Selama 20 tahun Ibu Inggit dan Soekarno hidup bersama, namun akhirnya harus berpisah. Setelah berpisah Ibu Inggit tidak pernah bertemu dengan Soekarno sampai pada akhirnya pada tahun 1960, Ibu Inggit bertemu lagi.
Ketika Ibu Inggit bertemu Soekarno, ia hanya berkata "Kus, baju teh meni sae. Kahade kus ieu baju teh ti rakyat, ulah mapohokeun saha nu merena".
Kalimat bebahasa Sunda yang dilontarkan Ibu Inggit tersebut memiliki arti "Kus (Soekarno), bajunya bagus sekali. Awas kus baju ini dari rakyat, jangan melupakan siapa yang memberinya".
Inggit Garnasih, lahir di Desa Kamasan, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 17 Februari 1888 -- meninggal di Bandung, Jawa Barat, 13 April 1984 pada usia 96 tahun. Ia adalah istri kedua Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia. Mereka menikah pada 24 Maret 1923 di rumah orang tua Inggit di Jalan Javaveem, Bandung.
Pernikahan ibu Inggit dan Soekarno dikukuhkan dengan Soerat Keterangan Kawin No. 1138 tertanggal 24 Maret 1923, bermaterai 15 sen dan berbahasa Sunda. Sekalipun bercerai tahun 1942, Inggit tetap menyimpan perasaan terhadap Soekarno, termasuk melayat saat Soekarno meninggal.
Kisah cinta Inggit-Soekarno ditulis menjadi sebuah roman yang disusun Ramadhan KH yang dicetak ulang beberapa kali sampai sekarang. Beliau meninggal di Bandung pada tanggal 13 April 1984. Dua bulan sebelum beliau meninggal, Fatmawati mengunjunginya atas bantuan Ali Sadikin.
Menurut saya, Ibu Inggit sangat tepat diajukan sebagai Pahlawan Nasional. Sebelumnya mantan suami Ibu Inggit, yaitu Presiden Soekarno, telah diangkat oleh Presiden Soeharto sebagai Pahlawan Proklamasi (Proklamator) bersama-sama Hatta.
Setelah itu di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Soekarno-Hatta diberi gelar Pahlawan Nasional. Dalam hal ini, keluarga Presiden Soekarno dan Muhammad Hatta menyambut baik pemberian gelar pahlawan nasional tersebut.
Selanjutnya pada 4 November 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menetapkan Fatmawati sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 118/TK/2000.
Sejarawan dan Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Dr. Asvi Warman Adam ketika menjadi pembicara sehubungan dengan diskusi buku : " Catatan BM Diah " (Editor Dasman Djamaluddin: Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2018) mengusulkan juga agar B.M.Diah dan Herawati Diah patut menjadi Pahlawan Nasional.
Sejak lahirnya Harian "Merdeka," 1 Oktober 1945 yang kemudian berkembang melahirkan "Mingguan Merdeka," Harian Indonesian Observer," Majalah "Keluarga" dan Majalah "Topik," dan dikenal dengan Grup Merdeka, B.M.Diah selalu bekerja sama dengan istrinya Herawati Diah.
Mereka menikah pada tanggal 18 Agustus 1942. Pada waktu itu hadir Bung Karno dan Bung Hatta. Kehadiran tokoh proklamasi ini karena diundang paman istri B.M.Diah, yaitu Mr. Soebardjo.
Ketiga orang ini kemudian terlibat membuat konsep teks Proklamasi di rumah Laksamana Muda Maeda yang sekarang menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jalan Imam Bonjol 1, Jakarta.
Sedikit berbicara tentang buku : "Catatan BM Diah" ini setebal 404 halaman tersebut, kita dibawa ke masa sebelum Proklamasi, di mana B M. Diah sebagai anak muda mendirikan "Angkatan Baru '45," yang kemudian membawa Bung Karno-Hatta ke Rengasdengklok mengultimatum agar bangsa Indonesia harus merdeka sekarang juga. Dari Rengasdengklok dibawa ke rumah Maeda, pada 16 Agustus 1945 malam di bulan Ramadhan. Besoknya, 17 Agustus 1945, diproklamirkanlah kemerdekaan bangsa Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI