Antagonisme Atheis
Akhirnya! Kembalilah!Â
Pun dengan siksamu yang nyeri!Â
Padaku orang terakhir yang sepi
Penggalan puisi ini sebanarnya merupakan antagonisme pemikiran Friedrick Nietzshe tentang "Tuhan telah mati". Dari Alp, Sils Maria, Nietzsche berteriak: Tuhan telah mati! Tetapi, dengan memperhatikan baris-baris puisinya ini, sebenarnya Nietzsche justru menemukan Tuhannya. Tuhan yang ia temukan bahkan justru lebih mendalam, yakni "Tuhan yang teologis" ketimbang "Tuhan yang antropologis" seperti dalam pandangan sebelumnya.
Nietzsche seakan kembali lagi pada sebuah puisi yang ia tulis ketika masih usia 20 tahun. Penggalan puisi yang berjudul: "Aku  ingin mengenalmu, yang Tak Dikenal" adalah sebagai berikut:
Kau merebut kedalaman jiwaku            Â
Kau yang menghempas hidupku seperti badai
Kau yang tak bisa ditangkap, kau yang seluhur denganku
Aku ingin mengenalmu, bahkan melayanimu
Ungkapan "Tuhan telah mati" yang pertama kali muncul dalam Die frhliche Wissenschaft, dan juga muncul dalam buku Also sprach Zarathustra ini, menjadi pernyataan antagonis jika dihadapkan dengan kedua puisi ini. Kebenaran tesis ini tentu belum mampu dijelaskan secara valid hingga saat ini, walaupun demikian secara implisit setidaknya Nietzshe pernah mengakui adanya Tuhan yang hidup, tetapi dibunuh.
Inilah hakikat sebuah karya sastra. Ketika pengungkap "Tuhah telah mati", itu telah mati, maka semua puisinya menjadi milik publik. Nietzsche sebagai subjek penyair itu telah mati. Sekarang tidak ada lagi manusia, tetap yang ada hanya catatan romantisme biografis, yang kadangkala dijadikan acuan untuk memahami teks. Kini yang ada adalah 'aku penafsir' (I) dan 'engkau objek' (Thou, teks).Â
Idealnya 'aku penafsir' tidak menghancurkan berbagai makna dalam konteks sejarah. Penafsir dan teks harus selalu dalam situasi dialogis dan saling menyediakan cakrawala untuk bertemu dengan mesra. Pertemuan tersebut bagi Hans Georg Gadamer disebutnya sebagai "suatu penyingkapan" atau "pertemuan ontologis".Â
Lantas, apakah "sang pembunuh Tuhan" ini bukanlah seorang atheis sejati, lantaran beberapa puisinya yang terkesan antagoni? Jawabannya kembali lagi kepada "aku penafsir".
Antagonisme Kaum Beragama
Sastra Amerika Latin selalu terbakar dalam nyala pertanyaan, bukan pertanyaan Nietzsche atau Sartre, yakni atheisme yang membunuh Tuhan, akan tetapi atheisme dalam berbentuk lain, atheisme yang paradoksal yakni atheisme para pendekar-pendekar Tuhan dan Agama.Â
Maka baiklah kita ingat pada analisis seorang novelis dan penyair Meksiko, yang sekaligus adalah diplomat dan ilmuwan juga, yakni Octavio Paz. Baginya "implisit atau eksplisit, atheisme itu universal". Namun demikian, kita harus mengkasifikasikan beberapa cabang atheisme, yakni:Â
Pertama, mereka yang percaya bahwa mereka percaya pada Tuhan yang hidup, tetapi dalam kenyataannya berpikir dan hidup seolah-olah Tuhan tidak pernah ada (inilah atheis-atheis tulen, dan kebanyakan dari orang-orang kita tergolong yang berpendapat demikian).
Kedua, atheis-atheis semu, semu karena bagi mereka Tuhan tidak pernah mati, sebab tidak pernah ada: namun toh mereka pun percaya pada pengganti-pengganti Tuhan (rasio, kemajuan, sejarah): dan akhirnya mereka yang menerima kematiannya, lalu mencoba menjalani hidup mereka di dalam perspektif yang belum pernah ada itu.
Atheisme yang kedua dapat dibagi lagi menjadi dua jenis: mereka yang tidak sumarah dalam hatinya, seperti tokoh Orang Gila Nietzsche yang menyanyikan Reguiem aeternam deo (lagu Beristirahatlah selama-lamanya untuk jenazah Tuhan): dan mereka yang menghayati atheisme sebagai suatu kepercayaan.Â
Kedua jenis atheisme ini menghayati kematian Tuhan secara religius, ringan hati, namun berjiwa berat. Ringan hati, sebab mereka hidup, seolah-olah suatu beban berat telah lepas dari bahu mereka; berjiwa berat, karena dengan hilangnya kekuasaan ilahi, persendian seluruh semesta makhluk, fondasi itu sendiri di bawah kaki-kaki mereka serba goyah. Tanpa Tuhan dunia menjadi ringan, tetapi manusia menjadi berat.
Kematian Tuhan adalah salah satu bagian dalam sejarah agama-agama dunia, seperti kematian Dewa Pan Agung, atau sekonyong-konyong hilangnya Overzalcoati, fase dalam kesadaran modern. Fase ini adalah fase yang religius.Â
Di sinilah letak perbedaan antara agama dan religiositas. Agama lebih menunjuk pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada yang transenden, dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan.Â
Religiositas lebih melihat aspek yang di dalam lubuk hati, riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa.
Orang beragama banyak yang religius, dan seharusnya memang demikian. Tetapi kenyataannya tidak selalu begitu. Banyak yang menganut agama tertentu tetapi cara hidup tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Ada yang mengaku beragama (bahkan sebagai tokoh), tetapi menyerukan ujaran kebencian.Â
Mereka agamawan tetapi tidak atau bahkan jauh dari sikap religius otentik. Itulah atheisme kaum beragama. Percaya pada Tuhan yang hidup, tetapi dalam kenyataannya berpikir dan hidup seolah-olah Tuhan tidak pernah ada.
Daftar Rujukan:
Oyos Saroso H.N. Tentang Kematian Penyair dan Legitimasi Teks. Teraslampung.Com. 2014.
Akhmad Santosa, Nietzsche Sudah Mati. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Y.B. Mangunwijaya. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Kanisius, 1988.