Jadi seorang Hotel Photographer itu gak gampang. Beuuuh ... Seriusan gak gampang. Banyak tantangannya. Mulai dari survey area, setup photo taking sampai proses editing. Semua dilalui dengan penuh perjuangan dan bahkan tetesan air mata batin.
Terdengar lebay? Iya sengaja. Biar agak dramatis gitu, maksudnya. Tapi akhirnya toh jadi terbiasa juga ... Pada suatu saat nanti. Ketika sudah berada di titik "itu".
Apakah perlu ikut pelatihan khusus? Akan lebih bagus, iya. Tapi saya otodidak. Tapi ya gitu itu ... trial-error-nya bejibun naudzubillah banyaknya.
Artikel kali ini saya akan nyeritain, gimana sih cara kerja saya selama bertugas. Yang perlu digaris-bawahi adalah, ini murni pengalaman pribadi saya untuk saat ini. Tiap hotel photographer pasti punya style-nya masing-masing.
Buat yang minat di foto hotel, monggo dilanjut. Kalau enggak ada ketertarikan ya ... tetep baca sampai akhir (rada maksa). Paling enggak kan bisa tau, oh hotel photographer tuh kerjanya seperti itu toh.
Di Lapangan
Hal pertama yang dilakukan ngobrol / meeting bersama pihak hotel. Unit maunya seperti apa, apakah ada permintaan khusus dsb.
Sesi selanjutnya survey area. Kita berkeliling ke seluruh tempat yang akan diambil fotonya. Mulai dari paling depan (bangunan tampak keseluruhan) hingga details (amenities, misalnya).
Pada saat keliling ini, ada beberapa hal yang paling saya perhatikan:
1. Â Â Datangnya Arah Sinar Matahari
Tiap kamar, lobby, restoran atau apapun itu kan udah pasti ada jendelanya. Nah si jendela itu menghadap ke arah mana.
Kalau Timur berarti si kamar diambil siang atau sore. Kalau Barat berarti diambil pagi hingga tengah hari. Kalau menghadap Utara atau Selatan gimana, selamat! Anda beruntung. Lebih beruntung lagi kalau gak punya jendela.
Tapi itu kasusnya jarang banget. Hanya segelintir yang seperti itu. Atau bisa juga si jendela ditutup tirai. Tapi saya sarankan jangan. Karena hal itu justru akan menimbulkan pertanyaan, di balik tirai itu ada pemandangan apa sih?
Kenapa sinar matahari perlu diamati? Karena secanggih-canggihnya lensa, udah pasti kalah sama sinar matahari. Apalagi kalau sampai diadu 'head-to-head'. Efeknya si foto akan hilang ketajamannya. Jadi keliatan berkabut. Jangankan lensa, mata kita yang SUPER canggihnya aja kalah kok. Jadi rotasi matahari adalah yang paling saya perhatikan.
Jatuhnya sinar pada sesuatu, sudah barang tentu meninggalkan bayangan pada salah satu sisinya. Naaaah ... Si bayangan itu bisa kita 'fill-in' dengan bantuan flash eksternal.
Arah 'tembak' maupun tingkat intensitas cahaya flash pun gak bisa sembarangan. Terlalu lemah hasilnya gak akan kelihatan, terlalu kencang juga jadi putih semua (blown-out).
Mungkin ada yang tanya, "Bisa gak kalau tanpa flash?". Jawabannya bisa. Tapi ... (naaaaah, bagian tapinya ini yang seru) ... Berarti kalian mesti tau jam-jam khusus. Si matahari sama bangunan 'klop' nya jam berapa.
Setau saya, celah momentum itu hanya berkisar 15 -- 30 menit. Dan untuk menemukan 'golden time' itu, sejauh yang saya tau juga, si fotografer mesti nginap (minimal) 1 minggu lamanya. Bukan untuk berleha-leha maupun mengulur waktu, tapi biar sang fotografer dapet 'feel' karakter bangunannya. Dan percaya lah ... Hanya segelintir bendera (hotel) dan orang super istimewa yang punya atau diberi 'keistimewaan' seperti itu.
Dari area itu (lobby, restoran, kamar dsb), bagian mana saja yang ada teksturnya. Apakah dinding, sofa, cover bed, karpet, lantai dan lain sebagainya. Si tekstur ini gak boleh sampai hilang. Biasanya sih lenyap karena 'ketimpa' sinar. Entah itu sinar matahari, lampu ruangan atau flash.
Dari ketiga poin di atas saya catat semua di buku saku. Detail sedetail-detailnya. Apapun itu. Mulai dari yang penting sampai hal receh sekalipun. Kesemua data-data itu akan saya pelajari lebih lanjut dan sangat berguna pada saat pengambilan gambar keesokan harinya.
-bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H