Jika siswa yang memiliki prestasi akademik yang baik ditempatkan dalam satu kelas maka dapat mendorong siswa untuk memiliki daya saing (secara positif) untuk lebih meningkatkan prestasi belajar mereka (Putri, 2016).
Para guru yang mengajar di kelas akan memiliki banyak "kemudahan" dalam mengajar. Jika siswa digabung dengan berbagai tingkat kecerdasan, maka ketika suatu materi akan dilanjutkan, ia harus mempertimbangkan juga bahwa ada siswa yang masih belum memahami.
Di lain pihak, pengelompokan siswa berdasarkan tingkat kepintaran memiliki problem tersendiri. Pembagian kelas seperti ini dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak negatif pada peserta didik.
Keberadaan kelas unggulan (misalnya kelas A) dapat memisahkan anak dari kehidupan alamiah yang ada di sekelilingnya sehingga akan mengalami keterlambatan dalam bersosialisasi. Adanya perasaan superior, gengsi, dan menimbulkan keminderan bagi siswa yang berada di kelas "rendah".
Bagi saya, pembagian kelas berdasarkan tingkat kepintaran adalah konstruksi kurikulum yang menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam pendidikan.Â
Praktek seperti ini, oleh Giroux merupakan bentuk kapitalisme modern. Menurut Giroux, kapitalisme dipandang mengorganisasi pendidikan secara massal sesuai dengan kepentingan kelas kapitalis.
Pembagian siswa secara merata berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan, sekolah asal, dan lain-lain adalah lebih bijaksana dibandingkan dengan mengkotak-kotakan siswa berdasarkan kriteria tersebut.
***
Daftar rujukan:
Kusdiyati, S. (2017). Kompetensi Sosial dengan Melihat "Overexcitabilities" dan Pola Asuh Pada Siswa Cerdas Istimewa. Journal of Psychological Research, Volume 3, No.1, Mei 2017, 11--22.
Ofianto. (2015). Evaluasi Program Percepatan atau Akselerasi Belajar di SD Muhammadiyah Sapen Yogyakarta. Jurnal Humanus, 63 Vol. XIV No.1 Th. 2015, XIV(1), 63--70.