Saat ini terdapat hamparan hutan mangrove yang terletak di Kecamatan Magepanda, Maumere, Flores-NTT. Namun siapa sangka, hutan mangrove yang diperkirakan seluas 70 hektare ini merupakan buah karya dari seorang yang awalnya dicibir dan dikatakan gila oleh masyarakat setempat.Â
Kini orang gila yang lebih dikenal dengan Baba Akong itu telah menghadap Sang Khalik, namun jasanya tetap dikenang. Ibarat gajah mati meninggalkan gading, Baba Akong mati meninggalkan hutan mangrove.
Inisiatif kakek tua keturunan Tiong Hoa yang memiliki nama lengkap Victor Emanuel Rayon ini, berawal dari keprihatinannya ketika terjadi tsunami dan gempa tektonik yang melanda Flores, khususnya Maumere pada tahun 1992.Â
Abrasi air laut yang begitu muda menerobos dan menghancurkan rumah warga yang berada di sekitar pantai, serta merenggut korban jiwa dan harta benda, memotivasi Baba Akong untuk menanam mangrove.
Pada tahun 1993, ia bersama istri mulai mencari bibit mangrov, disemaikan dan kemudian ditanam di sepanjang pinggir pantai. Orang-orang sekitar yang melihat usaha mereka, malah mencibir dan menganggap bahwa pasangan ini adalah orang gila. Sekalipun dianggap gila karena melakukan pekerjaan yang sia-sia, namun mereka tidak patah semangat.
Waktu berjalan dan berpacu bersama tumbuhnya mangrove. Akhirnya pinggiran pantai yang dulunya gersang menjadi hijau karena ditumbuhi mangrove. Atas jasa mereka sebagai perintis lingkungan, pada tahun 2008 dan 2009, Baba Akong mendapat penghargaan dengan dianugerahi Kalpataru oleh Presiden SBY sebagai perintis lingkungan.
Sejak penghargaan itu, mangrove magepanda mulai dikenal luas. Beberapa komunitas pencinta lingkungan pun kadang datang untuk belajar dan melakukan penghijauan.Â
Pada tahun 2010, saya bersama teman-teman pengampuh mata kuliah filsafat lingkungan hidup, pernah datang ke lokasi ini untuk menanam mangrove. Waktu itu, pantai masih terlihat cukup gersang.
Saat ini pesisir pantai yang kelihatan gersang dan hawa yang panas itu, sudah berubah menjadi hamparan hutan mangrove. Uniknya, hutan mangrove ini dilengkapi dengan jembatan yang terbuat dari bila bambu, yang diperkirakan sepanjang 450 meter menuju pinggir pantai.Â
Saat melintasi hutan mangrove, kita akan merasakan kesejukan dan kesegaran oksigen yang dihasilkan oleh jutaan mengrove yang ada di sekitar. Kita pun akan mendengar riuh aneka kicauan burung yang sangat merdu.
Di penghujung jembatan bambu itu, terdapat sebuah tambak ikan. Para wisatawan yang datang ke tempat itu, bisa memancing dan membeli ikan di tempat tersebut. Pengunjung juga bisa berfoto di tengah-tengah tambak dengan latar belakang hutan mangrove yang hijau.
Selepas menikmati sejuknya hutan mangrove dan melewati tambak ikan, pengunjung akan disuguhi keindahan alam pantai dengan hamparan pasir putih nan asri.
Di samping dapat memanjakan mata karena keindahannya, hutan mangrove ternyata cocok untuk penyerapan dan penyimpanan karbon. Tanaman mangrove atau bakau mampu menyerap emisi yang terlepas dari lautan dan udara secarfa maksimal karena tumbuhan ini memiliki sistem akar napas dan keunikan struktur tumbuhan pantai.Â
Potensi mangrove sebagai penyimpan karbon sangatlah bermanfaat dalam menjaga keseimbangan alam, menurunkan pemanasan global, mencegahan perubahan iklim global dan menguntungkan dalam perdagangan karbon. Maka hutan mangrove hendaknya menjadi salah satu alternatif investasi hijau, yang perlu dilirik pada Presidensi G20 tahun ini.Â
Sebelumnya, dalam konferensi tingkat dunia yang pernah dilaksanakan di Bali pada tahun 2007, hutan mangrove ditetapkan sebagai salah satu faktor yang dapat memberikan kontribusi dalam menekan perubahan iklim.
Selain sebagai penyerap dan penyimpan karbon, hutan mangrove dapat melindungi daerah pesisir dari abrasi. Hutan mangrove pun menjadi tempat bersarang dan berkembang biaknya berbagai jenis burung. Tentu masih banyak lagi manfaat yang bisa diperoleh dari hutan mangrove.
Inspirasi:
Walaupun Baba Akong telah tiada, namun kebajikan hidup yang pernah ia lakukan ini, kini dilanjutkan oleh anak-anaknya. Beliau adalah seorang perintis yang kini membawa banyak perubahan postif bagi banyak orang karena kebajikan hidup yang pernah ia lakukan. Hal ini senada dengan tema yang diusung oleh Kebajikan Mettasik dan Maybank Finance, yakni "Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati".
Usaha dan perjuangan Bapa Akong ternyata membuahkan banyak manfaat bagi banyak orang, walaupun pada awalnya dicap sebagai orang gila.Â
Kisah ini sungguh menginspirasi kita. Berangkat dari suatu keprihatinan kepada sesama, kita diajak untuk melakukan kebaikan. Kita semua diajak untuk menyelamatkan alam. Kita pun perlu melakukan rekonsiliasi ekologis, yakni suatu pertobatan ekologis untuk tidak mengeksploitasi alam, tetapi melestarikan dan memulihkan keutuhan alam ciptaan.
Upaya-upaya kita untuk menjaga dan merawat alam, tentu bukan tanpa hambatan. Di sini ada satu nilai kebajikan yang diajarkan Baba Akong, "Pantang menyerah demi suatu kebaikan".Â
Beliau telah mewariskan kepada kita suatu semangat untuk mencintai lingkungan. Tentu tidak hanya dengan menanam mangrove, tetapi dengan cara apapun yang bertujuan untuk melestarikan dan merawat alam. Tanamlah kebaikan dan kebajikan selama kita hidup di dunia ini, karena apa yang kita tanam, itulah yang kita petik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H