Hari ini bangsa Indonesia dari Sabang hingga Merauke melaksanakan berbagai acara dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) ke-74. Di Istana Merdeka, peringatan ini dipimpin oleh Presiden RI Joko Widodo dan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. Pembacaan teks Proklamasi yang pada 17 Agustus 1945 dibaca oleh Presiden RI Pertama Soekarno yang didampingi Wakil Presiden RI Mohammad Hatta, pada 17 Agustus 2019 ini dibaca oleh Oesman Sapta.
Nama lengkap Oesman Sapta adalah Oesman Sapta Odang. Ia adalah seorang pengusaha dan politisi Indonesia. Pernah menjabat sebagai wakil ketua MPR RI periode 1999-2004 dan terpilih kembali sebagai wakil ketua lembaga tinggi negara tersebut dari kelompok DPD-RI untuk periode 2014-2019.
Merdeka 74 tahun bukanlah hal mudah untuk mempertahankannya. Berbagai rintangan telah dilalui oleh bangsa ini. Pemerintahan Presiden Pertama RI Soekarno menghadapi berbagai jenis pemberontakan separatis, seperti pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Bandung pada tanggal 23 Januari 1950, pemberontakan Andi Azis di Makasar pada tanggal 5 April 1950, pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon pada tanggal 25 April 1950.
Juga terjadi pemberontakan Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan, pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Daud Beureueh di Aceh dan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang. Sempat terjadi perang
Tentang PRRI ini yang menarik. Sempat terjadi perang antara pusat (Jakarta) dan daerah (Padang) di bulan Maret 1958 hingga Agustus 1961.
Awalnya, Ahmad Husein yang waktu itu berpangkat Letnan Kolonel, pada 15 Februari 1958 mengumumkan berdirinya PRRI di Padang. Ia juga mengadakan rapat raksasa di ibukota Sumatera Barat tersebut dan mengeluarkan ultimatum yang isinya agar Kabinet Djuanda menyerahkan mandatnya kepada Presiden dengan waktu 5 X 24 jam dan Presiden diminta kembali kepada kedudukan konstitusionalnya.
Ultimatum ini ditolak oleh Pemerintah Pusat, bahkan Ahmad Husein dan kawan-kawannya dipecat dari Angkatan Darat. PRRI membuat Kabinet dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menterinya
Sebab berdirinya PRRI adalah tuntutan otonomi luas dan kekecewaan terhadap pemerintah pusat karena telah dianggap melanggar undang-undang. Juga pemerintah dianggap cenderung sentralis, sehingga pembangunan di daerah menjadi terabaikan.
Data Primernya yang saya peroleh, ialah ketika berkunjung ke rumah Ahmad Husein (dua kali) - rumahnya waktu itu di Ciganjur, Jakarta Selatan - saya langsung menanyakan, apakah Bapak pemberontak ? Beliau waktu itu sedang duduk di kursi roda, sakit, dan menyatakan "tidak" sambil menggelengkan kepala. Hal ini dipertegas oleh isterinya yang duduk di samping, bahwa suaminya itu bukanlah seorang pemberontak.
Kalau kita berbicara fakta, memang membuktikan, bahwa Ahmad Husein dan beberapa rekannya tidak bisa dikatakan pemberontak. Bahkan atas permintaannya sendiri (berdasarkan sumber dari suami adik isteri Ahmad Husein,Yusron Lamisi), Minggu, 26 April 2015 , ketika Ahmad Husein minta dimakamkan di Makam Pahlawan Kuranji, Padang, maka pemerintah mengabulkannya (Beliau wafat pada 28 November 1998). Wakil Presiden Jusuf Kalla pun baru-baru ini berziarah ke makam pahlawan Kuranji, Padang. Ia sempat berdoa di makam Ahmad Husein.
Tidak hanya kemelut dengan bangsa sendiri, tetapi setelah tahun 1945, meski sudah proklamirkan kemerdekaan, tetapi Belanda masih ingin kembali menjajah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Memang tidak mudah buat Presiden Soekano mengatasi berbagai persoalan di dalam negeri maupun berbagai usaha Belanda untuk kembali menjajah. Presiden Soekarno pun tidak luput dari usaha pembunuhan.
Selama tahun 1945 itu pula terjadi perdebatan, wilayah mana saja yang bisa dikategorikan sebagai Indonesia. Sejak saat ini sudah terjadi perbedaan pandangan antara Soekarno, Yamin di satu pihak dengan Hatta di pihak lain. Mengapa harus dipisah?
Ketika saya menghadiri sebuah diskusi bersama seorang peneliti tentang Asia Tenggara Dr. Stepene Douvert di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ia memberikan sumber peta dari Muhammad Yamin bertahun 1959. Kemudian dapat dilihat di sini peta Indonesia 11 Juli 1945 yang dicita-citakan Soekarno dan Yamin. Keduanya memasukkan Malaysia, Timor Timur, Kalimantan hingga Papua Barat sebagai wilayah RI. Berbeda dengan Mohammad Hatta. Ia tidak memasukan wilayah Malaysia Barat, Kalimantan sebelah utara, Timor Timur dan Papua bagian Barat dalam peta Indonesia.
Jadi sejak Juli 1945, sebelum Indonesia merdeka, perbedaan pandangan antara Soekarno, Yamin dan Hatta sudah terlihat dalam menentukan pulau-pulau mana yang termasuk bagian Indonesia dan mana yang tidak. Tetapi bersyukurlah setelah Proklamasi tidak memunculkan perpecahan mereka dalam bidang politik. Yang terjadi, Soekarno-Hatta menjadi dwi tunggal yang tidak mungkin dipisahkan.
Jika boleh dikatakan sedikit retak, Bung Hatta sebagai Wakil Presiden menandatangani Maklumat Wakil Presiden No. X (baca: eks, bukan 10 hitungan Romawi), tanggal 16 Oktober 1945. Bung Karno setelah dari Tokyo merasa kecewa dan ia mengasingkan diri berlibur ke Pelabuhan Ratu.
Inilah pertama kali Presiden Soekarno tersinggung. Pun setelah itu Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat Penerintah di mana di antara poinnya menyatakan bahwa pemerintah berharap partai-partai yang ada bergabung, termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI).
Perbedaan ini kemudian tidak terelakkan, hingga Bung Hatta mengundurkan diri. Kemudian PKI semakin leluasa mendekati Bung Karno. PKI masuk dalam kabinet. Apalagi dalam Pemilu 1955, PKI meraup suara empat besar setelah Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H