Di samping pertemuan yang bersifat instruksional dan intelektual, hendaknya diadakan juga pertemuan berkala yang diisi dengan dialog, diskusi, acara persahabatan, rekoleksi dan doa bersama.Â
Selain menuntut keterlibatan para ahli dari berbagai kalangan yang bekerja sebagai pembina dan pendamping, baik ahli psikologi, hukum, moral, teologi dan lain-lain, hendaknya ordinaris wilayah dapat mengkoordinasikannya, bila perlu mendatangkan keluarga-keluarga tertentu yang teruji karena pengalamannya dalam hidup berkeluarga untuk mendengarkan shering dan nasihat-nasihat dari mereka.
Persiapan akhir dari tahap ini hendaknya menghasilkan satu pencerahan akan karakter esensial dari perkawinan kristiani. Selain itu diharapkan persiapan ini juga menghasilkan kesadaran iman yang berkaitan dengan prioritas rahmat sakramen yang menyatukan pasangan nikah sebagai obyek dan pelayan sakramen dengan cinta Kristus sebagai mempelai dari Gereja.Â
Pada akhirnya dalam diri calon pasangan nikah juga mulai bertumbuh kemauan untuk melaksanakan misi terhadap keluarga-keluarga dalam bidang pendidikan, sosial kemasyarakatan dan Gereja.
Persiapan Langsung
Persiapan langsung merupakan persiapan yang dilakukan pada tahap, bulan atau minggu-minggu terakhir sebelum perayaan sakramen perkawinan. Persiapan ini merupakan lanjutan dari persiapan dekat. Persiapan langsung juga merupakan satu-satunya persiapan bagi pasangan yang karena alasan yang wajar tidak bisa mengikuti seluruh proses persiapan sejak awal.Â
Persiapan langsung ini biasanya berupa pertemuan doa atau retret untuk para calon pengantin, agar lewat perjumpaan dengan Tuhan mereka dapat menggali keindahan dan kekayaan hidup doa.Â
Selain itu akan diadakan wawancara dalam rangka penyelidikan kanonik. Penyelidikan pranikah ini mencakup dokumen-dokumen (bdk. Kan. 1065), domisili dan kuasi domisili (bdk. Kan. 100), hakekat perkawinan Katolik (bdk. Kan. 1055-1056), halangan-halangan yang menggagalkan perkawinan (bdk. Kan. 1073-1094), kesepakatan nikah (bdk. Kan 1095-1107), dan forma kanonika (bdk. Kan. 1108-1123).
PertunanganÂ
Perayaan perkawinan biasanya didahului dengan pertunanganan atau janji menikah. Tahap ini merupakan kebiasaan yang sangat tua yang sudah dipraktikkan dalam kebudayaan Yahudi, Yunani, Romawi dan bangsa-bangsa lain, dan dilihat sebagai masa terakhir sebelum perkawinan.Â
Gereja sangat menghormati dan memberi tempat bagi kebiasaan ini dalam reksa pastoral serta memberinya arti dan relevansi yuridis seperti tertuang dalam Kanon 1062.
Pertunanganan memiliki peranan yang sangat penting dan khas sebagai persiapan perkawinan, yang sering dilengkapi dengan syarat-syarat serta konsekuensi-konsekuensi sosial dan yuridis tertentu. Karena itu hukum Gereja tetap memandang perlu suatu pengaturan mengenai pertunangan, sekalipun sangat singkat dan sederhana.Â
Kanon 1062 tidak menentukan apapun mengenai kepastian atau kualitas yang harus dimiliki oleh pihak-pihak yang bertunangan. Namun karena janji untuk menikah sudah merupakan tindakan kemauan dan pertunangan sering merupakan persiapan yang perlu menuju jenjang perkawinan, kiranya bisa diterapkan persyaratan-persyaratan pokok yang ditetapkan untuk kesepakatan nikah, antara lain; yang bertunangan harus memiliki kemampuan untuk memahami dan menghendaki hakikat perkawinan (Kanon 124, 1) dan juga hendaknya pihak-pihak yang bersangkutan tidak menderita kelainan psikis (Kanon 1095, 3).