bahwa proses belajar pada dasarnya adalah proses "to gain access"; sementara pendidikan adalah prosess "to provide access"; dan pada saat yang sama sekolah (kampus) berperan "to enable access"
Artikel bagian 1 menyuarakan pentingnya konsep dasar yang merangkai pertemalian nilai-nilai kebijakan pendidikan Merdeka Belajar beserta desain pengembangan program-programnya sehingga kebijakan dan program-program yang diusung bukan hanya berhasil namun juga saling konsisten dengan aspek-aspek terkait lainnya baik antar sektor (dalam departemen atau antar departemen) maupun antar trajektori.
Artikel bagian 2 menggaris-bawahi nilai-nilai Revolusi Industri 4 seperti yang digagas oleh Prof Klaus Schwab dan perlunya sikap sebuah kebijakan dalam mencermati perkembangannya utamanya untuk diusung ke dalam konstrukti kebijakan pendidikan.
Pandangan penggagasnya terhadap industri 4 adalah bahwa revolusi yang terjadi sejatinya adalah revolusi dalam ways of doing dan segenap perangkat aparatus yang beroperasi bersamanya; dan oleh karenanya menguasainya adalah tidak kurang dari seni menciptakan alat dan mengelola cara-cara.
Pada bagian tiga ini artikel ingin berfokus pada konsep dasar kebijakan pendidikan Merdeka Belajar dengan terlebih dahulu mendudukkan fenomena Industri 4 sebagai entitas kandidat sebelum diusung ke dalam konstruksi kebijakan.
Pendekatannya adalah menjadikan Industri 4 sebagai kasus pendidikan. Dalam konteks artikel ini kasus pendidikan diperlukan sebagai pintu masuk ke dalam konstruksi kebijakan, yakni dengan melihatnya dalam perspektif:
pertama, Industri 4 sebagai sistem kurikulum
kedua, Industri 4 sebagai sistem nilai
ketiga, Industri 4 sebagai sistem media
keempat, Industri 4 sebagai sistem komoditas
kelima, Industri 4 sebagai sistem ekologi.
(1) Sistem kurikulum di sini disempitkan maknanya menjadi sistem komptenesi yang meliputi konten pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Terikut ke dalam sistem ini adalah gambaran pemilahan porsi materi ajar industri 4, baik terkait seleksi dan gradasi; metode dan didaktik; tujuan dan evaluasi; lingkungan dan media; leadership dan nilai-nilai; dan hubungan-hubungan antara satu komponen dengan komponen lainnya dalam sistem.
(2) Sistem nilai di sini artinya bahwa terdapat asosiasi antara manusia sebagai subyek dan industri sebagai predikatnya. Manusia memperoleh predikat sebagai pribadi yang maju adalah karena nilai-nilai yang terusung menjadi bagian integral dari perilaku pribadinya.
Kecanggihan postur melambangkan kecanggihan sistem nilai yang terinsitusi (embodied). Kehatian-hatian dokter bedah, misalnya, menggambarkan kompleksitas sistem profesi, alat, dan metode yang dikuasainya. Nilai-nilai industri mencerminkan nilai-nilai kelompok manusia yang menciptakan, memiliki, mengelola, menggunakan, dan mengembangkannya.
(3) Industri sebagai media memiliki dua arti. Pertama, industri beroperasi untuk "memediasi" fungsi-fungsi dalam proses-proses. Industri 4 dengan teknologinya menjadi media untuk menghadirkan situasi here-now dan aktivitas real-time, dus "mengatasi" keterbatasan manusia terhadap waktu (dalam arti konektivitas) dan terhadap jarak (dalam arti mobilitas).
Kedua, memperhatikan perkembangannya budaya Industri 4 juga melahirkan satu karakter berbeda; yakni bahwa industri adalah fashion, dalam arti "to fashion personal and social value systems." Perkembangan ini menjadikan entitas media bertransformasi menjadi bagian dari entitas personal dan sosial.
(4) Komoditas didefinisikan sebagai hasil dari proses-proses komodifikasi. Dua pendekatan terjadi: kuantifikasi nilai komoditas merupakan fungsi dari reproduksi (produk menghasilkan sikap: industri mempengaruhi cara berpikir); repoduksi merupakan fungsi dari kuantifikasi nilai komoditas (sikap menghasilkan produk: cara berpikir mempengaruhi industri).
Apa pun bentuk dan dimensinya, industri 4 adalah fungsi dari sistem nilai atau sebaliknya. Beroperasinya fungsi-fungsi ini diperlukan dalam siklus produksi untuk memicu inovasi dan memacu advantage (kompetitif, komparatif).
(5) Sistem ekologi di sini berarti menjadikan Industri sebagai "kampung halaman"; menjadi wahana untuk hidup dan berkembang. Dalam hal ini Industri 4 menjelma menjadi cara hidup: dari big data ke cyber security ke cyber-physical services ke advanced-manufacturing system; dari Internet of Things ke blockchain ke autonomous decision making ke nanotech advaced materials ke additive manufacturing; dst. Industri 4 bagian integral dari keseharian dalam perkampungan manusia dan manusia tidak bisa beraktivitas tanpa terkoneksi dengannya.
Begging the question, di mana letak kelima cara pandang di atas masuk konstruksi kebijakan pendidikan Merdeka Belajar? Untuk menjawabnya kita perlu melakukan 3 hal: pertama, mengkonseptualisasi Industri 4 sebagaimana digagas Schwab (ways, device); kedua, mengemas entitas Industri 4 sebagai model kompetensi; dan ketiga, mengkonseptualisasi Merdeka Belajar sebagai sistem akses.
Pertama, terkait konsep Industri 4. Sebagaimana disampaikan pada artikel sebelumnya, Revolusi Industri 4 adalah revolusi dalam sistem alat dan cara-cara (ways of doing). Konsekuensi cara berpikir ini adalah manusia memerankan diri sebagai subyek (to create, to direct) dan industri predikatnya (to operate, to execute).
Dalam hal ini manusia memastikan industri beroperasi persis sebagaimana algoritma yang dirancangnya. Bila industri keluar dari protokolnya, maka keluarnya itu adalah juga bagian dari design controlnya. Dengan demikian jelas demarkasi antara nilai manusia versus nilai industri.
Kegamangan yang selama ini membayangi alam pikir manusia adalah: pertama, (seperti dalam filem-filem sci-fi) teknologi industri keluar dari protokol dan berbalik peran menjadi pengendali manusia; kedua, (seperti dalam filem-filem koboi) manusia dihargai semata-mata karena alatnya.
Setidaknya dua filem koboi Hollywood menggambarkan ini: "the man with the gun" (nilai "the man" ditentukan oleh "the gun") dan "the man behind the gun" (nilai "the gun" ditentukan oleh "the man"). Kecenderungan ini masih dominan hingga zaman sekarang, yakni bahwa nilai karakter ditentukan oleh: 1) memiliki pistol dan 2) piawai menggunakannya.
Tapi zaman Industri 4, bila koboi masih ada, nilai-nilai karakter seyogianya sudah harus melangkah lebih jauh dari dua axioma ini, yakni bahwa seseorang dihargai bukan hanya karena memiliki pistol dan mampu menggunakannya, namun juga 3) pistolnya harus kualitas bagus (of and for highly particular specialty); 4) menggunakannya harus pada waktu dan tempat yang tepat (of and for an idealized good cause); dan 5) pemegang pistol merepresentasikan kelompok protagonis yang harus mengusung nilai-nilai kebaikan (of and for absolute general humanity).
Kedua, terkait Industri 4 dalam model kompetensi. Artikel ini mendefinisikan kompetensi sebagai abilities with an attitude. Bila ability with an attitude disandangkan pada Industri 4 maka itu artinya Industri 4 beroperasi dengan karakter manusia di belakangnya yang menjadi pengendali dan pencipta algoritma, dan yang nilai-nilai dirinya terlembagakan pada Industri tersebut.
Secara model, garis-besar kompetensi dijabarkan ke dalam pengetahuan (knowledge of industry), keterampilan (skill of industry), dan sikap (attitude of industry). Ketiganya menggambarkan persona pemiliknya, baik agregat pengetahuan (mis. terkait know that, know how; low to high order), keterampilan (mis. make, manage, perform; novice to expert), dan sikap (mis. self-other, subject-object, here-there; judgemental to critical).
Model kompetensi diperlukan untuk membantu melihat kurikulum boundary sehingga tampak mana bagian inti (core) dan mana bagian pendukung (supportive). Biasanya cara berpikir model adalah "given x then y".
Misalnya, konsep Industri 4 adalah sistem "ways of doing with a set of associated apparatuses", maka bunyi kurikulumnya adalah "menjadikan manusia Indonesia mampu mempelajari dan menguasai Industri 4, dalam arti luas, yakni menciptakan dan menggunakan, mengelola dan mengembangkan Industri 4, untuk kesejahteraan hidupnya baik generasi kini maupun generasi anak cucunya mendatang".
Dari model juga dapat diidentifikasi konsekuensi turunannya (dan cara-cara mengusung support, teknis dan insitusi) dalam praktek di lapangan, yang meliputi metode dan karakter pembelajaran, kepemimpinan sekolah, lingkungan pendukung dan stakeholders, dan lembaga-lembaga lainnnya baik politik, bisnis, maupun budaya, yang berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap berhasil dan gagalnya pendidikan.
Sebagaimana kita pahami, keberhasilan kebijakan pendidikan bukan hanya terletak pada unit-unit lembaga pendidikan apalagi semata-mata pada pekerjaan guru-murid dan dosen-mahasiswa; jauh lebih dari itu adalah terletak pada keseluruhan unit-unit institusi besar dan kecil yang menghela sikap yang sama dan mengusung concern bersama. Dalam hal ini model kompetensi berperan membantu mengusung dukungan dalam arti membangun sikap dan partisipasi.
Ketiga, terkait konsep Merdeka Belajar. Artikel ini mengajukan pemikiran bahwa Merdeka Belajar adalah sistem akses. Yang dimaksud sebagai sistem akses dalam hal ini adalah access to models of competency.
Di atas telah disinggung Competency adalah istilah payung untuk Knowledge, Skill, dan Attitude (huruf besar untuk menggambarkan kategori besar dalam kurikulum). Ketiga agregat kompetensi ini didapatkan melalui interaksi dengan sumber-sumber pengetahuan (knowledge and values; empirical, rational) dan pengalaman (experience and values; senses, behaviour). Kompetensi dipilih, dan karena itu diusung dalam kurikulum, sebagai konten pendidikan. Oleh karenanya kompetensi dikemas dalam bentuk model-model.
Secara fisik akses biasanya didefinisikan dalam konteks mobility (gerakan) dan connectivity (interaksi). Mobility terjadi secara fisik dalam frame ruang (dan waktu), spatio-temporal; sedangkan connectivity adalah hubungan (engagement matter of fact) yang terjadi baik real maupun virtual karena efek fungsioanl media platform.
Dalam unggahan sebagaimana tercantum pada Buku Panduan Merdeka Belajar -- Kampus Merdeka, yang diedarkan dalam lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2020 dan sampai ke meja para dosen dan guru, Mendikbud Nadiem A. Makarim sendiri menyatakan "Kemerdekaan belajar memberi kebebasan dan otonomi kepada lembaga pendidikan, dan merdeka dari birokratisasi, dosen dibebaskan dari birokrasi yang berbelit serta mahasiswa diberikan kebebasan untuk memilih bidang yang mereka sukai."
Artikel ini memandang pernyataan Menteri Nadiem mengandung poin-poin penting yang mengusung pikiran di antaranya bahwa proses belajar pada dasarnya adalah proses "to gain access"; sementara pendidikan adalah prosess "to provide access"; dan pada saat yang sama sekolah (kampus) berperan "to enable access".
Bukan berarti bahwa pendidikan adalah anti-birokrasi, namun pendidikan memerlukan sistem birokrasi yang paling efisien, dalam arti mampu mengerahkan apa pun yang diperlukan untuk memfasilitasi akses.
Maka dalam kaitan Industri 4 sebagai contoh kasus model kompetensi Pendidikan Merdeka Belajar yang diusung Menteri Nadiem mengemban peran "to provide an access to the knowledge and experiences in terms of system of the ways and tools of doing". Dalam konteks akses guru memiliki fungsi sebagai access designer yang efisien, yakni designer of access to competency model, dan siswa (mahasiswa) memilih design model kompetensi sesuai minat dan bakatnya.
Dalam pengertian ini, misalnya, terkait pengetahuan (knowledge), guru menjadi access to knowledge model designer; terkait keterampilan (skill), guru menjadi access to skill model designer; dan terkait sikap (attitude), guru menjadi access to attitude model designer.
Berkaitan dengan hal itu, sekolah (kampus) sebagai lingkungan belajar, menjadi access enabler. Bersama dengan media (print, digital) sekolah (kampus) berfungsi memastikan siswa memperoleh akses maksimal terhadap model-model yang dirancang para guru.
Bergandengan dengan peran guru sebagai access designer, kepemimpinan pendidikan lebih bersifat instruksional (pedagogis) tinimbang administratif-birokratis, terlebih administratif-birokratis yang mempersulit akses--kepemimpinan pendidikan Merdeka Belajar adalah kepemimpinan yang menciptakan system to provide and enable access.
Konsep Akses Pendidikan Merdeka Belajar memusatkan semua kegiatan pada satu misi: to provide and enable access. Dengan demikian program-program Merdeka Belajar adalah satuan-satuan pendukung misi akses, apa pun itu definisinya sesuai usungan program.
*) ("Lima Episode" Merdeka Belajar (Bagian 3, Habis))
Ditulis oleh: Sudarsono M.I.
Dosen Senior di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris FPBS UPI
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI