Ke depan tidak akan ada lagi pembicaraan tentang Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS). Hari ini, 22 Maret 2019, sebagian besar media Barat mengatakan, Kekhalifahan Islam tersebut telah diserang ke pertahanan terakhirnya di Suriah. Begitu pula di Irak.
Tahun lalu, juga dinyatakan ISIS telah dihancurkan di negara "1001 Malam" tersebut. Jadi ISIS di Irak dan Suriah berakhir sebelum sepak terjang mereka meluas ke berbagai wilayah lain di Timur Tengah.
Dua sumber informasi menyatakan bahwa ISIS dikalahkan di Suriah. Sumber dari pemerintah Suriah, Presiden Bashal al-Assad, menyatakan bahwa pasukan Suriah berhasil menghancurkan benteng terakhir ISIS.
Sementara sumber dari pemerintah Amerika Serikat menyatakan, pasukan gerilyawan Kurdi (Pasukan Demokratik Suriah) yang selama ini didukung Amerika Serikat, juga menyatakan bahwa basis terakhir gerilyawan ISIS di Suriah telah dihancurkan.
Pasukan Demokratik Suriah, atau biasa disingkat menjadi SDF atau QSD itu adalah salah satu persekutuan militer multi etnis yang ikut bertempur dan memiliki peran penting dalam perang sipil Suriah. Pasukan ini merupakan salah satu oposisi dari pemerintah Suriah saat ini yang dipimpin oleh Bashar al-Assad. Pasukan Kurdi bergabung dalam kelompok tersebut.
Di Irak, keberadaan ISIS sudah dapat dikatakan lumpuh sama sekali. Di Irak, kita mendengar kekalahan ISIS tersebut 100 hari yang lalu. Meski ISIS bermula dari negeri mantan Presiden Irak Saddam Hussein tersebut, kekalahan ISIS di negara itu akibat kerja sama antara pasukan Irak yang didukung Amerika Serikat dan juga didukung pasukan Kurdi.
Juga dalam sistem pemerintahan di Irak sekarang ini, kursi presiden Irak yang bersifat seremonial memang disediakan bagi suku Kurdi sejak pemilihan multi partai pada 2005 atau dua tahun setelah invasi Amerika menjatuhkan Presiden Irak Saddam Hussein.
Setelah ISIS dikalahkan, Irak boleh jadi menjadi rebutan kelompok Syiah, Sunni dan Kurdi. Boleh jadi juga peluang suku Kurdi untuk merdeka lebih besar. Itu hanya sebuah kekhawatiran, karena suku Kurdi pernah melakukan pemungutan suara, apakah ingin merdeka. Hasilnya ingin merdeka, meski hasil pemungutan suara tersebut tidak ditindaklanjuti.
Ketika pasukan Irak mundur dari serangan ISIS di beberapa kota-kota utama Irak Utara pada serangan tahun 2014, banyak negara di dunia internasional terheran-heran, mengapa begitu mudahnya mereka masuk ke Irak. Di antara kota yang dimasuki ISIS dengan mudah itu, adalah Mosul, kota terbesar yang berada dalam kekuasaan ISIS.
Itu gambaran, betapa mudahnya gerilyawan yang bermaksud mendirikan Negara Islam di Irak masuk ke Irak. Tanpa rintangan. Di sinilah muncul dugaan keras, bahwa ISIS itu betul ciptaan Amerika Serikat dan sekutunya Israel. Apalagi dalam kampanya pemilihan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump menuduh Barack Obama menciptakan ISIS.
Sekarang memang ada kekhawatiran bahwa setelah ISIS bisa dikalahkan, Irak masih akan terpecah. Kekerasan sektarian yang berlangsung selama bertahun-tahun masih menjadi ancaman. Apalagi perjanjian pembagian kekuasaan di Baghdad telah menyebabkan ketidakpuasan warga yang menyebabkan kebuntuan dalam pemerintaha, dan merajalelanya korupsi.
Masrour Barzani, Ketua Dewan Keamanan Pemerintah Regional Kurdistan (KRG) dan juga putra Presiden KRG, Massoud Barzani, mengatakan kepada Reuters, bahwa tingkat ketidakpercayaan yang tinggi menyebabkan mereka tidak harus tetap berada "di bawah satu atap".
"Federasi tidak bekerja. Jadi, itu lebih baik menjadi konfederasi atau pemisahan penuh," kata Barzani di ibu kota Kurdi, Erbil. "Jika kita memiliki tiga negara konfederasi, kita akan memiliki tiga ibu kota yang sama, sehingga seseorang tidak di atas yang lain."
Kurdi telah lama berjuang untuk memperoleh kemerdekaan dari Irak. Negara itu sekarang dipimpin oleh mayoritas Syiah, sejak penggulingannya Saddam Hussein, seorang Sunni, pada tahun 2003 melalui invasi yang dipimpin Amerika Serikat.
Kurdi sekarang menjalankan pemerintahan mereka sendiri di wilayah utara dan memiliki angkatan bersenjata mereka sendiri yang disebut Peshmerga. Pasukan ini berperang melawan ISIS dengan bantuan dari koalisi pimpinan Ameriks Serikat.
Dari tulisan ini bisa disimpulkan, kebijakan Amerika Serikat di bawah Donald Trump atau presiden berikutnya, sekarang setelah rencana membentuk Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) gagal, tidak menutup kemungkinan lebih memperhatikan masalah kemerdekaan suku Kurdi dari pada nasib bangsa Palestina. Kenapa dikaitkan dengan bangsa Palestina? Karena hanya dua bangsa di dunia ini yang tidak memiliki tanah air, yaitu bangsa Kurdi dan Palestina.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H