Menyambut Hari Kemerdekaan Republik Islam ke-72 Pakistan pada tanggal 14 Agustus 2019, situasi di perbatasan antara Pakistan dan India semakin tegang. Hal ini dimulai ketika warga di kota utama Kashmir, India, sejak beberapa hari terakhir rela mengantre di luar kantor pemerintahan yang dijaga ketat, demi bisa terhubung dengan dunia luar melalui telepon selama dua menit.
Kondisi tersebut telah berlangsung di kota Srinagar, menyusul kebijakan pemerintah India yang memutus layanan telepon seluler dan internet sejak sepekan terakhir dalam rangka penguncian militer di wilayah pegunungan Himalaya itu.
Hanya ada dua perangkat ponsel dengan saluran luar yang disediakan di kantor wakil komisaris, setelah diberlakukannya penguncian Kashmir oleh pemerintah yang mencabut status otonomi khusus wilayah itu.
Kondisi tanpa jaringan komunikasi memaksa warga Srinagar dan dari luar kota untuk datang ke kantor wakil komisaris sehingga mereka dapat menghubungi keluarga mereka.
Pakistan pada 14 Agustus 1947, sejak Inggris menarik diri, mayoritas Islam India menerima pemerintahan sendiri sebagai Pakistan dengan status dalam Persemakmuran. Kemudian Pakistan dibagi dua, Pakistan Timur dan Barat yang saling terpisah hampir 1.600 mil dan berhadapan dengan India. Muhammad Ali Jinnah diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Pakistan dan kemudian menjadi Presiden Pertama Pakistan. Sejak meninggalnya Muhammad Ali Jinnah tahun 1948, Pakistan selalu dihadapkan dengan berbagai masalah politik dan ekonomi.
Kemudian sayap timur Pakistan (Pakistan Timur) yang terpisah dari sayap barat sejauh 1.600 kilometer itu, karena perbedaan politik, bahasa, dan ekonomi menimbulkan perpecahan antara kedua sayap, yang berujung pada meletusnya perang kemerdekaan wilayah timur Pakistan tahun 1971 dan mendirikan negara Bangladesh.
Pemerintah India mencabut status khusus Jammu dan Kashmir, satu-satunya negara bagian yang mayoritas penduduknya Muslim, lewat keputusan presiden yang disampaikan di parlemen pada Senin, 5 Agustus 2019.
Langkah ini dianggap sebagai hari paling kelam dan dianggap sebagai langkah penjajahan India di wilayah tersebut.
Status khusus itu selama ini dijamin oleh konstitusi India yang tercantum dalam Pasal 370 - pasal yang dianggap penting karena menjamin otonomi luas bagi negara bagian yang mayoritas penduduknya Muslim tersebut. Sekitar 12 juta orang tinggal di Jammu dan Kashmir.
Seluruh wilayah Jammu dan Kashmir selama ini menjadi perebutan antara India dan Pakistan. Masing-masing negara mengklaim wilayah penuh tetapi hanya menguasai sebagian wilayah.
Berdasarkan Pasal 370 Negara Bagian Jammu dan Kashmir waktu itu, yaitu sebelum dicabut India, kedua negara (India dan Pakistan) berhak mempunyai konstitusi sendiri, bendera sendiri dan kebebasan mengurus semua hal, kecuali urusan luar negeri, pertahanan dan komunikasi.
Pengumuman pencabutan status khusus dilakukan tidak lama setelah ribuan pasukan tambahan dikirim ke Jammu dan Kashmir. Beberapa tokoh setempat dikenai tahanan rumah, sementara para wisatawan diperintahkan untuk meninggalkan wilayah itu.
Pakistan yang juga mengklaim wilayah Kashmir mengecam pencabutan status khusus di sebagian wilayah Kashmir tersebut dan menyebutnya sebagai tindakan ilegal dan negara itu akan "menempuh segala opsi yang mungkin" sebagai tanggapannya.
"India melakukan tindakan yang berbahaya yang akan berdampak serius terhadap perdamaian dan stabilitas regional," kata Menteri Luar Negeri Pakistan, Shah Mehmood Qureshi.
Sementara itu berbagai kelompok, termasuk organisasi mahasiswa dan kemasyarakatan di Pakistan, langsung menggelar protes di sejumlah kota, antara lain di Lahore.
Pemerintah Pakistan dalam hal ini telah melobi Indonesia, China, dan Polandia untuk mengecam India soal keputusannya mencabut status daerah istimewa Kashmir. Pakistan ingin ketiga negara itu menekan India di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Menteri Luar Negeri Pakistan, Shah Mahmood Qureshi, mengatakan dia berencana mendekati Indonesia dan Polandia yang kini menjadi anggota tidak tetap DK PBB untuk mendukung Islamabad membawa isu Kashmir ke dewan tersebut.
Selain Indonesia dan Polandia, Qureshi menuturkan Pakistan juga membutuhkan bantuan China sebagai anggota tetap DK PBB terkait hal ini.
"Saya telah bertukar pikiran dengan China bahwa pemerintah Pakistan akan membawa isu ini ke DK PBB. Kami akan membutuhkan bantuan China di sana," papar Qureshi seperti dikutip Reuters, Selasa, 13 Agustus 2019.
Mengapa harus China? Menang China sekarang ini adalah pendukung kuat India, sementara Pakistan didukung kuat oleh Amerika Serikat. Kunjungan Perdana Menteri Pakistan baru-baru ini ke Amerika Serikat (AS) menemui Presiden AS Donald Trump menunjukkan hubungan persahabatan yang erat antara kedua negara.
Ketika itu Amerika dan Pakistan sama-sama ingin mencari cara untuk mengakhiri perang di Afghanistan, kata Presiden Trump hari Senin, 22 Juli 2019 di Oval Office, Gedung Putih, dengan Perdana Menteri Pakistan Imran Khan di sampingnya.
"Kami sedang berusaha bersama Pakistan dan negara lain mencapai persetujuan yang ditandatangani" dengan Taliban sementara Amerika 'dengan amat perlahan dan sangat aman' mengurangi jumlah pasukannya di Afghanistan," kata Presiden Trump tatkala untuk pertama kali menerima Perdana Menteri Imran Khan di Gedung Putih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H