Mohon tunggu...
Metropol Pers
Metropol Pers Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Awal Bermula, Sebuah Prolog

31 Mei 2017   21:55 Diperbarui: 31 Mei 2017   22:13 1192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
courtesy sesawi.net

Sebuah awal pun bermula. Sebab ini adalah prolog dari sebuah cerita, maka biarkan setiap kata berbicara dengan dirinya sendiri melalui diksi tak terseleksi. Boleh jadi hanya aku yang mengerti, tapi percayalah, bahwa ini diracik sepenuh hati.

___

Pagi itu, matahari bersinar cerah. Angin berkesiur menarikan dedaunan sebagaimana mestinya. Suasana pagi tetap dingin seperti seharusnya. Seperti biasa, irama pagi dan detak jantung kehidupan bermula, seperti itulah adanya.

Menjadi tidak biasa, ketika di pagi itu, aku melihatnya. Sesosok perempuan dengan senyum yang berbeda. Sederhana, tapi tampak sempurna. Boleh jadi ini subjektif, tapi setidaknya, dengan cara pandang yang sama, aku melihatnya begitu istimewa. Tampak biasa-biasa saja, pada mulanya, lalu bermetamorfosa menjadi kekaguman luar biasa. Bertahan seperti itu adanya, berkelindan, dan waktu semakin mengikat kuat dalam-dalam.

Ini hanya persoalan penilaian yang tiba-tiba menyelinap begitu saja. Tidak lengkap dan belum utuh, tentu saja, karena akupun, belum mengenal seutuhnya. Tapi pagi itu, ia, sosok perempuan berkacamata itu, seperti kupu-kupu dengan paduan warna yang khas. Terbang mendayu-dayu dalam suasana pilu hatiku. Ya, hatiku yang masih pilu, sebab belum lama tertusuk sembilu. Luka, mungkin tak terlalu menganga, tapi cukup membuatku mempunyai cara pandang yang berbeda tentang perempuan, apalagi baru pertama berjumpa.

Semua berlangsung begitu saja. Awal mula berjumpa, entah kenapa, tiba-tiba wajahku seperti pucat ketika berhadapan denganmu. Mata itu sayu, tapi cukup membuat mataku kelu ketika beradu tatap dalam sekejap. Sepersekian detik, seperti ada yang janggal dengan aliran darahku. Jantung pun berdegup lebih kencang dari biasanya. Satu-satunya cara untuk menghilangkan itu, aku harus berpaling dari wajahmu.

Apalagi ditambah dengan senyummu, aku seperti mati kutu. Sungguh, tanpa ragu. Senyum Monalisa menjadi kecut seketika saat melihatmu menyunggingkan seutas senyum. Seperti ada racikan khusus, dan hanya kamu yang tahu. Sinkronisasi bibir, sedikit lekukan di ranum pipimu, dan sayup matamu menjadi paduan maha dahsyat yang mampu menusuk relung hatiku. Tak ada yang bisa meniru.

Apalagi ditambah dengan suaramu, tak ubahnya seruling Daud yang mengalun merdu. Intonasi yang pas dengan tutur kata yang lembut membuatku tersipu. Tertunduk malu. Seperti terlihat jelas kesantunan dalam kata-katamu, dan kedalaman ilmu dalam jernih suaramu. Lebih dari itu, melalui pakaian khas yang kau kenakan ketika itu, membuatku semakin terpana. Aku tahu, tidak hanya cantik yang terukir manis di wajahmu, tapi karakter yang anggun di balik helai-helai gaun.

Barangkali ini agakberlebihan, tapi akan menjadi ironis ketika apa yang terjadi pagi itu tidak saya ungkapkan dengan diksi semacam ini. Apa yang aku rasakan itu benar, karena satu-satunya yang tampak tak benar adalah caraku untuk tampil pura-pura di depanmu, seakan tak terjadi apa-apa. Barangkali ini salah, tapi setidaknya kesan itu yang melekat ketika pertama kali melihatmu. Sebentuk kekaguman naluriah yang purna, dari seorang lelaki nelangsa.

Awal bermula, ini soal kekaguman. Bukan soal perasaan, yang muncul beberapa waktu kemudian.

___

Ya, kamulah perempuan itu; yang hingga kini membuatku tak lupa bagaimana jantung berdetak ketika pertama berjumpa; yang menbuatku lupa jalan pulang karena tiba-tiba ada semacam rindu yang menyuruhku bertahan; yang berhasil membuatku menyadari bagaimana hidup dan kehidupan; yang telah membuatku sadar akan arti sebuah perjuangan dan konsistensi menjaga perasaan; yang telah membuatku jatuh dalam situasi membingungkan tapi menyenangkan; yang membuatku sadar bahwa perjuangan, sekeras apapun dilakukan, tak akan mampu menolak takdir yang telah digariskan; dan yang telah membuatku tak lelah untuk bertahan, sejauh yang bisa kulakukan. Ya, kamu.

Maaf, aku menyimpan ini diam-diam. Sejak hari itu, hatiku temaram.

Selanjutnya, pada rangkai kalimat dan paragraf yang terajut, anggaplah sebuah dongeng: tentang kekaguman dan denyar perasaan yang mencuat kemudian. Untukmu, harus kutuliskan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun