Inilah upaya terakhir Prabowo Subianto secara konstitusional. Selebihnya tulisan ini saya buat setahun yang lalu. Seraya menunggu Putusan MK, dipandang perlu melihat dari dekat figur Prabowo Subianto.
Ketika Prabowo pada hari Kamis, 9 Agustus 2018, mendeklarasikan calon wakilnya untuk menghadapi pemilihan Presiden RI 2019, yaitu Sandiaga Uno, tidak satu pun, partai-partai pendukung, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), termasuk Amien Rais, dan sudah tentu Gerindra, menolak dalam acara pendeklarasian tersebut.
Saya memang terharu melihat jiwa kepemimpinan Prabowo. Apalagi jika mempelajari proses pencalonan dirinya sebagai calon presiden yang bukan baru pertama kali terjadi. Ia benar-benar menggunakan haknya sebagai warga negara, tanpa patah semangat.
Pada tahun 2017, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto membuat terobosan baru dengan bertemu Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Puri Cikeas, Bogor, Jabar, Kamis malam, tanggal 27 Juli 2017.
Pertemuan itu diselenggarakan secara tertutup, tetapi di dalam perpolitikan bangsa jelang pemilihan presiden, kita sudah dapat menduganya. Apalagi hal ini dilakukan setelah Partai Gerindra yang dipimpin Prabowo menyatakan keluar dari Pansus Angket KPK.
Prabowo atau setiap warga negara berpeluang menjadi Presiden RI, asalkan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.
Prabowo Subianto, namanya mencuat ke permukaan setelah partai yang didirikan dan dipumpinnya sekarang, Partai Gerindra berhasil memenangkan calon Gubernur DKI yang diusungnya untuk menjadi gubernur lima tahun ke depan. Sudah tentu bukan hanya Gerindra yang dianggap berhasil, tetapi PKS dan sejumlah tokoh penting berperan dalam memenangkan Anies-Uno memimpin Jakarta.
Jakarta adalah barometer. Demikian sebahagian masyarakat memprediksinya. Oleh karena itu kemenangan ini dianggap kesuksesan Partai Gerindra dan partai pendukungnya untuk mempersiapkan diri menghadapi Pilpres 2019 ini. Buat Prabowo kemenangan ini lebih meyakinkan dirinya untuk tetap memposisikan diri sebagai pemenang, meski banyak pula mengungkap luka-luka masa lalunya sebagai seorang perwira Tentara Nasional Republik Indonesia.
Di bulan Mei 2017, kita melihat ke belakang, tepatnya 22 Mei 1998, ia dipecat sebagai Pangkostrad. Itu terjadi sehari setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri dan digantikan BJ Habibie. Mengapa secepat itu, Prabowo dipecat? Karena, ia dianggap bersalah mengirim pasukan Kostrad ke Jakarta. Ia dianggap menyalahi prosedur, karena yang bisa menggerakkan pasukan Kostrad itu hanya Panglima ABRI saat itu yang dipegang oleh Jenderal Wiranto. Itu sebabnya, Jenderal Wiranto langsung mencopot Prabowo. Jadi boleh dikatakan, baru saja terjadi penyerahan kekuasaan dari Presiden Soeharo ke BJ Habibie, pada 21 Mei 1998, maka besoknya tanggal 22 Mei 1998, Prabowo dipecat.
Kita juga jangan lupa di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Wiranto yang dalam foto di atas memecat Prabowo, juga menghadapi masalah dengan kasus di Timor Timur. Gus Dur mengatakan, ia tetap pada pendiriannya akan meminta Wiranto mundur sebagai menteri koordinator bidang politik dan keamanan untuk mengurangi tekanan-tekanan dari dunia internasional.
Buat Prabowo, kemenangan calon yang diusung Gerindra dan PKS dalam Pilkada DKI waktu itu, menurut saya merupakan angin segar, khususnya untuk Prabowo di bidang politik. Keoptimisan ini membuat dirinya maju lagi sebagai Calon Presiden dalam Pilpres tadi malam. Ia sudah bernafas lega sebagai seekor burung Rajawali yang selalu terbang sendirian di udara. Sudah tentu, mencoba memperbaiki kekalahannya ketika berpasangan dengan Hatta Rajasa ketika menjadi Calon Presiden ke-7 dalam Pemilu Presiden 2014.
Soemitro Djojohadikusumo adalah tokoh penting dalam Pemerintahan Revolusioner RI yang pernah dibentuk di Padang, Sumatera Barat. Di masa Soeharto, nama Soemitro direhabilitir dan diangkat menjadi Menteri. Begitu pula nama Ketua PRRI Ahmad Husein. Ketika saya berkunjung ke Sumatera Barat baru-baru ini, saya singgah di Taman Makam Pahlawan Kuranji. Saya menyaksikan makamnya dan berarti nama beliau pun sudah direhabilitir.Memang sejarah PRRI ini perlu dikaji ulang. Menurut data primier dari Ahmad Husein, ketika beliau masih hidup, dan saya berkunjung ke rumahnya di Jakarta, ia mengatakan PRRI itu bukanlah pemberontak.
PRRI terbentuk tanggal 15 Februari 1958. Amerika Serikat membantu PRRI dengan persenjataan. Menurut informasi yang saya terima di Sumatera Barat, seluruh penduduk membantu PRRI. Pada saat ini AS mengerahkan Armada Ketujuh Pasifik dengan membentuk Satgas 75 yang ditempatkan di Singapura. Dalam hal ini Menlu PRRI Kolonel Maludin Simbolon pernah disarankan pihak AS untuk meledakkan istalasi tambang minyak Caltex di Riau agar ada alasan Armada VII AS mendaratkan pasukan marinirnya. Tetapi ditolak Maludin Simbolon karena dia tidak menghendaki Indonesia mengalami seperti yang terjadi di Korea Utara dan Korea Selatan atau "balkanisasi" negara dan bangsanya.
Pemisahan PRRI ini tidak terlepas dari mundurnya Wakil Presiden Mohammad Hatta pada tanggal 1 Desember 1956.Sejak saat itu Partai Komunis Indonesia (PKI) semakin leluasa mempengaruhi Bung Karno. Buktinya, ketika pada 21 Februari 1957, pukul 20.05, Bung Karno berpidato di Istana Merdeka dan secara terus terang mengatakan bahwa dirinya menginginkan agar kaum komunis ikut serta di dalam menyelenggarakan pemerintahan.
PRRI yang seluruh pimpinannya TNI, hal ini yang dicemaskan mereka. Akhirnya memang PKI pernah berkuasa sebelum dibubarkan pemerintahan Presiden Soeharto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H