Mohon tunggu...
Darwono Guru Kita
Darwono Guru Kita Mohon Tunggu... profesional -

**************************************** \r\n DARWONO, ALUMNI PONDOK PESANTREN BUDI MULIA , FKH UGM, MANTAN AKTIVIS HMI, LEMBAGA DAKWAH KAMPUS JAMA'AH SHALAHUDDIN UGM, KPMDB, KAPPEMAJA dll *****************************************\r\n\r\n\r\n\r\n\r\nPemikiran di www.theholisticleadership.blogspot.com\r\n\r\nJejak aktivitas di youtube.com/doitsoteam. \r\n\r\n\r\n*****************************************\r\n\r\nSaat ini bekerja sebagai Pendidik, Penulis, Motivator/Trainer Nasional dan relawan Pengembangan Masyarakat serta Penggerak Penyembuhan Terpadu dan Cerdas Politik Untuk Indonesia Lebih baik\r\n*****************************************

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

"Satria Iku Kudu Anteng Jatmika ing Budi"

22 April 2019   08:45 Diperbarui: 22 April 2019   08:49 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dari berbagai laporan pilpres, ada hal yang menarik, dimana Jokowin mendulang banyak suara di wilayah dimana banyak orang jawa berdomisili, tetlrmasuk di lampung, bagian dari pulau Sumatra yang secara keseluruhan Prabowo unggul disana.

Banyak yang mrnyatakan karena Prabowo tegas, sesuai karakter ethnik ethnik di Sumatra. Pernyataan ini penulis nilai sebagai hal yang bias. Karena hal itu meneguhkan bahwa orang Jawa tidak menyukai ketegasan. Hal ini tentu salah besar, Bung Karno tokoh paling tegas dari presiden presiden RI yang pernah ada, tetapi Bung Karno sangat dicintai mayoritas. orang jawa.

Lantas apa yang menyebabkan mayoritas orang Jawa dimanapun memilih Jokowi ?
Senagai orang jawa penulis memahami dari pitutur orang pini sepuh bahwa Jalan untuk mencapai Kebesaran dan Kesaktian, Harus membiasakan diri bersopan-santun, Berani mengalah akan luhur pada akhirnya, Diamlah jika tengah dimarahi karena salah, Segala tindak buruk hindarilah, Segala ejekan dan hinaan jangan dihiraukan.

Pitutur itu biasa disampaikan melalui tembang mocopat, tepatnya temhang mijil sebagai berikut : "Poma kaki padha dipun eling, Ing pitutur ingong, Sira uga Satriya arane, Kudu antng jatmika ing Budi, Ruruh sarta wasis, Samubarangipun"

Yerjemahan bebas ke dalam bahasa Indonesia dari temnang mijil itu kurang lebih : Wahai saudaraku ingat-ingatlah, Akan pesanku ini, Kalian sebenarnya juga seorang Satriya (bagi tanah kelahiran kalian), Harus bisa tenang dan indah Kesadaranmu, Sopan dan cerdas, Untuk segala tingkah laku.

Masyarakat berdarah Jawa dimanapun, terus memperhatikan seluruh gerak gerik seorang pemiimpin tidak hanya ketika masa masa kampanye. Kepemimpinan Jokowi tentu saja tidak luput dari perhatian masyarakat bukan hanya usaha usaha kerasnya tetapi juga ucapan ucapannya, semua perilakunya termasuk sikap dan perilaku dalam menghadapi berbagai cobaan, cibiran, nyinyiran, hinaan dan fitnah yang ditujukan kepadanys.

Masyarakat Jawa, dapat menemukan bahwa dalam menghadapi semua itu Presiden Jokowi tetap tenang (anteng) dan mrnunjukan kesadaran yang indah (jatmika ing Budi). Masyarakat Jawa melihat dengan jelas figur satria pada diri pada diri Jokowi. Termasuk dalam kengambil tanggung jawab.

Sebagainana diuraikan oleh Jokowi pada debat ke 5, bahwa Jokowi sangat tahu banyak kekurangan atau bahkan penyelewengan yang dia temukan di berbagai bidang, namun Jokowi lebih memilih memperbaiki kondisi ketimbang menyalahkan pihak lain. Hal ini bukan berarti Jokowi permisif pada penyalahgunaan, terhadap hal hal atau oknum yang melawan hukum, jokowi tegas agar hukum yang bicara, meskipun oknum tersebut adalah pendukungnya.

Hal itu sangat kontras berbeda dengan sikap kokpetitornya, dimana kita dengan jelas dapat mentaksikan Prabowo menyalahkan presiden sebelum Jokowi. Kita juga dengan jelas menyaksikan Prabowo bersikap kasar dan emosional berkali kali. Sikap umuk dan merendahkan bahkan menghina dan mencela sungguh bukan gambaran satria, pemimpin bagi orang Jawa yang memegang pitutur luhur.

Kita dapat meluhat buktinya pada perelehan suara di Jawa Tengah dan terutama di Boyolali dimana Prabowo melakukan blunder terkait ujaran "Tampang Boyolali" Jangan dikira hanya orang yang tinggal di Boyolali saja yang menjadi tidak mendukung Prabowo. 

Masyarakat Boyolali yang berdiaspira kemanapun, dan juga masyarakat Jawa yang memegang nilai nilai luhur pitutur Jawa sudah barang tentu menolak Prabowo.

Satu yang perlu disampaikan disini, banyak yang bias dengan nilai nilai luhur jawa dan kejawen terutama oleh krlompok Islam garis keras, yang melihat nilai nilai luhur Jawa seolah bukan atau bertentangan dengan Islam. Sebenarnya tidak demikian, para wali dan penyrbar islam di tanah Jawa telah membukikan berbagai term al Quran dan as Sunah dalam bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh umat dakwah (madyarakat Jawa).

Sebagai contoh, pepatah sakti "gusti Allah ora sare" (Allah tidak tidur) jelas itu adalah term al Quran yang lengkapnya "laa ta'khudzuhu sinnatu walaa naum," yakni betapa Allah selalu terjaga melakukan berbagai urusan untuk semua hambsnya dimana "Allah tidak mengantuk dan tidak tidur" (QS 2 : 255, atau dikenal sebagai ayat Kursyi). Untuk mengfambatkan kemaha agungan kuasa Allah SWT madyarakat Jawa menyebutnya dalam pepatah simpel "Gusti Allah mboten sare".

Kembali pada bahasan awal, penulis ngin mrnyampaikan, pertams jika hipotesa penulis benar, bahwa fenomena pendulangan suara pilpres 2019 terkait dengan komitmen masyarakat Jawa dalam memegang teguh pitutur luhur karakter satrio jelas hal ini sangat membahagiakan penulis, dimana ditengah gempuran berbagai konsep kepemimpinan, jati diri kepemimpinan Indonesia khususnts masyarakat Jawa, masih dipegang teguh. Hal ini sudah menjadi hal yang seharusnya. Masa masyarakat Jawa di tanah kelahirannya kalah dengan yang nun jauh disana, di Suriname.

Fenomena ini tentu harus diambil hikmahnya, dimana bagi mereka yang ingin menjadi pemimpin Indonesia harus benar benar menyadari bahwa mereka berhadapan dengan masyarakat yang memegang teguh konsep kepemimpinan adiluhung yang terus dituturkan dari generasi ke generasi. Sebaliknya agar konsep kepimimpinan adliluhung itu terus bertahan ditengah gempuran konsep kepemmpinan lain, maka upaya mewatiskan dan melestarikan nilai milai luhur itu harus tetus dalslukan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun