Mohon tunggu...
Hendrikus Dasrimin
Hendrikus Dasrimin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Kunjungi pula artikel saya di: (1) Kumpulan artikel ilmiah Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?user=aEd4_5kAAAAJ&hl=id (2) ResearchGate: https://www.researchgate.net/profile/Henderikus-Dasrimin (3)Blog Pendidikan: https://pedagogi-andragogi-pendidikan.blogspot.com/ (4) The Columnist: https://thecolumnist.id/penulis/dasrimin

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Masih Relevankah Pembagian Kelas Berdasarkan Kepintaran Siswa?

21 Juli 2022   10:59 Diperbarui: 21 Juli 2022   14:31 6805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Saat SMP, sejak kelas 1 sampai kelas 3 anak saya selalu dapat pembagian di kelas A. Kok sekarang malah dapat di kelas D. Apa banyak teman lainnya yang lebih pintar ya?" 

Demikian sepenggal pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang ibu kepada temannya, sesaat setelah mengetahui bahwa anaknya mendapat pembagian di kelas D.

Ibu itu kelihatan kaget dan terkesan kurang puas ketika mengetahui bahwa anaknya yang baru selesai mendaftar ulang di SMA sebagai siswa baru tersebut harus mendapat pembagian di kelas D. 

Menurutnya, pembagian kelas A, B, C, D dan seterusnya adalah pengelompokan berdasarkan kepintaran atau prestasi akademik siswa yang dilihat berdasarkan nilai rapor atau nilai ujian.

Karena itu, ibu yang mengetahui bahwa anaknya selalu berada di kelas A selama duduk di bangku SMP, merasa kebingungan.

Bukan hanya ibu tersebut, kebanyakan orang masih berpandangan bahwa pembagian rombongan belajar (kelas), sering berpatokan pada tingkat kepintaran siswa.

Kelas A selalu diidentikan dengan kumpulan siswa yang paling pintar dibandingkan dengan kelas B, C dan seterusnya. Boleh dikatakan bahwa ini merupakan sebuah tradisi lama dan mungkin masih ada sekolah yang menerapkan hingga saat ini. 

Pertanyaan fundamental yang ingin diulas dalam artikel ini adalah masih relevankah tradisi tersebut diterapkan pada zaman ini? Apa plus-minus mengumpulkan siswa yang pintar di satu kelas yang sama dan dibedakan dengan siswa lainnya yang kurang berprestasi dalam belajar?

Plus-Minus Rombel Berdasarkan Kepintaran

Dalam sejarah kebijakan pendidikan kita, sistem pembagian kelas berdasarkan tingkat kepintaran pernah diterapkan. Konsekuensinya antara lain, siswa yang mendapat pembagian di kelas A, memiliki kebanggaan tersendiri karena pada umumnya orang berpandangan bahwa kelas A adalah orang-orang pilihan, orang-orang pintar, orang-orang hebat dan lain sebagainya.

Lebih ekstrem lagi, pemerintah bahkan pernah mengeluarkan kebijakan agar sekolah-sekolah dapat menerapkan kelas percepatan (akselerasi) atau kelas Siswa Cerdas Istimewa (SCI). Hal ini ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 12. 

Siswa cerdas istimewa adalah siswa dengan IQ yang tinggi (Feldhusen, 2005; Gordon dan Bridglall, 2005; Sword, 2001). Kebijakan ini kemudian mendatangkan pro-kontra yang pada akhirnya dihapus kembali.

Maka, jika masih ada sekolah yang menerapkan pembagian rombongan belajar berdasarkan kepintaran sisiwa, sebenarnya tidak relevan lagi karena merupkan tradisi lama yang sudah dievaluasi dan diperbaharui.

Beberapa ahli berpendapat bahwa pengelompokan siswa (rombel) berdasarkan tingkat kepintaran, memang dibutuhkan.

Ofianto (2015) berpendapat bahwa setiap anak seharusnya mendapat pengalaman belajar sesuai dengan kebutuhan, kondisi, kemampuan dan minat serta kecepatannya, untuk berkembang seoptimal mungkin.

Lebih lanjut, Milgram (dalam Hawadi, 2002: 20) menyatakan anak didik berbakat intelektual sebenarnya sama dengan anak berkebutuhan khusus yang mengalami gangguan, misalnya gangguan penglihatan, buta, tuli, kesulitan belajar, dan keterbelakangan mental, di mana mereka membutuhkan bantuan untuk mengembangkan potensinya.

Maka, siswa yang pintar diperlukan layanan pendidikan khusus yang dapat memungkinkan kebutuhan tersebut terpenuhi.

Barbara Clark (1983: 132-134) menyatakan ada beberapa alasan pentingnya diberikan layanan kepada anak berbakat intelektual, antara lain:

1) Lingkungan belajar yang sesuai dapat mendukung berkembangnya kapasitas atau potensi seseorang.

2) Pendidikan yang memperlakukan secara sama untuk semua siswa adalah pendidikan yang telah mengingkari adanya hak perkembangan pendidikan yang cocok bagi anak berbakat intelektual.

3) Memberikan keadilan kepada siswa yang memiliki bakat intelektual seperti halnya mereka yang memiliki keterbatasan.

Dan, 4) diharapkan dengan fasilitas yang ada maka potensi anak akan terkelola secara maksimal.

Jika siswa yang memiliki prestasi akademik yang baik ditempatkan dalam satu kelas maka dapat mendorong siswa untuk memiliki daya saing (secara positif) untuk lebih meningkatkan prestasi belajar mereka (Putri, 2016).

Para guru yang mengajar di kelas akan memiliki banyak "kemudahan" dalam mengajar. Jika siswa digabung dengan berbagai tingkat kecerdasan, maka ketika suatu materi akan dilanjutkan, ia harus mempertimbangkan juga bahwa ada siswa yang masih belum memahami.

Di lain pihak, pengelompokan siswa berdasarkan tingkat kepintaran memiliki problem tersendiri. Pembagian kelas seperti ini dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak negatif pada peserta didik.

Keberadaan kelas unggulan (misalnya kelas A) dapat memisahkan anak dari kehidupan alamiah yang ada di sekelilingnya sehingga akan mengalami keterlambatan dalam bersosialisasi. Adanya perasaan superior, gengsi, dan menimbulkan keminderan bagi siswa yang berada di kelas "rendah".

Bagi saya, pembagian kelas berdasarkan tingkat kepintaran adalah konstruksi kurikulum yang menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam pendidikan. 

Praktek seperti ini, oleh Giroux merupakan bentuk kapitalisme modern. Menurut Giroux, kapitalisme dipandang mengorganisasi pendidikan secara massal sesuai dengan kepentingan kelas kapitalis.

Pembagian siswa secara merata berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan, sekolah asal, dan lain-lain adalah lebih bijaksana dibandingkan dengan mengkotak-kotakan siswa berdasarkan kriteria tersebut.

***

Daftar rujukan:

Kusdiyati, S. (2017). Kompetensi Sosial dengan Melihat "Overexcitabilities" dan Pola Asuh Pada Siswa Cerdas Istimewa. Journal of Psychological Research, Volume 3, No.1, Mei 2017, 11--22.

Ofianto. (2015). Evaluasi Program Percepatan atau Akselerasi Belajar di SD Muhammadiyah Sapen Yogyakarta. Jurnal Humanus, 63 Vol. XIV No.1 Th. 2015, XIV(1), 63--70.

Putri, F. A. (2016). Hubungan Konsep Diri dengan Motivasu Berprestasi Pada Siswa Akselerasi dan Siswa Reguler. Jurnal Psikologi Pendidikan 2016, Vol. 7, No. 1, 1 - 19, 7(1), 1--19.

Sugiarti, R., & Suhariadi, F. (2015). Gambaran Kompetensi Sosial Siswa Cerdas Istimewa. Psychology Forum UMM, ISBN: 978-979-796-324-8, 978--979. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun