Kabar duka datang dari sejarawan Indonesia yang berasal dari Sumatera Barat (Sumbar), Prof Mestika Zed.
Kabar meninggalnya Mestika Zed langsung tersebar di grup-grup WhatsApp, salah satunya grup Keluarga Besar Ganto (grup alumni lembaga pers mahasiswa di Universitas Negeri Padang).
Mestika Zed mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) M Jamil, Padang, sekitar pukul 8.26 WIB, tanggal 1 September 2019 diusia 63 tahun.
Mestika Zed, lahir di Batu Hampar, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat, 19 September 1955 -- meninggal di Padang, 1 September 2019. Ia adalah sejarawan Indonesia. dan merupakan guru besar sejarah di Universitas Negeri Padang dan Universitas Andalas. Ia aktif menulis buku serta sebagai kolumnis.
![sumber: gucarpic.pw](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/09/02/p-20190805-064759-5d478181097f3655db7cbfa3-5d6c66e80d82307dcd390382.jpg?t=o&v=770)
Sebagai seorang ilmuwan, Mestika Zed memilih dan menulis judul bukunya: "Perlawanan Seorang Pejuang." Ia tidak pernah mengutip pendapat para ahli lainnya yang menyebutkan bahwa Ahmad Husein itu seorang "penghianat."
Tentang tokoh Ahmad Husein yang ditulis Mestika Zed ini, sudah tentu kita tidak bisa melupakan Brigadir Jenderal TNI (Purn) Dr. Saafroedin Bahar yang juga sudah almarhum, sama-sama berasal dari Minangkabau.
Pada 9 September 2015, Saafroeddin Bahar mengirim sebuah buku ke alamat melalui penerbit. Buku berjudul: "Etnik, Elite, dan Integrasi Nasional" Minangkabau 1945-1984, Republik Indonesia 1985-2015.
Buku setebal 487 halaman ini merupakan disertasinya untuk memperoleh gelar Doktor di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta pada tahun 1996. Buku ini ditulis apa adanya, berbentuk disertasi. Diterbitkan oleh Penerbit Gre Publishing, Yogyakarta, 2015.
Pada 5 Agustus 2019, buku ini saya ulang membacanya, karena tepat di bulan Agustus 1961, perang antara daerah (Padang) di mana Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) lahir, berperang dengan pusat (pasukan yang didatangkan dari Jakarta ke Sumatera Barat), berakhir. Perang saudara itu dimulai sejak bulan Maret 1958
Ahmad Husein waktu itu berpangkat Letnan Kolonel pada 15 Februari 1958 mengumumkan berdirinya PRRI di Padang. Ia juga mengadakan rapat raksasa di ibukota Sumatera Barat tersebut dan mengeluarkan ultimatum yang isinya agar Kabinet Djuanda menyerahkan mandatnya kepada Presiden dengan waktu 5 X 24 jam dan Presiden diminta kembali kepada kedudukan konstitusionalnya.