Mohon tunggu...
DA Salmaa
DA Salmaa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S2

Seorang mahasiswa S2

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bullying Mendarah Daging: Buah Sekularisasi Pendidikan

29 November 2022   10:00 Diperbarui: 29 November 2022   10:02 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sistem kapitalisme berpandangan bahwa tujuan hidup adalah untuk menggapai kebahagiaan materi. Prestasi akademik menjadi hal-hal yang selalu digadang-gadang institusi pendidikan hingga mengesampingkan akhlak menjadi syarat kelulusan. Tak dapat disangkal bahwa kurikulum pendidikan Indonesia selalu “digenjot” pemerintah untuk menciptakan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan industri. Bekerja dan menerima gaji yang tinggi di perusahaan bonafide menjadi prestige luar biasa di tengah masyarakat. Di lain sisi, sekularisme menjadikan pendidikan “mengabaikan” agama, baik dalam ranah keluarga dan sekolah. Di rumah, orang tua dan keluarga didorong untuk bekerja sehingga tak memiliki waktu, tenaga dan pemahaman yang baik tentang agama. Hal tersebut menjadikan orang tua dan keluarga berpangku tangan menyerahkan pembelajaran agama ke sekolah. Sedangkan di sekolah, porsi jam pelajaran agama sangat minim dan hanya teoritis belaka miskin akan pemahaman dan penerapan. Maka menjadi fenomena yang logis jika banyak pelajar menghadapi krisis akhlak. Karena akhlak mulia tidak diperhitungankan dalam pendidikan kapitalisme-sekuler, alih-alih menjadi standar wajib.

Cengkraman “orientasi materi” khas kapitalisme-sekuler tidak hanya sebatas pada kurikulum. Paham ini telah merasuk menjadi cara pandang operasional institusi pendidikan. Sering kita dapati fakta untuk masuk ke sekolah atau perguruan tinggi berkualitas, tarif yang tak murah perlu dirogoh. Dengan menyajikan kualitas akademik yang baik, sekolah maupun perguruan tinggi mendapatkan permintaan masuk yang tinggi dari masyarakat. 

Institusi pendidikan mati-matian menjaga citra kualitas mereka agar permintaan tersebut tetap tinggi dan mendapatkan keuntungan. Kecenderungan ini menjadi asas operasional institusi pendidikan ala kapitalisme sekuler. 

Tak jarang institusi pendidikan cenderung merahasiakan kasus perundungan yang terjadi di institusi mereka hingga akhirnya opsi yang paling menguntungkan untuk menyelamatkan citra institusi adalah dengan cara damai kekeluargaan yang dilakukan secara internal agar kasus perundungan tak tersebar dan menjadi aib bagi institusi yang akan menurunkan pamor mereka, meskipun kasus perundungan yang terjadi adalah kasus ekstrem. Begitulah sistem kapitalisme-sekuler memporak-porandakan sistem pendidikan tanah air. Merusak komponen pendidikan dari keluarga, masyarakat dan pemerintah. Maka sudah menjadi konsekuensi logis sistem kapitalisme-sekuler melahirkan generasi berwawasan selangit namun kering akan akhlak mulia.

Kapitalisme-Sekuler Bukanlah Solusi

Berangkat dari realita yang ada, bahwa kapitalisme-sekuleris menjadi biang kerok kegagalan sistem pendidikan tanah air, sudah sepantasnya negeri ini membuang kapitalisme-sekuler. Sistem tersebut perlu diganti dengan sistem yang menjadikan agama sebagai solusi permasalahan manusia. Dalam Islam, untuk menciptakan sistem pendidikan yang berhasil melahirkan generasi berakhlak mulia dan sukses dunia-akhirat diterapkanlah konsep pemahaman penyatuan agama dengan kehidupan. Agama tidak boleh dipisahkan seperti konsep ala kapitalisme-sekuler, melainkan disatukan.  Hal ini karena Islam adalah agama yang istimewa karena memiliki solusi untuk setiap masalah manusia yang berlaku abadi dan universal. 

Dalam menangani permasalahan bullying, Islam menciptakan 3 komponen utama pendidikan yang kondusif. Orangtua dan keluarga, masyarakat serta pemerintah harus berporos pada taqwa kepada Allah. Orangtua dan keluarga menjadi tempat pembentukan karakter anak terpenting dalam Islam. Hal ini menuntut orangtua dan keluarga memberikan partisipasi yang mendalam untuk menanamkan aqidah Islam serta memberikan teladan dalam berkata dan bersikap. Sebab, tak sedikit pelaku perundungan berasal dari keluarga yang tak paham agama dan memiliki komunikasi yang rusak.

Masyarakat bertanggungjawab untuk saling menasehati mengajak pada kebaikan dan mencegah tindakan tercela. Masyarakat tidak boleh bersikap abai apalagi indivudualis. Sedangkan negara memiliki peran sentral, yakni menciptakan sistem pendidikan yang berasaskan akidah Islam. Standar kelulusan bukan dititikberatkan pada prestasi dan bekerja dengan gaji tinggi, namun pada pembentukan generasi bertakwa dan berakhlak mulia. Namun, perlu dipahami, sinergitas antara 3 komponen utama pendidikan dalam menyelesaikan kasus perundungan mandarah daging tidak akan tercapai jika paham kapitalisme-sekuler yang diterapkan di negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun