Dikatakan urgen karena kesadaran itu sangat menentukan format dan konstruksi politik peradilan saat ini sekaligus menopang kiprah keberadaan masyarakat di tengah konflik yang terjadi. Kesadaran kritis merupakan filter terhadap setiap kebijakan politik yang diputuskan oleh para penegak hukum di republik tercinta.Â
Dalam filterisasi kritis itu kebijakan yang irelevan dapat digantikan dengan kebijakan yang dinilai layak untuk kebaikan bersama. Signifikansi kesadaran kritis juga mengapresiasikan suatu keterlepasan dari budaya bisu (the culture of silence) yang tidak hanya mengafirmasi atau mengkonservasi secara pasif semua keputusan yang ditetapkan, tetapi sebaliknya, selalu aktif dan partisipatif dalam menjalankan kritik yang kritis terhadap oknum-oknum yang tidak fair dalam proses peradilan.
Kesadaran kritis membantu masyarakat untuk menemukan inovasi-inovasi baru yakni kritis atas situasi politik yang melingkunginya serta menjadikannya teralienasi dari persoalan yang mendera kehidupan berkomunitas.Â
Maka para para penegak hukum yang memiliki sikap antikritik adalah ciri penguasa yang tidak memiliki kesadaran akan nilai moral kultural dan penolakan terhadap kritik adalah sikap apatis yang tidak mengenal pola dan tata aturan yang tercantum dalam undang-undang Republik ini.Â
Sikap ini harus dideteksi agar mafia peradilan yang telah ditumbuhkan kembangkan atas dasar popularitas dapat teratasi secara perlahan-perlahan namun pasti.Â
Kesadaran itu telah mendorong segelintir orang dalam bangsa ini untuk membentuk suatu yang dikenal dengan nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi dibentuk dengan tujuan untuk mendeteksi dan memberantas tindakan korupsi yang telah marak dalam bangsa ini.Â
Hal ini merupakan suatu tindakan partisapatif dan aksi konkrit dalam membersihkan virus-virus yang telah lama menghalangi perkembangan bangsa ini. Namun hal penting yang dituntut dari masyarakat adalah bahwa komisi ini pun harus bersih dalam tindakan, jujur dalam menyampaikan fakta, serta tegas dalam memeranginya.
c. Merenovasi Pola Situasi Berbasis Responsabilitas
Indonesia yang demokratis akan terwujud kalau masing-masing pihak sadar akan keberadaannya, serta integrasi yang adekuat tidak terbatas pada hubungan horisontal tetapi juga hubungan vertikal, dengan instansi-instansi pemerintah. Relasi antara keduanya adalah relasi yang bersifat dialektis.Â
Artinya, pola interaksi dalam semua sektor sosial dicitrai dengan pola hubungan dialektis yang membebaskan dan saling membebaskan tidak mementingkan popularitas diri. Disinilah letak tanggung jawab dari masing-masing pihak dituntut untuk memberantas mafia peradilan yang telah lama menjadi kultur dalam memenangi proses peradilan.
Untuk merenovasi situasi tersebut, maka langkah-langkah yang perlu diambil adalah sebagai berikut: Pertama; pemerintah sudah semestinya membuat cetak biru program reformasi peradilan untuk menghindari maraknya praktik mafia.Â