"Setiap hari adalah Asyura, setiap tempat adalah Karbala."
Inilah salah satu motto dari Revolusi Islam Iran, yang selalu diperingati setiap tanggal 11 Februari. Tahun 2019 ini Revolusi Islam Iran memasuki tahun ke-40, sejak lahirnya pada 11 Februari 1979. Sudah pasti seluruh dunia kagum dengan keberanian kakek tua yang sudah berusia 80 tahun waktu itu kembali ke Iran dari tempat pengasingannya di Prancis. Ia adalah Imam Khomeini.
Waktu itu semua kelompok bersatu dan bekerja sama untuk menggulingkan pemerintahan Shah Reza Pahlevi, sekaligus mengakhiri pemerintahan monarkhi yang berdiri sejak tahun 1906.
Para pendukung Imam Khomeini, termasuk pasukan Garda Nasional yang membelot, di bawah pimpinan Dr. Mushaddiq. Juga Gerakan Perlawanan Rakyat yang didirikan oleh 'Imam' Az Zinjani dan Ir. Bazarkan setelah keduanya memisahkan diri dari Garda Nasional. Kedua kelompok ini memiliki penetrasi yang besar ke lingkungan kampus dan Bazar (pusat-pusat perdagangan).
Ada juga aksi perlawanan kepada Shah Iran, bernama Mujahidin Kholq, yaitu partai politik yang didirikan oleh Musa Khayabani, Mas'ud Rajawi, dan lain-lain. Mereka mulai merongrong pemerintahan Shah dengan berbagai perlawanan bersenjata. Pemimpin spiritual mereka adalah Ayatullah Ath Thaliqani, dan partai ini didukung oleh para pelajar dan mahasiswa.
Shah konon menjuluki mereka sebagai 'muslimin Marxis' dan mereka berperan sangat besar dalam menjatuhkan Shah. Lebih menariknya lagi penggulingan Shah ini dibantu oleh golongan-golongan 'kiri', termasuk di antaranya Partai Komunis Tawdah. Ini yang kemudian memungkinkan Iran sekarang lebih condong dibantu oleh Rusia.
Imam Khomeini sebelumnya berada di neauphle-le-chateau (daerah dekat Paris, Prancis) dan mendapat kawalan dari Polisi Prancis. Berbagai radio internasional serta surat kabar besar rajin memberitakan pernyataan-pernyataannya yang anti-Shah, sedangkan pengikutnya di Iran menyebarkan kaset-kaset yang berisi khutbah patriotisme Khomeini bagi rakyat Iran.
Prancis telah mengerahkan seluruh kekuatannya untuk melindungi Khomeini dan memberinya kebebasan untuk bergerak semaunya. Sedangkan Rusia tentu berseberangan dengan Shah melalui partai komunis Tawdah yang bersahabat dengan Khomeini.
Begitu Khomeini sampai di Teheran, ia mengumumkan bahwa pemerintahan PM Bakhtiar tidak sesuai syariat Islam dan menunjuk Ir. Bazarkan sebagai PM yang baru. Iran pun mulai memasuki babak baru yang penuh kekacauan dan instabilitas. Krisis ini harus dihentikan dengan memenangkan salah satu dari berbagai golongan yang berseteru. Hari-hari pun berlalu cepat, hingga pada tanggal 14 Februari 1979 pemerintahan Bakhtiar mengumumkan darurat militer dan melarang mobilitas.
Akan tetapi Khomeini menyatakan pembangkangan umum hingga berjuta orang tumpah ruah di jalan-jalan menuju kamp-kamp militer, pangkalan AU, markas SAFAK (intelijen Iran), dan pasukan-pasukan gerak cepat yang berada di bawah komando kepala tentara nasional Shah.
Sempat terjadi konfrontasi kecil, akan tetapi rakyat segera menguasai fasilitas-fasilitas militer tersebut beserta seluruh persenjataan dan amunisi yang ada di dalamnya. Mereka sempat membunuh sejumlah petinggi militer dan menawan yang lainnya saat hendak mempertahankan fasilitas militer mereka.