Dari berbagai laporan pilpres, ada hal yang menarik, dimana Jokowin mendulang banyak suara di wilayah dimana banyak orang jawa berdomisili, tetlrmasuk di lampung, bagian dari pulau Sumatra yang secara keseluruhan Prabowo unggul disana.
Banyak yang mrnyatakan karena Prabowo tegas, sesuai karakter ethnik ethnik di Sumatra. Pernyataan ini penulis nilai sebagai hal yang bias. Karena hal itu meneguhkan bahwa orang Jawa tidak menyukai ketegasan. Hal ini tentu salah besar, Bung Karno tokoh paling tegas dari presiden presiden RI yang pernah ada, tetapi Bung Karno sangat dicintai mayoritas. orang jawa.
Lantas apa yang menyebabkan mayoritas orang Jawa dimanapun memilih Jokowi ?
Senagai orang jawa penulis memahami dari pitutur orang pini sepuh bahwa Jalan untuk mencapai Kebesaran dan Kesaktian, Harus membiasakan diri bersopan-santun, Berani mengalah akan luhur pada akhirnya, Diamlah jika tengah dimarahi karena salah, Segala tindak buruk hindarilah, Segala ejekan dan hinaan jangan dihiraukan.
Pitutur itu biasa disampaikan melalui tembang mocopat, tepatnya temhang mijil sebagai berikut : "Poma kaki padha dipun eling, Ing pitutur ingong, Sira uga Satriya arane, Kudu antng jatmika ing Budi, Ruruh sarta wasis, Samubarangipun"
Yerjemahan bebas ke dalam bahasa Indonesia dari temnang mijil itu kurang lebih : Wahai saudaraku ingat-ingatlah, Akan pesanku ini, Kalian sebenarnya juga seorang Satriya (bagi tanah kelahiran kalian), Harus bisa tenang dan indah Kesadaranmu, Sopan dan cerdas, Untuk segala tingkah laku.
Masyarakat berdarah Jawa dimanapun, terus memperhatikan seluruh gerak gerik seorang pemiimpin tidak hanya ketika masa masa kampanye. Kepemimpinan Jokowi tentu saja tidak luput dari perhatian masyarakat bukan hanya usaha usaha kerasnya tetapi juga ucapan ucapannya, semua perilakunya termasuk sikap dan perilaku dalam menghadapi berbagai cobaan, cibiran, nyinyiran, hinaan dan fitnah yang ditujukan kepadanys.
Masyarakat Jawa, dapat menemukan bahwa dalam menghadapi semua itu Presiden Jokowi tetap tenang (anteng) dan mrnunjukan kesadaran yang indah (jatmika ing Budi). Masyarakat Jawa melihat dengan jelas figur satria pada diri pada diri Jokowi. Termasuk dalam kengambil tanggung jawab.
Sebagainana diuraikan oleh Jokowi pada debat ke 5, bahwa Jokowi sangat tahu banyak kekurangan atau bahkan penyelewengan yang dia temukan di berbagai bidang, namun Jokowi lebih memilih memperbaiki kondisi ketimbang menyalahkan pihak lain. Hal ini bukan berarti Jokowi permisif pada penyalahgunaan, terhadap hal hal atau oknum yang melawan hukum, jokowi tegas agar hukum yang bicara, meskipun oknum tersebut adalah pendukungnya.
Hal itu sangat kontras berbeda dengan sikap kokpetitornya, dimana kita dengan jelas dapat mentaksikan Prabowo menyalahkan presiden sebelum Jokowi. Kita juga dengan jelas menyaksikan Prabowo bersikap kasar dan emosional berkali kali. Sikap umuk dan merendahkan bahkan menghina dan mencela sungguh bukan gambaran satria, pemimpin bagi orang Jawa yang memegang pitutur luhur.
Kita dapat meluhat buktinya pada perelehan suara di Jawa Tengah dan terutama di Boyolali dimana Prabowo melakukan blunder terkait ujaran "Tampang Boyolali" Jangan dikira hanya orang yang tinggal di Boyolali saja yang menjadi tidak mendukung Prabowo.Â
Masyarakat Boyolali yang berdiaspira kemanapun, dan juga masyarakat Jawa yang memegang nilai nilai luhur pitutur Jawa sudah barang tentu menolak Prabowo.