"Habis ini ke mana kita?" tanya Mas Isjet seusai acara nangkring di Swiss-Belhotel Kuta, Senin malam (3/10) kemarin. Sepersekian detik saya dan Mas WinWanNur terdiam. Berpikir secepat kilat dan mengingat-ingat tempat yang sekiranya cocok. "Gimana kalau Mie Aceh?" celetuk Mas Win cepat.
Selain saya dan Mas WinWanNur, ada teman-teman KuDeTa (Kompasianer Pulau Dewata) lain yang turut hadir. Ada Mas Agung Soni, Mas Casmudi dan seterusnya. Mbak Ferdias Bookelmann dan Ivo, putranya, ijin pulang awal karena posisi rumah yang jauh. Takut kemalaman. Apalagi keduanya naik motor, tentu amat membahayakan dan beresiko.
Rombongan KuDeTa bergerak. Bergeser menuju lokasi yang dimaksud secara beriringan. Sementara Mas Isjet dan Mas Rizky menyusul sekitar 15 menit kemudian naik mobil.
Tempat makan yang kami kunjungi bernama Mie Aceh Pondok Bangladesh. Letaknya di jalan Raya Tuban. Dekat Polsek Kuta. Di Bali, kedai ini merupakan cabang ke-3. Cabang lain ada di daerah Sesetan (Denpasar) dan Jimbaran. Adapun pusatnya di Jakarta. Ketika saya tanya pegawai, kenapa ada kata "Bangladesh"-nya, mereka tak dapat menjelaskan. "Saya enggak tau, Mas, itu udah dari bos-nya", ujar salah seorang pegawai.
[caption caption="Kedai Mie Aceh Pondok Bangladesh Tampak Depan / dap"]
Ukuran kedai tergolong cukupan. Tidak terlalu besar, tidak terlalu kecil. Berkapasitas sekitar 25'an orang. Ruangannya dilengkapi pendingin udara.
Sepertinya Mas WinWanNur sering datang ke sini. Hal itu terlihat dari keakraban yang terjalin antara Mas Win dan para pegawai. Mereka berbicara menggunakan bahasa daerah yang tak saya mengerti artinya. Maklum, Mas Win berasal dari Gayo. Wajar bila fasih berbahasa Aceh.
Kedai yang sedang mencoba buka 24 jam ini menawarkan olahan mie dan nasi goreng khas Serambi Mekkah. Ada mie Aceh biasa, tambah daging, udang, cumi, nasi goreng spesial dan komplit. Begitu pula dengan nasi gorengnya. Ada nasi goreng Aceh biasa, tambah daging, cumi, udang, spesial dan komplit. Sementara minuman lebih cenderung ke jus.
Mas Win merekomendasikan saya Mie Aceh Daging dan Jus Mentimun. Baiklah, saya pilih kombinasi menu itu. Sementara sang juru masak bekerja dan menanti hidangan tersaji di atas meja masing-masing, kami memulai obrolan.
Diskusi awal dibuka dengan saling bertanya kabar. Baik di pusat maupun daerah. Makin lama pembahasan kian berbobot. Serius namun tetap santai. Pada kesempatan itu kami membicarakan langkah-langkah apa yang bakal KuDeTa lakukan ke depannya. Tentu disertai dengan solusi jitu step by step.
Puncaknya adalah pemilihan admin komunitas. Setelah mempertimbangkan masak-masak, disepakati hasilnya. KuDeTa periode berikutnya akan dikepalai oleh Mbak Ferdias Bookelmann dan Mas Agung Soni.
Kaya Rempah
Beberapa menit berlalu pesanan saya tiba. Tapi begitu terhidang saya langsung mengangkat sebelah alis. "Wah ini ... Gawat ini," ujar saya bicara sendiri. Memandang ke arah emping melinjo berwarna kuning pucat dan terang.
Hidangan khas Aceh kaya akan bumbu dan rempah. Beraroma harum menggugah selera. Bentuk mienya agak gepeng. Kuahnya kental dengan tingkat kepedasan yang bisa diatur sesuai selera. Tekstur dagingnya pas, empuk tidak alot. Ada juga tambahan irisan tomat matang, kecambah dan kubis.
Waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa sudah tengah malam. Kantuk mulai datang menyerang. Andai besok hari libur, ah ... betapa nikmatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H