Ganu roho, ganu tole.
Terjemahan bebas sebagai berikut:
Istri harus dipinang, anak orang harus dilamar
Saling menyerahkan pisau bertuah (gading)
Saling berganti cincin sebentuk (emas)
Anak orang tak dilahirkan bagi kita,
Hamba orang tak ditebus untuk kita.
Istri orang haram, lagi pahit dimakan
Anak orang kelat rasanya, bagai buah beracun [2] Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Kaum lelaki yang pada waktu itu menganggap dirinya sebagai yang lebih tinggi kedudukannya diharuskan untuk menghormati kaum wanita yang juga adalah seorang manusia. Ia tidak seenaknya menindas dan melakukan kekerasan kepada anak perempuan atau istri orang. Pembelisan akan mengikat hubungan persatuan antara suami dan istri sehingga tidak boleh terjadi perselingkuhan. Demikian pula seorang anak (wanita) harus dihormati layaknya seorang manusia. Apresiasi atau penghormatan itu dapat disimboliskan dalam bentuk belis.Â
Hasil musyawarah tersebut akhirnya diumumkan kepada seluruh masyarakat untuk ditaati bersama. Walaupun aturan tersebut tidak tertulis, namun kesepakatan itu terus dijalankan turun-temurun hingga abad ini yang dikenal dengan Ling Weling atau belis. Warisan budaya ini terus dipelihara dengan baik demi menjaga agar kaum pria jangan sampai menganggap kaum wanita sebagai manusia yang rendah martabatnya, sehingga mereka dapat mempermainkannya.