Mereka yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan. (Ali bin Abi Thalib)
Di era modern ini, setiap orang di dunia selayaknya memiliki keseimbangan antara pengetahuan ilmu dan kepercayaan iman. Sangat berbahaya jika seseorang sangat ahli pada salah satu dari kedua aspek tersebut, namun tidak memahami yang lain. Kondisi itu dapat berujung pada ketidakharmonisan dan perpecahan, apalagi pada ruang lingkup Negara Indonesia, suatu negara yang berdiri atas dasar keberagaman (Bhinneka Tunggal Ika: berbeda-beda tetapi tetap satu).Â
Sebenarnya tidak ada agama yang mengajarkan kebencian. Hal tersebut hanya dilakukan oleh para oknum penganut suatu agama yang menelan bulat-bulat ajaran agamanya tanpa diolah terlebih dahulu.
Suhu pagi hari itu terasa lebih panas dari biasanya; hampir tidak ada awan di langit biru Jakarta yang cerah pada Rabu, 30 Oktober 2024 lalu. Jalan Menteng Raya, sama seperti saat hari-hari kerja lain pada umumnya, sibuk dengan lalu lalang pemotor dan pejalan kaki. Kira-kira pukul 7.30 pagi, suatu bus pariwisata keluar dari parkiran Kolese Kanisius.Â
Bus tersebut diisi para Kanisian (sebutan untuk siswa Kolese Kanisius) yang akan mengikuti kegiatan ekskursi di Pondok Pesantren Kebon Jambu, Ciwaringin, Cirebon selama tiga hari dan dua malam. Ekskursi ini adalah sebuah kegiatan yang dirancang untuk membangun jembatan antara keyakinan yang berbeda; sebuah langkah penting di tengah dunia yang kerap dihantui oleh ketegangan akibat perbedaan.Â
Melalui kegiatan ekskursi, penulis menemukan bukan hanya cerita-cerita orang, tetapi juga pengalaman nyata yang mengubah cara pandang saya terhadap kehidupan dalam keberagaman.
Menyelami Kehidupan Santri
Hari kedua dimulai dengan keakraban sederhana karena kami belum berkenalan dengan para santri saat hari kedatangan. Suasana pondok pesantren menyambut kami dengan keheningan khas pinggiran kota, diiringi keramahan para santri yang memberikan senyum setiap kali kami berpapasan. Keheningan itu mungkin saja sebenarnya terjadi karena kami tidak dibangunkan oleh pertunjukan "tanjidor" mereka pada jam 4 pagi untuk mengumpulkan seisi pondok agar mengikuti sholat subuh.Â
Kami diajak untuk turut serta dalam aktivitas sehari-hari mereka: mengikuti kelas-kelas pelajaran selayaknya sekolah biasa, mempelajari bahasa Arab, hingga mengaji bersama.
Pengalaman-pengalaman yang dilalui penulis di pondok pesantren bukanlah hal-hal yang tergolong umum untuk seorang yang memiliki keyakinan berbeda. Misalnya, belajar bahasa Arab dan ziarah ke makam tokoh Islam. Tetapi, pengalaman-pengalaman tersebut memperkaya pengetahuan budaya milik penulis.Â
Kegiatan ziarah tersebut memberikan perspektif baru tentang bagaimana nilai-nilai agama dihormati dan diwariskan menurut kepercayaan lain, dan mempelajari bahasa Arab menyadarkan penulis betapa sulitnya menulis dari kanan ke kiri.