Menjadi bagian dari sebuah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan melatakkannya sebagai salah satu pondasi negara adalah kesempatan besar bagi setiap warga negara yang tak ternilai harganya. Indonesia, contoh sebuah negara yang menanamkan paham-paham demokrasi dalam salah satu sila dasar negaranya. Sila keempat dari Pancasila yang belambang kepala banteng itu berbunyi "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan", menjadi dasar bertumbuhnya peraturan-peraturan di Indonesia yang mengedepankan nilai demokrasi.Â
Namun, dasar-dasar yang sebenarnya telah menjadi pakem sejak bangsa ini berdiri, sering kali dicederai. Peraturan peraturan perundang undangan yang seharusnya berada di bawah Pancasila ,sumber dari segala sumber hukum, Â banyak yang melenceng karena ditunggangi oleh kepentingan kepentingan tertentu tanpa mengedepankan aspirasi masyarakat.
UU MD3
Senin (14/2/2018) lalu, UU no 17 tahun 2014 mengenai MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) akhirnya disahkan dalam sidang paripurna DPR. Pengesahan UU MD3 yang kontroversial ini menuai banyak kritik dari banyak kalangan termasuk warga sipil. Alih-alih mendapat dukungan, UU MD3 justru memperoleh penolakan dari warganet sebanyak 117.000 tanda tangan dalam petisi "Tolak Revisi UU MD3, DPR Tidak Boleh Mempidanakan Kritik" melalui situs  change.org/tolakuumd3 dalam waktu 24 jam sejak petisi tersebut diluncurkan.
Sebuah hal yang sangat lumrah ketika peraturan yang disahkan lembaga pemerintahan menuai pro dan kontra. Pemikiran dan pertimbangan mengenai baik dan buruknya sebuah peraturan perundang-undangan pastilah sangat beragam, apalagi pemikiran-pemikiran itu muncul dari sekitar dua ratus lima puluh juta rakyat Indonesia. Hal ini terjadi pula dalam pengesahan revisi UU MD3. Untuk itu, kita perlu mendalami, apa yang sebenarnya direvisi dalam UU MD3 yang menimbulkan kehebohan.
Salah satu poin yang ditambahkan dalam UU MD3 adalah pasal 249 ayat 1 huruf J yang berbunyi "DPD berwenang dan bertugas melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan peraturan daerah (raperdda) dan peraturan daerah (perda)." Dampak dari pasal ini dinilai mampu menimbulkan benturan antara tugas DPD dengan kewenangan jajaran eksekutif yang diatur dalam peraturan daerah (perda).Â
Konteks kewenangan dari DPD ini harus dijelaskan secara gamblang. Jika kewenangan DPD seecara rinci, sama dengan kewenangan pemerintah eksekutif dan MA, maka akan terjadi tumpang tindih kewenangan dengan lembaga eksekutif di daerah. Dengan munculnya peraturan ini, bukannya memperbaiki sistem kerja di Indonesia, malah menimbulkan ketidak efektifan kerja antara lembaga pusat dan daerah.
Pasal lain yang dianggap kontroversial dan menuai kecaman publik adalah Pasal 122 huruf K UU MD3 disebutkan bahwa DPR bisa mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Pasal 122 huruf K ditakutkan dapat memunculkan kediktatoran dari DPR, dimana pasal seperti ini sudah tidak relevan lagi digunakan di zaman demokrasi seperti saat ini. Pasal seperti ini lebih cocok digunakan oleh raja atau zaman feodal. Raja membutuhkan pasal-pasal seperti ini untuk menopang kewibawaan dan membuat masyarakat takut untuk mengkritik kinerja mereka yang 'bobrok'.Â
Apakah dengan pasal ini, DPR berharap dapat bersembunyi dari kritikan dan bebas melakukan korupsi?. Pertanyaan berikutnya yang muncul dari munculnya pasal tersebut adalah, Siapakah yang paling berperan dalam perendahan kehormatan DPR? Jawaban yang paling tepat adalah anggota DPR itu sendiri. Anggota anggota DPR yang mangkir dari undangan KPK, anggota DPR yang tidur saat sidang, dan perilaku memalukan lainnya yang menurunkan kehormatan lembaga DPR. Bukti lain yang dapat dilihat, dari survey kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan,Â
DPR menduduki posisi terendah, berada jauh dari TNI, KPK, Lembaga Kepresidenan dan Polri. Bahkan dibawah Pengadilan dan Kejaksaan. Jadi, berkaca dari fakta tersbut, yang paling utama dan pertama yang dapat dijerat pasal tersebut adalah anggota-anggota DPR itu sendiri.
Pasal selanjutnya yang mengalami perubahan dan menuai kontroversi adalah pasal 245 yang  dikatakan pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Pasal ini memerluas cakupan imunitas bagi DPR yang telah lebih dahulu memiliki hak untuk  tidak dapat dituntut di pengadilan karena pernyataan atau pendapat yang dikemukakan secara lisan, maupun tulisan dalam rapat-rapat DPR. Pemberian hak imunitas secara menyeluruh ini akan berpotensi menyulitkan lembaga-lembaga penegak hukum untuk menindak 'tikus-tikus licik' yang haus akan uang rakyat ini.
Kewenangan DPR untuk memanggil paksa yang tertuang dalam pasal 73 ,dalam hal pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.Â
Pasal ini sebenernya tidak banyak mengalami perubahan substansi yang signifikan karena dari nilai-nilainya tetap sama, hanya ada perubahan yang cenderung menguatkan fungsi pasal ini. Contohnya penambahan kata "wajib" bagi kepolisian untuk memenuhi permintaan DPR membantu memanggil paksa pihak yang akan diperiksa. Meski banyak alibi yang mengatakan bahwa pasal ini sudah ada sejak 3,5 tahun yang lalu dan tidak ada nilai signifikan yang berubah, tetap saja keputusan merevisi pasal ini menunjukan keinginan DPR untuk semakin menguatkan pasal yang menguntungkannya secara sepihak.
Pasal lain yang menimbulkan pertanyaan adalah pasal 15, 84, dan 260. Masing masing membuat jumlah ketua MPR, DPR, dan DPD menjadi berjumlah genap. Hal ini akan menimbulkan resiko tidak diperolehnya titik temu dari keputusan-keputusan pimpinan lembaga-lembaga terkait.
Masyarakat Indonesia, tidak kah kalian geram pada mereka yang berusaha mencederai negerimu, mereka yang mengusik kebebasanmu, dan mereka yang berusaha membungkam suaramu. Berderaplah, maju dengan suara lantang. Pekikkan semangatmu dan jangan biarkan mereka merengutnya darimu. Tiap kata dan frasa yang mengapung diatas kebenaran dan keberanian adalah detak jantung negri ini. Jangan pernah takut untuk menegakkan kebenaran, karena kalian tidak sendiri.
Hidup Rakyat Indonesia!!!
Sumber:
Pengamat nilai tidak ada yang berubah dalam revisi pasal 73 UU MD3 [internet]. Jakarta: Tribun News; 2018 Feb 14 [cited 2018 Feb 19].Â
Ibrahim GM. Bunyi sederet pasal kontroversial di UU MD3 yang baru direvisi [internet]. Jakarta: Detik News; 2018 Feb 12 [cited 2018 Feb 19].
Akunto I. Anggota DPR: Hak imunitas untuk jaga kehormatan dewan [Internet]. Jakarta : Kompas; 2014 Nov 21[cited 2018 Feb 19].
Pasal-pasal kontroversial dalam revisi UU MD3 yang disahkan DPR. Jakarta: Sindo News; 2018 Feb 13 [cited 2018 Feb 19].Â
Undang-undang republik Indonesia nomor 17 tahun 2014 [Internet]. Jakarta: DPR RI [cited 2018 Feb 19]. Available from:Â
Kuwado FJ. Uu md3 menuai kontroversi, jokowi diminta inisiasi revisi atau perppu [Internet]. Jakarta: Kompas; 2018 Feb 15 [cited 2018 Feb 19].Â
Ihsanuddin. Dalam 24 jam, petisi tolak revisi uu md3 tembus 117.000 dukungan [Internet]. Jakarta: Kompas; 2018 Feb 2012 [cited 2018 Feb 19].Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H