Hari ini, Kamis, 17 Januari 2019, pagi sekali, saya menyaksika sebuah video kekejaman pasukan Israel di daerah pendudukan terhadap anak-anak bangsa Palestina.
Adalah Times of Gaza yang mengunggah kekejaman pasukan Israel terhadap anak-anak bangsa Palestina di Jalur Gaza. Tak terasa, air mata saya merembes di kelopak mata.
Sambil melihat video itu, di meja saya ada minuman dan makanan. Sementara di ujung sana, saya menyaksikan, jangankan makan dan minum, tetapi mereka tidak sempat, karena dikejar, dipegang lehernya, juga ada yang ditangkap dengan kasar dan dinaikkan ke atas mobil tahanan. Apakah salah mereka?
Mereka adalah anak-anak yang Tuhan takdirkan lahir di wilayah sengketa itu. Mereka tidak menbayangkan, seusia anak-anak sudah mengalami penderitaan yang tak kunjung selesai.
Mereka tidak merasakan hidup di wilayah merdeka dan berdaulat. Janji kemerdekaan di setiap perundingan antara pemimpin mereka dengan bangsa Yahudi, hanya janji-janji kosong.
Penderitaan anak-anak Palestina ini pulalah yang saya dengar dari Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Ribhi Y Awad pada tanggal 23 Februari 1997 di Kedutaan Besar Palestina, Jakarta. Sudah lama, tetapi kesan dan kesedihan ketika mendengar penderitaan rakyat Palestina, terutama anak-anaknya selalu saya dengar.
Waktu itu, meski secara sadar saya berhadapan dengan seorang Duta Besar, di mana biasanya seseorang disebut Duta Besar, itu karena negaranya telah diakui kemerdekaannya. Tetapi Palestina? Hingga hari ini belum merdeka secara de jure.
Dubes Palestina menggeleng-nggelengkan kepalanya, sepertinya ia ingin mengatakan, sebenarnya Anda juga tahu. Atau karena banyak sekali permasalahan Palestina yang belum terurai dengan baik, sehingga masih seperti benang kusut. Perbincangan kami, memang banyak mengulas sikap Israel yang selalu menyerang wilayah Palestina.
"Bahkan wilayah kami yang luas, kini tinggal sebahagian kecil. Sebahagian besara wilayah, sudah diambil Israel, " ujar Ribhi Y Awad.
Saya terdiam saja ketika pembicaraan sudah memasuki kekejaman Israel di wilayah pendudukan bangsa Palestina. Sudah tentu mendengrnya ikut terharu bercampur geram.
Tetapi apa yang bisa kita lakukan sebagai bangsa Indonesia. Jika persoalan dukungan ke bangsa Palestina sudah sejak masa Pemerintahan Soekarno hingga sekarang tidak diragukan lagi.
Kemarahan bangsa Indonesia terhadap Israel sudah lama terjadi. Coba lihat ucapan selamat dan pengakuan kemerdekaan Indonesia yang dikirimkan Presiden Israel Chaim Weizmann dan Perdana Menteri Ben Gurion. Apakah pernah ditanggapidengan baik oleh Indonesia? Tidak. Mohammad Hatta ketika menerima ucapan tersebut hanya mengucapkan terimakasih. Tidak ada kata-kata lain. Pun Presiden Soekarno juga tak menanggapi telegram ucapan selamat dari Israel.
Begitu pula sebaliknya ketika Israel memproklamirkan kemerdekaan oleh David Ben-Gurion pada 14 Mei 1948, Indonesia tak menanggapinya. Sudah dapat dipastikan, wilayah yang dimerdekakan Israel itu adalah wilayah Palestina. Hasil rampasan. Sampai sekarang, hubungan diplomatik Indonesia-Israel tidak terjalin.
Memang ada kejadian menarik dengan Israel ketika putra bangsa Indonesia, Mayor Jenderal Rais Abin akan diangkat sebagai Panglima misi perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang bermarkas di Mesir. Selain harus disetujui oleh anggota Dewan Keamanan PBB, juga oleh pasukan PBB yang akan dipimpinnya, harus pula disetujui oleh negara yang sedang bertikai, Mesir dan Israel. Jika satu negara saja tidak setuju, maka Rais Abin gagal menjadi Panglima.
Akhirnya setelah Rais Abin bertemu Menteri Pertahanan Israel, Shimon Peres dan sudah tentu sebelumnya Rais Abin berkonsultasi dengan Sekjen PBB waktu itu, Kurt Waldheim, maka Israel di luar dugaan menyetujuinya. Sebelumnya di pikiran Rais Abin, untuk apa jadi Panglima jika tidak disetujui negara bersengketa, terutama Israel ?
"...kami sudah pelajari riwayat hidup Anda, tugas Anda selama satu tahun ini sebagai Kepala Staf Pasukan Perdamaian dan Pejabat Sementara Panglima Pasukan Perdamaian PBB. Angkatan Bersenjata Israel sangat bersimpati atas pengangkatan Anda," ujar Shimon Peres (Dasman Djamaluddin, Catatan Rais Abin, Panglima Pasukan Perdamaian PBB di Timur Tengah 1976-1979, /Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2012), hal.40.
Semua ini di luar dugaan. Negara yang tidak pernah menjalin hubungan diplomatik, kok setuju? Apalagi sejauh ini, Indonesia selalu mendukung perjuangan bangsa Palestina.
Memang bagaimana pun sejak awal bangsa Indonesia mendukung perjuangan bangsa Palestina. Terakhir yang kita saksikan, dukungan Presiden RI, Joko Widodo yang tidak hanya mendukung, tetapi juga membuka Kedutaan Besar Indonesia di Ramallah.
Sangat jelas, dukungan ini pun akhirnya dituangkan dalam butir-butir hasil di Peringatan Konferensi Asia-Afrika ke-60 di Bandung dan Jakarta belum lama ini.
Yang perlu digarisbawahi adalah, bahwa bagaimana pun juga, peranan Amerika Serikat yang selalu mengatakan mendukung kemerdekaan Palestina harus kita tunggu. Kenapa demikian? Karena pendekatan-pendekatan Yahudi di negara Paman Samitu sangat kuat.
Sejauh ini Israel tetap menjadi "anak kandung" Amerika Serikat. Banyak hal yang mendukung pendapat tersebut. Sehingga pada akhirnya sulit untuk mengatakan bahwa Palestina betul-betul didukung kemerdekaannya oleh Amerika Serikat. Kalau benar, bagaimana hubungannya dengan Isreal? Karena sejak bertahun-tahun, tak terbesit sedikit pun Amerika Serikat-Israel tidak saling mendukung.
Kita lihat misalnya perkembangan nuklir Iran. Ketika Israel mulai cemas, suatu ketika akan diserang oleh Iran, pendekatan-pendekatan pun dilakukan oleh Amerika Serikat agar Iran mau berunding di meja perundingan tentang senjata nuklir. Lalu bagaimana dengan perkembangan nuklir Israel? Adakah yang tahu selain Amerika Serikat? Di sinilah letak ketidakadilan.
Belum lagi kalau kita membaca sumber tentang konflik yang semakin tidak menentu di Suriah. Dulu pernah Amerika Serikat mengeluh karena tidak mengetahui kekuatan tentara Suriah sebab hubungan kedua negara tidak bersahabat. Tetapi sekarang, melalui pihak oposisi dan membantunya, peta politik di Suriah semakin terbaca.
Bagaimana mungkin keadilan di Timur Tengah bisa tercipta, jika Amerika Serikat dan Israel diam-diam melakukan gerakan-gerakan "tak bersuara" di kawasan Timur Tengah. Sekarang, yang dipertanyakan setelah mundur dari Suriah, apakah AS akan menyerang Iran?
Kembali kepada masalah Palestina, kita baca perkembangan terakhir, bahwa Hamas sudah dituduh melakukan kejahatan perang.
Hal ini terjadi di saat Vatikan dan beberapa negara lain mendukung kemerdekaan Palestina. Jadi bolehlah dikatakan , sepertinya masalah Palestina tidak segera selesai.
Disebutkan oleh berbagai Kantor Berita, Amerika Serikat, Perancis dan Inggris,bahwa "Amnesty International" menganggap Hamas telah melakukan kejahatan perang terhadap warga sipil Palestina.
Berarti dugaan ini, menjadikan wilayah Timur Tengah semakin memanas dalam waktu dekat ini. Sebaliknya, Israel juga pernah dituduh melakukan kejahatan perang. Hasilnya hingga sekarang tidak ada. Tidak satu pun keputusan yang dibuat untuk menuduh Israel terlaksana dengan baik.
Di Palestina sekarang ini Hamas berjuang di Jalur Gaza, wilayah kantong di pesisir Laut Tengah yang berbatasan dengan Israel dan Mesir. Jadi aksi keras Hamas ini memang menyulitkan Israel. Serangan-serangan Israel lebih banyak ditujukan ke Hamas., karena berbatasan dengan Israel dan negara Yahudi itu sering dirugikan. Tidak jarang benturan-benturan fisik antara Israel dan Palestina terjadi di Jalur Gazaini.
Berbeda dengan di Jalur Gaza, yang dihuni aliran keras Palestina, maka ada juga pejuang Palestina lainnya yang moderat dan mendiami wilayah Tepi Barat.
Di sinilah Pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Yasser Arafat melanjutkan perjuangannya secara moderat, setelah berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain di Timur Tengah.
Setelah Perang Enam Hari pada tahun 1967, Fatah muncul dalam dunia politik di Palestina. Bermula dari Fatah yang didirikan pada tahun 1958 oleh sekelompok warga Palestina yang menempuh pendidikan di Kairo, Mesir, salah seorangnya adalah Yasser Arafat.
Pada tahun 1960-an Fatah bergabung dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dengan tokoh sentral Yasser Arafat hingga ia meninggal dunia tahun 2004. Israel kelihatannya memang lebih suka dengan cara-cara yang dilakukan PLO dari pada Hamas.
Tetapi bagaimana pun juga untuk meraih sebuah kemerdekaan Palestina yang dicita-citakan perlu dilakukan dua jalur, jalur diplomasi dan perjuangan bersenjata.
Hanya pertanyaan yang sulit dijawab, bagaimana menghindarkan anak-anak Palestina dari kekejaman pasukan Israel jelang Palestina memproklamirkan kemerdekaannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H