Praktek belis telah menjadi kebiasaan masyarakat adat sejak dahulu kala dan diwariskan secara turun temurun ingga dewasa ini. Bukti sejarah tentang kapan dan siapa yang memulai adat kebiasaan ini, tidak dapat diketahui secara pasti. Di tengah kesulitan untuk mengetahui secara pasti latar belakang sejarah adat belis ini, sebuah sumber[1] menuliskan bahwa kebiasaan ini dimulai pada pertengahan abad ke XVII. Walaupun demikian sumber ini tidak menjadi satu-satunya bukti sejarah yang pasti tentang latar belakang sejarah pembelisan di Sikka. Edmundus Pareira, dalam tulisannya itu mengisahkan bahwa pada masa pemerintahan Ratu Dona Maria dari Sikka, sering terjadi kasus amoral oleh ulah lelaki yang tidak teratur hidupnya, baik terhadap anak gadis maupun terhadap isteri orang. Kasus pemerkosaan dan perselingkuhan sering terjadi. Sebagai konsekuensi dari tindakan yang dianggap tidak bermoral ini, maka di mana-mana timbul kasus perkelahian, pembunuhan dan perbantahan.
Menghadapi realitas hidup yang demikian, maka pihak kerajaan yang berperan sebagai pemerintah wilayah harus mengambil suatu tindakan demi menjaga stabilitas kehidupan rakyatnya. Sebagaimana biasanya dalam menghadapi persoalan seperti itu, jalan pertama yang ditempuh adalah mengadakan musyawarah bersama. Maka diadakanlah musyawarah oleh para tua adat setempat dalam kerajaan, guna menetapkan suatu peraturan yang lebih mengikat dan yang harus dijalankan bersama.
Dari pertemuan itu tercapailah suatu kesepakatan bahwa: Setiap pria, tua atau muda, apabila hendak menikahi seorang gadis atau seorang wanita, haruslah terlebih dahulu dirundingkan mas kawin atau belisnya, bersama keluarga atau orang tua wanita. Sebelum nikah wajib diserahkan sebagian belis menurut ketentuan dan kemudian diselesaikan menurut ketentuan dua belah pihak. Tak ada seorang yang tak dapat luput dari hukum adat ini. Juga barang siapa yang mengganggu atau mempermainkan gadis orang atau istri orang, kepadanya akan dikenakan sangsi sesuai hukum yang berlaku. Hal ini diungkapkan dengan ungkapan adat sebagai berikut:
Naha pra waing, naha toso meng.
Naha diat wiing nora tudi mesu,Â
Beli wiing nora kila bitak.
'Ata meng 'ene wua weli poi ita,
'Ata mahang 'ene hoi weli poi ita.
'Ata wa'ing bait,
Ganu plea ganu k'legang.
'Ata meng b'elar,
Ganu roho, ganu tole.
Terjemahan bebas sebagai berikut:
Istri harus dipinang, anak orang harus dilamar
Saling menyerahkan pisau bertuah (gading)
Saling berganti cincin sebentuk (emas)
Anak orang tak dilahirkan bagi kita,
Hamba orang tak ditebus untuk kita.
Istri orang haram, lagi pahit dimakan
Anak orang kelat rasanya, bagai buah beracun [2] Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Kaum lelaki yang pada waktu itu menganggap dirinya sebagai yang lebih tinggi kedudukannya diharuskan untuk menghormati kaum wanita yang juga adalah seorang manusia. Ia tidak seenaknya menindas dan melakukan kekerasan kepada anak perempuan atau istri orang. Pembelisan akan mengikat hubungan persatuan antara suami dan istri sehingga tidak boleh terjadi perselingkuhan. Demikian pula seorang anak (wanita) harus dihormati layaknya seorang manusia. Apresiasi atau penghormatan itu dapat disimboliskan dalam bentuk belis.Â
Hasil musyawarah tersebut akhirnya diumumkan kepada seluruh masyarakat untuk ditaati bersama. Walaupun aturan tersebut tidak tertulis, namun kesepakatan itu terus dijalankan turun-temurun hingga abad ini yang dikenal dengan Ling Weling atau belis. Warisan budaya ini terus dipelihara dengan baik demi menjaga agar kaum pria jangan sampai menganggap kaum wanita sebagai manusia yang rendah martabatnya, sehingga mereka dapat mempermainkannya.
Setelah Ratu Dona Maria meninggal, maka ia diganti oleh Mo'ang Samau da Silva, alias Oriwis da Silva, kemanakannya. Dan ketika beliau meninggal, ia digantikan oleh Agnes da Silva alias Dona Ines da Silva, seorang saudarinya. Dona Maria telah mulai menata perkawinan yakni harus dipinang dengan sopan, dan selanjutnya Dona Ines da Silva yang mengatur perkara emas perkawinan bagi segala perempuan menjadi semakin keras dan lebih teratur. Bagi Dona Ines, pembelisan atau mas kawin ini sangat penting karena pada waktu itu penghargaan terhadap martabat wanita sangat rendah. Banyak anak gadis yang dikawini dan dibawa ke mana-mana sekehendak hatinya dan kemudian diceraikan atau  dibiarkan saja.
Jadi, tujuan mendasar mengapa pada waktu itu Dona Ines da Silva menetapkan keharusan adanya belis bagi perempuan adalah demi menghargai martabat kaum wanita pada zamannya yang kurang mendapat perhatian atau penghargaan, khususnya dari kaum pria. Tentang emas kawin atau belis ini, diperibahasakan demikian:
Naha b'eli wiing nora tudi manu          harus saling memberi dengan pisau ayam
Naha di'at wiing nora kila bitak           harus saling menerima dengan cincin sebentuk
 Naha b'eli wiing nora 'ledang be'ak       harus memberi dengan muti manik
 Na niang po'a noni beli kru'ut            agar siang hari menyapu sampah
 Lero 'wau ra'u beli awu                   malam hari memberikan abu dapur.
Akan bersambung pada Bagian III: Â Bentuk-bentuk dan Makna Simbolis Belis
Daftar Rujukan:
[1] Edmundus Pareira (penyus.), Seputar Warisan Adat Kabupaten Sikka ([t.t.], [t.p.], 1991), I, p. 3.
[2] Iwan Santosa, Arungi Perairan Tenang, Tim Ekspedisi Menuju Adonara, (Online), 2009, Â (http://regional.kompas.com/read, diakses 10 Oktober 2010).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H