Kalau kita berbicara fakta, memang membuktikan, bahwa Ahmad Husein dan beberapa rekannya tidak bisa dikatakan pemberontak. Bahkan atas permintaannya sendiri (berdasarkan sumber dari suami adik isteri Ahmad Husein,Yusron Lamisi), Minggu, 26 April 2015 , ketika Ahmad Husein minta dimakamkan di Makam Pahlawan Kuranji, Padang, maka pemerintah mengabulkannya (Beliau wafat pada 28 November 1998). Wakil Presiden Jusuf Kalla pun baru-baru ini berziarah ke makam pahlawan Kuranji, Padang. Ia sempat berdoa di makam Ahmad Husein.
Tidak hanya kemelut dengan bangsa sendiri, tetapi setelah tahun 1945, meski sudah proklamirkan kemerdekaan, tetapi Belanda masih ingin kembali menjajah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Memang tidak mudah buat Presiden Soekano mengatasi berbagai persoalan di dalam negeri maupun berbagai usaha Belanda untuk kembali menjajah. Presiden Soekarno pun tidak luput dari usaha pembunuhan.
Selama tahun 1945 itu pula terjadi perdebatan, wilayah mana saja yang bisa dikategorikan sebagai Indonesia. Sejak saat ini sudah terjadi perbedaan pandangan antara Soekarno, Yamin di satu pihak dengan Hatta di pihak lain. Mengapa harus dipisah?
Ketika saya menghadiri sebuah diskusi bersama seorang peneliti tentang Asia Tenggara Dr. Stepene Douvert di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ia memberikan sumber peta dari Muhammad Yamin bertahun 1959. Kemudian dapat dilihat di sini peta Indonesia 11 Juli 1945 yang dicita-citakan Soekarno dan Yamin. Keduanya memasukkan Malaysia, Timor Timur, Kalimantan hingga Papua Barat sebagai wilayah RI. Berbeda dengan Mohammad Hatta. Ia tidak memasukan wilayah Malaysia Barat, Kalimantan sebelah utara, Timor Timur dan Papua bagian Barat dalam peta Indonesia.
Jadi sejak Juli 1945, sebelum Indonesia merdeka, perbedaan pandangan antara Soekarno, Yamin dan Hatta sudah terlihat dalam menentukan pulau-pulau mana yang termasuk bagian Indonesia dan mana yang tidak. Tetapi bersyukurlah setelah Proklamasi tidak memunculkan perpecahan mereka dalam bidang politik. Yang terjadi, Soekarno-Hatta menjadi dwi tunggal yang tidak mungkin dipisahkan.
Jika boleh dikatakan sedikit retak, Bung Hatta sebagai Wakil Presiden menandatangani Maklumat Wakil Presiden No. X (baca: eks, bukan 10 hitungan Romawi), tanggal 16 Oktober 1945. Bung Karno setelah dari Tokyo merasa kecewa dan ia mengasingkan diri berlibur ke Pelabuhan Ratu.
Inilah pertama kali Presiden Soekarno tersinggung. Pun setelah itu Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat Penerintah di mana di antara poinnya menyatakan bahwa pemerintah berharap partai-partai yang ada bergabung, termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI).
Perbedaan ini kemudian tidak terelakkan, hingga Bung Hatta mengundurkan diri. Kemudian PKI semakin leluasa mendekati Bung Karno. PKI masuk dalam kabinet. Apalagi dalam Pemilu 1955, PKI meraup suara empat besar setelah Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H