BULLYING MENDARAH DAGING: BUAH SEKULARISASI PENDIDIKAN
Oleh: Diyaa Aaisyah Salmaa S.E.I, M.M
Di-bully Hingga Pembengkakan Otak dan Koma
Kasus bullying terhadap bocah kelas 2 SD di Kabupaten Malang, Jawa Timur telah menyita perhatian banyak orang. Korban perundungan tersebut diketahui berinisial MFW (7), siswa kelas 2 SD di Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang. Kini, kasus bullying yang diderita MFW telah dalam proses penyelidikan polisi. Pelaku pe rundungan adalah tujuh orang anak, termasuk kakak kelas korban. Selain melakukan perundungan, mereka juga disebut memalak korban.
Motif pemalakan tersebut diungkapkan oleh ES, ayah MFW (7), Ia mengungkapkan hal tersebut ketika ditemui wartawan di Rumah Sakit Islam (RSI) Gondanglegi, Kamis (24/11/2022).Menurut ES, MWF sudah dipalak oleh ketujuh terduga pelaku sejak masih duduk di bangku kelas 1."Jadi ini karena pemalakan. Kan uang sakunya setiap hari Rp 6 ribu, yang Rp 5 ribu diminta kakak kelasnya yang kelas 6," terang ES seperti dikutip dari Surya.Menurut ES, korban diancam hendak dihajar jika tidak mau memberikan uang sakunya tersebut.
Korban, kata ES, tidak pernah menceritakan perundungan yang ia terima kepada orangtuanya. "Mungkin gengsi mau cerita, takutnya dibilang anak suka ngadu sama temen-temennya. Sampai kelas 2 ini tidak pernah cerita," ungkapnya. MWF akhirnya menceritakan semua kejadian itu usai sembuh dari koma. Menurut ES, kejadian yang menimpa anaknya ini sudah terlalu fatal, hingga akhirnya ES melaporkan kejadian ini ke pihak kepolisian.
Bullying Dalam Dunia Pendidikan Mandarah Daging
Kasus bullying semisal yang menimpa MWF (7) dalam dunia pendidikan bukanlah permasalahan baru lagi. Kasus-kasus yang terjadi tak hanya terjadi satu dua kali, melainkan berkali-kali di berbagai institusi pendidikan di tanah air dan terjadi sepanjang waktu silih berganti bahkan kian menjadi-jadi. Dari kekerasan verbal hingga kekerasan fisik dan seksual. Akibat yang ditimbulkan pun bukan sekedar ingatan buruk bagi korban perundungan namun hingga mengakibatkan gangguan mental, cacat permanen korban meninggal hingga bunuh diri.
Sepatutnya, dalam menghadapi perkembangan level perundungan yang kian ekstrem, dunia Pendidikan perlu menyajikan solusi permasalahan yang tuntas hingga ke akar. Namun naasnya solusi yang diberikan pun dianggap tidak solutif dengan permasalahan yang ada. Tak jarang perundungan level ekstrem hanya diberikan solusi damai dengan negosiasi internal secara kekeluargaan dengan harapan kasus tersebut tidak sampai tersebar ke luar lingkungan institusi yang berisiko menurunkan pamor institusi terkait.
Buah Sekularisasi Pendidikan
Kian bertambahnya kasus-kasus perundungan di tanah air menunjukan bahwa sistem Pendidikan Indonesia telah gagal dalam menyelesaikan kasus perundungan yang terjadi. Kegagalan tersebut erat kaitannya dengan sistem kapitalisme-sekuler yang dianut Indonesia. Sistem kapitalisme-sekuler mempengaruhi sistem pendidikan Indonesia sehingga sistem pendidikan tanah air menjadi “mandul” dalam menciptakan lulusan yang berakhlak mulia dan sukses dunia-akhirat. Jika dianalisis, sepatutnya sistem pendidikan guna menciptakan lulusan berakhlak muliah dan sukses dunia-akhirat memerlukan peran kontribusi dari 3 komponen utama pendidikan, yakni keluarga, masyarakat dan pemerintah. Namun sayangnya, penerapan kapitalisme-sekuler di negeri ini telah merusak peranan 3 komponen utama tersebut.
Sistem kapitalisme berpandangan bahwa tujuan hidup adalah untuk menggapai kebahagiaan materi. Prestasi akademik menjadi hal-hal yang selalu digadang-gadang institusi pendidikan hingga mengesampingkan akhlak menjadi syarat kelulusan. Tak dapat disangkal bahwa kurikulum pendidikan Indonesia selalu “digenjot” pemerintah untuk menciptakan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan industri. Bekerja dan menerima gaji yang tinggi di perusahaan bonafide menjadi prestige luar biasa di tengah masyarakat. Di lain sisi, sekularisme menjadikan pendidikan “mengabaikan” agama, baik dalam ranah keluarga dan sekolah. Di rumah, orang tua dan keluarga didorong untuk bekerja sehingga tak memiliki waktu, tenaga dan pemahaman yang baik tentang agama. Hal tersebut menjadikan orang tua dan keluarga berpangku tangan menyerahkan pembelajaran agama ke sekolah. Sedangkan di sekolah, porsi jam pelajaran agama sangat minim dan hanya teoritis belaka miskin akan pemahaman dan penerapan. Maka menjadi fenomena yang logis jika banyak pelajar menghadapi krisis akhlak. Karena akhlak mulia tidak diperhitungankan dalam pendidikan kapitalisme-sekuler, alih-alih menjadi standar wajib.
Cengkraman “orientasi materi” khas kapitalisme-sekuler tidak hanya sebatas pada kurikulum. Paham ini telah merasuk menjadi cara pandang operasional institusi pendidikan. Sering kita dapati fakta untuk masuk ke sekolah atau perguruan tinggi berkualitas, tarif yang tak murah perlu dirogoh. Dengan menyajikan kualitas akademik yang baik, sekolah maupun perguruan tinggi mendapatkan permintaan masuk yang tinggi dari masyarakat.
Institusi pendidikan mati-matian menjaga citra kualitas mereka agar permintaan tersebut tetap tinggi dan mendapatkan keuntungan. Kecenderungan ini menjadi asas operasional institusi pendidikan ala kapitalisme sekuler.
Tak jarang institusi pendidikan cenderung merahasiakan kasus perundungan yang terjadi di institusi mereka hingga akhirnya opsi yang paling menguntungkan untuk menyelamatkan citra institusi adalah dengan cara damai kekeluargaan yang dilakukan secara internal agar kasus perundungan tak tersebar dan menjadi aib bagi institusi yang akan menurunkan pamor mereka, meskipun kasus perundungan yang terjadi adalah kasus ekstrem. Begitulah sistem kapitalisme-sekuler memporak-porandakan sistem pendidikan tanah air. Merusak komponen pendidikan dari keluarga, masyarakat dan pemerintah. Maka sudah menjadi konsekuensi logis sistem kapitalisme-sekuler melahirkan generasi berwawasan selangit namun kering akan akhlak mulia.
Kapitalisme-Sekuler Bukanlah Solusi
Berangkat dari realita yang ada, bahwa kapitalisme-sekuleris menjadi biang kerok kegagalan sistem pendidikan tanah air, sudah sepantasnya negeri ini membuang kapitalisme-sekuler. Sistem tersebut perlu diganti dengan sistem yang menjadikan agama sebagai solusi permasalahan manusia. Dalam Islam, untuk menciptakan sistem pendidikan yang berhasil melahirkan generasi berakhlak mulia dan sukses dunia-akhirat diterapkanlah konsep pemahaman penyatuan agama dengan kehidupan. Agama tidak boleh dipisahkan seperti konsep ala kapitalisme-sekuler, melainkan disatukan. Hal ini karena Islam adalah agama yang istimewa karena memiliki solusi untuk setiap masalah manusia yang berlaku abadi dan universal.
Dalam menangani permasalahan bullying, Islam menciptakan 3 komponen utama pendidikan yang kondusif. Orangtua dan keluarga, masyarakat serta pemerintah harus berporos pada taqwa kepada Allah. Orangtua dan keluarga menjadi tempat pembentukan karakter anak terpenting dalam Islam. Hal ini menuntut orangtua dan keluarga memberikan partisipasi yang mendalam untuk menanamkan aqidah Islam serta memberikan teladan dalam berkata dan bersikap. Sebab, tak sedikit pelaku perundungan berasal dari keluarga yang tak paham agama dan memiliki komunikasi yang rusak.
Masyarakat bertanggungjawab untuk saling menasehati mengajak pada kebaikan dan mencegah tindakan tercela. Masyarakat tidak boleh bersikap abai apalagi indivudualis. Sedangkan negara memiliki peran sentral, yakni menciptakan sistem pendidikan yang berasaskan akidah Islam. Standar kelulusan bukan dititikberatkan pada prestasi dan bekerja dengan gaji tinggi, namun pada pembentukan generasi bertakwa dan berakhlak mulia. Namun, perlu dipahami, sinergitas antara 3 komponen utama pendidikan dalam menyelesaikan kasus perundungan mandarah daging tidak akan tercapai jika paham kapitalisme-sekuler yang diterapkan di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H