***
Beranjak dalam usia, aku pun masuk dalam kategori dewasa ketika mulai memasuki dunia kampus. Aku harus pergi jauh merantau. Tinggal disatu kota, yang harus lintas pulau, dimana tempat aku menjadi anak kuliahan.
Liburan semester pertama, sangat menggembirakan. Rasa ingin pulang kampung bertemu orangtua pun semakin mengebu-gebu. Serasa ingin bercerita banyak pada orang-orang dikampungku. Dan, akupun menghabiskan masa liburan berada di kampung halaman.
Ada budaya kami yang istimewa; “manuk binatur” (dalam Batak Simalungun adalah ayam jantan yang sudah dimasak dengan cara tersendiri, dan setelah matang, semua organ ayam itu diatur kembali pada posisi organ sesungguhnya sehingga tampak ayam utuh).
Ini dihidangkankan kepada saya, satu hidangan yang sangat istimewa tentunya.
“Manuk binatur” sebetulnya media penghantar komunikasi dan “doa” akan satu harapan dan suka-cita yang sudah kita alami, dan berharap kembali pada masa yang akan datang.
Aku menjadi istimewa dengan suguhan itu, ditambahan hidangan yang dikasi “bumbu” hati tulus dan cinta dari ibu, kakek dan nenek. Mereka mempersiapkan semua sangat baik dalam memberangkatkan aku kembali menempuh studi.
Kakek dengan tenang duduk didepanku dan kembali melirikku, terlihat seolah ia ingin sekali mau berbicara.
“Apakah kau sudah merasa pintar?” tanya kakek.
Aku berpikir lama untuk memberikan jawaban, sehingga sementara ada suasana bisu diantara kami. “Kog aneh ya pertanyaan ini?” dalam hati.
“Bagaimana, apakah kau sudah pintar?” ulangnya lagi.