Belis pada masyarakat Sikka terdiri dari beberapa bentuk atau jenis barang. Pada awalnya (masa lampau) hingga sekitar tahun lima puluh-an, belis pada masyarakat Sikka hanya memiliki satu bentuk yang dikenal dengan istilah bahar atau emas.Â
Setiap pemuda yang ingin mengambil seorang gadis akan dikenakan bahar walu, delapan emas. Emas dijadikan sebagai belis karena pada waktu itu jumlah emas cukup banyak beredar di tengah masyarakat.
Dalam perkembangan selanjutnya, karena jumlah emas semakin sulit ditemukan dan beredar di tengah masyarakat, maka bahar diganti dengan bentuk yang lain.Â
Bentuk-bentuk belis itu antara lain adalah gading (sebagai belis utama) dan beberapa belis tambahan yakni babi, kambing, kuda, hasil pertanian, sirih pinang, uang. Bentuk-bentuk belis ini juga memiliki simbolnya masing-masing.
1. Gading (Bala)
Gading atau taring gajah merupakan salah satu jenis belis yang paling utama atau paling pokok dalam adat pembelisan Sikka. Dari kenyataan yang dapat kita amati sekarang ini bahwa di Maumere (bahkan seluruh daerah di Nusa Tenggara Timur) tidak ditemukan adanya gajah sebagai satu-satunya binatang yang memproduksi gading.Â
Namun sesuatu yang sulit ditemukan inilah justru dijadikan sebagai tuntutan utama dalam pembelisan. Dari sini akan muncul pertanyaan: dari mana asal gading itu dan mengapa gading dipakai sebagai bahan belis sekalipun barang tersebut sangat sulit ditemukan?
Gading adalah suatu harta benda yang sumbernya tidak terdapat di daerah ini. Menurut perkiraan, pasokan gading gajah yang melimpah, berasal dari kepergian seorang raja Sikka pada awal 1600-an ke Malakka yang berada di bawah kekuasaan Portugal.Â
Beliau memeluk agama Katolik dan ketika pulang dari Malakka mendapat cendera mata satu kapal penuh gading yang kemudian dibagikan kepada bangsawan dan tuan tanah di Sikka dan sekitarnya.Â
Sejak saat itu, tradisi menyimpan gading sebagai pusaka dilestarikan warga. Saat ini, pasokan gading gajah diperoleh dari Sabah, Malaysia. Gading itu berasal dari gajah yang mati secara alamiah. Awalnya, gading-gading gajah dibawa oleh orang-orang Portugis dari Malakka.Â
Penduduk yang kemudian mengenalnya sebagai barang berharga lalu menjadikannya sebagai mas kawin. Gading tersebut kemudian beralih dari tangan ke tangan hingga saat ini.Â
Selain itu ada yang melakukan barter (pertukaran gading dari Adonara dengan sarung dari Sikka). Gading tersebut disebarluaskan oleh kapitang-kapitang, yang bertugas di beberapa daerah kekuasaan. Kapitang adalah salah satu tingkatan struktur pemerintahan dalam kerajaan Sikka pada zaman dahulu, yang sekarang ini bisa disetarakan dengan kecamatan.
Sumber lain mengatakan bahwa dari perjalanan sejarah diyakini gajah pernah hidup di Flores. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya fosil stegodon, sejenis gajah raksasa yang ditemukan di Ola Bula, Ngada, Flores pada Desember 1956 oleh tim ekspedisi Verhoeven.Â
Fosil itu dinamakan Stegodon Trigonocephalus Florensis. Diperkirakan hewan ini telah hidup di Flores pada periode 400.000 tahun-10.000 tahun yang lalu. Fosil tersebut kini disimpan di Museum Bikon Blewut, di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere (Santoso, 2010).
Gading dipilih menjadi bahan belis karena pada zaman dulu bahan berharga ini cukup banyak beredar di tengah masyarakat menggantikan bahar atau emas yang kian berkurang. Namun dewasa ini gading sulit ditemukan dan memiliki nilai jual yang sangat mahal harganya.
Alasan pokok mengapa hal ini dapat terjadi karena barang tersebut tidak dapat berkembangbiak. Selain itu hal berkurangnya gading juga disebabkan karena dibuat beberapa perhiasan misalnya cincin dari gading (kila bala), gelang (kalar bala) dan lain-lain.Â
Walaupun pada zaman sekarang ini gading sangat sulit ditemukan namun belis gading masih tetap dipertahankan. Justru karena kesulitan untuk mendapatkan barang ini secara tidak langsung mau mengungkapkan bahwa membangun sebuah rumah tangga baru bukanlah hal yang muda. Seorang pemuda yang hendak beristri haruslah orang yang cukup dewasa dan mampu bekerja keras.
Dalam perkembangan sekarang ini, gading bisa diganti dengan uang atau kuda. Dan besarnya jumlah uang tersebut tergantung dari jenis gading yang diminta.Â
Adapun jenis-jenis gading itu antara lain bala repang (ukurannya sepanjang sedepa tangan), bala m'ela wa'ir (sepanjang rentangan tangan yang diukur dari ujung jari tangan sampai tenggorokan), bala l'egi kelik (sepanjang rentangan tangan yang diukur dari ujung jari tangan sampai ketiak), dan lain-lain.
 2. Hewan
Hewan yang biasa dijadikan sebagai belis adalah babi, kambing, kuda, dan ayam. Secara umum, hewan yang digunakan dalam pembelisan dimaksudkan sebagai bahan sembelihan yang akan dikonsumsi pada saat berlangsungnya urusan adat.Â
Dengan kata lain, belis berupa hewan ini akan digunakan untuk makan bersama pada saat pesta atau pertemuan keluarga dalam rangka urusan adat tersebut. Biasanya yang berkewajiban memberikan belis berupa hewan adalah pihak wanita kepada pihak lelaki.
Selain akan digunakan untuk makan bersama, pembelisan dalam bentuk hewan juga memiliki nilai simbolis tertentu. Misalnya babi yang dibunuh pada tahap wawi dadi, suara pekikan akibat tikaman menjadi simbol penting sebagai maklumat yang harus diumumkan kepada masyarakat sekitar bahwa ikatan sudah terjadi antara kedua insan muda itu dan antara dua keluarga.
 3. Hasil Kebun atau Pertanian
Hasil kebun atau pertanian yang biasa dibawa sebagai bahan belis adalah pisang, kelapa (biasanya yang sudah bertunas), padi, ayam, jagung, buah-buahan, umbi-umbian, kacang-kacangan dan lain-lain.Â
Selain itu ada juga hasil usaha nelayan yang digunakan sebagai belis, namun tidak begitu dominan (biasanya hanya ikan kering). Barang-barang tersebut dibawa oleh pihak lelaki untuk diberikan kepada pihak perempuan pada saat Tung Mu'u Kabor. Barang-barang ini secara sekilas dilihat sebagai hal yang sangat sederhana, namun memiliki arti simbolis yang cukup mendalam.
Hasil pertanian yang dijadikan sebagai bahan belis sangat relevan dengan keadaan hidup orang Maumere yang pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani. Untuk dapat menghasilkan sesuatu dibutuhkan seorang petani yang cukup dewasa dan trampil serta rajin dalam bekerja.Â
Oleh karena itu seorang pemuda yang membawa belis berupa hasil pertanian kepada keluarga wanita, mau memperlihatkan bahwa ia sebenarnya sudah cukup dewasa, rajin dan bisa menghasilkan sesuatu yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga dalam kehidupan sehari-hari.Â
Dengan kata lain, hasil pertanian yang selalu digunakan dalam suatu proses pembelisan adat orang Maumere mau menunjukkan bahwa si pemuda sudah bisa mencari nafkah sendiri dan karena itu ia bisa membangun sebuah rumah tangga baru.
 4. Sirih Pinang (Wu'a Taa)
Sirih dan pinang atau dalam bahasa daerah disebut Wu'a Taa, merupakan hal yang sangat penting dalam pembelisan. Sirih dan pinang biasanya selalu diberikan pada saat yang bersamaan.
Dalam arti bahwa apabila sirih diberi, maka pinangnya juga harus diberikan, demikian pun sebaliknya. Secara umum sirih pinang selalu menjadi hal utama dalam setiap proses adat. Setiap kali pertemuan adat selalu disuguhkan sirih pinang sebagai bentuk sapaan awal.Â
Namun dalam arti yang cukup mendalam sirih merupakan simbol dari seksual pria dan pinang merupakan simbol dari seksual wanita. Karena itulah kedua hal tersebut tidak boleh dipisahkan satu sama lainnya untuk melambangkan persatuan yang akan terjadi pada sang pemuda dan pemudi.
5. Sarung (Utan Patan)
Sarung merupakan salah satu bagian dari belis yang diberikan oleh pihak perempuan kepada pihak lelaki sebagai hadiah pembalasan dari belis yang telah diterima. Walaupun si gadis tidak bisa menghasilkan sarung tersebut, namun bentuk belis ini mau menunjukkan bahwa si gadis telah bisa menghasilkan sesuatu dan mampu merawat dan melindungi suami serta anak-anak.Â
Untuk diketahui bahwa pada zaman dulu pekerjaan pokok dari seorang gadis adalah menenun. Dan biasanya kriteria yang menjadi persyaratan utama bagi seorang pemuda yang hendak memilih jodohnya adalah wanita yang sudah trampil menenun.Â
Hal ini biasa diungkapkan dengan bahasa adat "ami gai naha mora 'ata u'an tena, mata perun, loru lorun raita", artinya kami hanya mau dengan orang yang sudah bisa bekerja memintal benang dan bisa menenun.
Akan bersambung pada Bagian IV: Tahapan-tahapan atau proses pembelisan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H