasi domisili (bdk. Kan. 100), hakekat perkawinan Katolik (bdk. Kan. 1055-1056), halangan-halangan yang menggagalkan perkawinan (bdk. Kan. 1073-1094), kesepakatan nikah (bdk. Kan 1095-1107), dan forma kanonika (bdk. Kan. 1108-1123).

Pertunangan 

Perayaan perkawinan biasanya didahului dengan pertunanganan atau janji menikah. Tahap ini merupakan kebiasaan yang sangat tua yang sudah dipraktikkan dalam kebudayaan Yahudi, Yunani, Romawi dan bangsa-bangsa lain, dan dilihat sebagai masa terakhir sebelum perkawinan. 

Gereja sangat menghormati dan memberi tempat bagi kebiasaan ini dalam reksa pastoral serta memberinya arti dan relevansi yuridis seperti tertuang dalam Kanon 1062.

Pertunanganan memiliki peranan yang sangat penting dan khas sebagai persiapan perkawinan, yang sering dilengkapi dengan syarat-syarat serta konsekuensi-konsekuensi sosial dan yuridis tertentu. Karena itu hukum Gereja tetap memandang perlu suatu pengaturan mengenai pertunangan, sekalipun sangat singkat dan sederhana. 

Kanon 1062 tidak menentukan apapun mengenai kepastian atau kualitas yang harus dimiliki oleh pihak-pihak yang bertunangan. Namun karena janji untuk menikah sudah merupakan tindakan kemauan dan pertunangan sering merupakan persiapan yang perlu menuju jenjang perkawinan, kiranya bisa diterapkan persyaratan-persyaratan pokok yang ditetapkan untuk kesepakatan nikah, antara lain; yang bertunangan harus memiliki kemampuan untuk memahami dan menghendaki hakikat perkawinan (Kanon 124, 1) dan juga hendaknya pihak-pihak yang bersangkutan tidak menderita kelainan psikis (Kanon 1095, 3).

Janji seseorang untuk menikahi, sekalipun dilakukan secara formal dan yuridis berdasarkan norma adat istiadat atau hukum sipil, hanya mengikat hati nuraninya saja untuk memenuhi janjinya itu. Suatu alasan yang berat dan serius dapat membebaskannya dari kewajiban moral untuk memenuhi janji tersebut. 

Pertunanganan bukanlah kesepakatan nikah. Kesepakatan nikah menciptakan ikatan nikah yang tak-terputuskan. Sebaliknya, pertunanganan merupakan perjanjian yang bisa dihentikan atau diputuskan, baik sepihak maupun atas kesepakatan kedua pihak. 

Dengan kata lain, perjanjian pranikah tidak berarti wajib menikahi atau wajib dinikahi. Karena itu Kanon 1062, 2 menetapkan bahwa janji untuk menikah atau pertunanganan yang diatur menurut hukum partikular, tidak memberi hak pengaduan untuk menuntut peneguhan perkawinan.

Kitab Hukum Kanonik 1917, masih mengatur formalitas pertunangan. Agar pertunangan memiliki keabsahan, baik dalam forum sipil maupun dalam forum gerejawi, pertunangan haruslah dibuat dalam dokumen tertulis yang ditandatangani oleh kedua pihak dan sekaligus oleh pastor paroki atau Ordinaris, atau sekurang-kurangnya oleh dua orang saksi. 

Jika salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak tahu atau tidak dapat menulis, untuk sahnya hal itu harus ditulis dan ditambahkan satu saksi lagi untuk menandatanganinya (KHK 1917, Kanon 1017). Sedangkan dalam KHK yang baru (1983, Kanon 1062), pengaturan tentang pertunangan diserahkan sepenuhnya kepada Konferensi Para Uskup setempat dalam bentuk hukum partikular, dengan mempertimbangkan adat kebiasaan serta hukum sipil yang ada.

***

Daftar Rujukan:

Dagun, Save, M. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 2006.
Go, Piet. Pokok-Pokok Moral Perkawinan dan Keluarga Katolik. Malang: Dioma, 1984.
Raharso, Catur. Paham Perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik. Malang: Dioma, 2006.
Familiaris Consortio, No. 71, bdk. Philip Ola Daen
Daen, Philip Ola. Manajemen Penyelidikan Pranikah. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2010.
PCF, Preparation for the Sacrament of Marriage, no. 34.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun