Mohon tunggu...
darwinarya
darwinarya Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer Specialized Hotels and Resorts

Travel Enthusiast. Hospitality Photography Junkie

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Secercah Jingga di Pantai Kedonganan

10 Maret 2016   19:29 Diperbarui: 19 Oktober 2016   15:44 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 [caption caption="Secercah Jingga di Pantai Kedonganan / dap"][/caption]Banyak orang bilang, kalau mau bikin hati pasanganmu klepek-klepek, ajak lah doi makan malam di pantai Jimbaran, Bali. Keindahan garis pantai diikuti suara merdu deburan ombak serta degradasi warna jingga kala senja tiba, diyakini mampu menghadirkan suasana romantis. Benarkah demikian?

“Gimana Mas Darwin? Tau jalannya?” tanya Mba Asita DK sambil berkemas, memasukkan segala ‘persenjataannya’ ke dalam tas ransel abu-abu, Selasa (9/2) sore.

“Tau, Mbak,” jawabku sekenanya tanpa menoleh. Asik menyentuh layar smartphone. Bukan maksud hati tak sopan, saya lagi buka aplikasi google maps. Cari tau rute perjalanan menuju lokasi. Nyaris lima tahun tinggal di Bali, belum pernah saya ke pantai Jimbaran. Memalukan memang.

Siapakah Asita DK? Beliau adalah mantan wartawati senior Kompas. Penulis buku travelling dan juga anggota Kompasiana. Kedatangan Mba Ita, sapaan akrabnya, ke pulau dewata ialah untuk menyelesaikan beberapa urusan. Sekaligus jalan-jalan, tentunya.

Sesampainya di daerah sana, saya bingung. Hapalan rute di kepala mulai pupus. “Ini ke kanan atau lurus ya?” gumam saya. Lantaran ada beberapa kendaraan travel yang berbelok ke kanan, jadilah saya ikut-ikutan. Mba Ita yang menangkap signal keragu-raguan saya, lantas bertanya ke salah satu juru parkir setempat. "Pak numpang tanya, Jimbaran ke arah sana ya?". Pria paruh baya berompi biru tersebut membenarkan dengan menganggukan kepalanya.

Tak berselang lama, kami tiba. Disepanjang jalan itu banyak dijumpai deretan tempat makan. Baik cafe maupun restoran. Karena kami tak punya rekomendasi, walhasil kami survey dulu. Pilih tempat yang paling ramai pengunjungnya. Mulai dari ujung sampai ujung.


Salah Lokasi

[caption caption="Sensasi Makan Malam di Tepi Pantai / photo by: Asita DK"]

[/caption]Tempat yang kami singgahi bernama Sea Side Cafe. Ada dua ruang yang ditawarkan, indoor dan outdoor. Tentu saja kami memilih nongkrong di outdoor yang letaknya di tepi pantai persis. Sesaat setelah menempati meja kosong, salah seorang waiter menghampiri kami dan menyodorkan buku menu. Tanpa buang waktu, pelayan pria itu langsung saya ‘tembak’.

[caption caption="Daftar Menu Sea Side Cafe / dap"]

[/caption]“Bli, punya kopi hitam enggak? Kopi apa yang paling keras di sini?” tanya saya bergegas. Kepala saya senut-senut gak karuan karena belum ngopi seharian. Butuh suntikan kafein segera. Pramusaji bertubuh rada gempal itu lantas menunjuk hot coffee (16k). Wih, harganya lumayan nih? Tapi tak apalah. Ketimbang nanti pulang bawa motornya sempoyongan. Setelah itu, Mba Ita ke depan. Melihat-lihat ikan segar untuk kemudian disantap.

Selagi ditinggal Mba Ita sendiri, saya mengamati suasana sekitar. Cuaca pada sore hari itu sedang kurang bersahabat. Gumpalan tebal awan berwarna kelabu tampak menghiasi langit. Berulang kali saya berdoa dalam hati, “semoga gak hujan, semoga gak hujan, jangan hujan”. Meski terlihat mengkhawatirkan, ada secuil perasaan lega karena angin berembus ke arah laut. Andai sebaliknya, ketar-ketir lah saya. Efek lain akibat mendung ialah, kami gagal menikmati keindahan matahari terbenam di ufuk barat. Atau bahasa bule-nya, sunset.

Kondisi pantainya cukup menawan hati. Hamparan pasirnya berwarna putih. Kebersihannya pun amat terjaga. Kalau toh ada kotoran, paling-paling hanyalah seonggok ranting yang terbawa arus. Pemandangan macam itu sudah lumrah, biasa terjadi. Yang ngga wajar itu, kalau ada ikan duyung terdampar. Selain itu, jumlah anjing liar yang berseliweran juga tak banyak. Tidak lebih dari hitungan lima jari.

[caption caption="Dua Orang Wisatawan Asing Menunggangi Kuda di Pesisir Pantai Kedonganan / dap"]

[/caption]Hal lain yang menarik pandangan mata saya adalah, di sekitar sana terdapat jasa sewa kuda. Menyusuri tepian pantai, tak jauh dari deburan ombak, sembari menunggangi kuda bisa jadi kepuasan tersendiri. Apalagi diiringi lagu romantic oldies. Jiwa berasa melayang ke era tahun 80’ – 90’an.

Yang tak kalah menariknya lagi, di sana juga ada penjaja jagung bakar! Mereka berjualan dengan menggunakan gerobak dorong sederhana. Bentuknya mirip tukang sate. Hanya saja, tak ada bagian atapnya. Pemandangan itu jelas agak kontras menurut saya. Satu jagung bakar dihargai Rp 10 ribu.

Di ujung sana, saya juga bisa menyaksikan pesawat tengah lepas landas maupun mendarat. Sementara pada jalur taxi holding position, terdapat antrian sejumlah pesawat dari berbagai maskapai. Menunggu jatah take-off clearance dari petugas Air Traffic Controller.

Banyak hal yang bisa dilihat di daerah ini. Jadi tidak hanya melulu pantai dan deburan ombaknya semata.

[caption caption="Cover Depan Sea Side Cafe / dap"]

[/caption]Puas merekam segala keindahan dan suasana pesisir pantai, saya kembali membuka-buka halaman menu. Kedua mata saya langsung mendelik begitu membaca keterangan pada cover bagian bawah. “Kedonganan Beach, Kuta, Bali”. Lho? Di sini bukan pantai Jimbaran?! Waduh?! Gimana nih jelasin ke Mba Ita-nya? Udah terlanjur pesan makanan juga? Dan saya memilih diam sembari cengar-cengir merasa tak enak hati.


Beli Pemandangan, Bukan Cita Rasa

[caption caption="Tiga Gadis Asal Jepang / photo by: Asita DK"]

[/caption]Tiga gadis remaja berparas Asia duduk manis di seberang meja yang kami tempati. Ketiganya terlihat kompak mengenakan busana pantai warna hitam tanpa lengan. Membiarkan bagian pundaknya terbuka. Salah satunya bahkan memakai pakaian dengan potongan cukup ‘aduhai’. Dari aksennya, besar kemungkinan mereka berasal dari negeri sakura, Jepang.

Pastilah ada setitik keinginan ikut nimbrung di meja mereka. Sekedar berkenalan dan ngobrol singkat. Namun niatan itu saya urungkan. Terpaan angin pantai secara terus-menerus membuat saya terserang flu dan bersin-bersin. Malu dong setor muka dengan kondisi hidung meler-meler? Cepat-cepat saya kenakan jaket biar kondisi tak semakin drop. Dalam hati saya membatin, “Makan apa sih mereka bisa tahan angin laut?”.

Restoran di kawasan ini tampaknya paham betul cara menata meja sehingga tampak apik. Saya menemukan adanya meja yang diatur memanjang. Kapasitasnya mungkin sekitar 50-an orang. Terdapat deretan buah kelapa yang bagian atasnya diberi sedotan. Ada juga air minum kemasan ukuran 500ml. Saya menduga, restoran itu pasti kedangan tamu dalam jumlah besar. Dan benar lah tebakan saya. Rombongan asal Taiwan datang, menempati meja panjang tersebut.

[caption caption="Meja Khusus Rombongan / dap"]

[/caption]Ada satu meja yang posisinya terpisah dari meja lain. Paling depan sendiri. Meja ini didekorasi secantik mungkin. Khusus couple gitu temanya. Wah, ini pasti tamu yang lagi berbulan madu. Bayangan saya sudah yang mesra-mesra gitu. Saling tatap-tatapan, suap-suapan, cekikikan genit gak jelas dan lain sebagainya. Namun, apa yang saya imajinasikan ternyata berbeda jauh dengan kenyataan. Sewaktu meja itu ditempati, pasangan tersebut justru asik mengutak-atik perangkat gawai masing-masing. Saling ‘mengheningkan cipta’ dengan kepala tertunduk memperhatikan layar smartphone.

Bagaimana soal cita rasa hidangan? Kali itu Mba Ita memesan sup jagung, sup ikan dan ikan bakar. Rasa sup jagungnya, menurut lidah saya, terasa biasa. Banyak tambahan air. Begitu pula dengan ikan bakarnya. Bumbunya terasa standar. Tak ada yang istimewa. Yang enak, justru terletak pada sup ikannya. Tekstur dagingnya lembut dan rasa kuahnya terasa gurih serta asin. Ada sedikit jejak rasa rempah di dalamnya.

[caption caption="Hidangan Kami Ketika Itu / dap"]

[/caption]Adapun rincian label harga, ikan dibanderol Rp 180 ribu/kg, cumi Rp 250 ribu/kg, udang Rp 400 ribu/kg dan Lobster Rp 800 ribu/kg. Nilainya cukup fantastis, memang. Mengingat area ini masuk kawasan destinasi wisata favorit. Soal rasa, sebetulnya tak jauh beda seperti rumah makan yang menyajikan hidangan seafood pada umumnya.

Antara Pantai Jimbaran dan Kedonganan sebetulnya sama. Statusnya masih 'tetanggaan'. Keduanya sama-sama memiliki keindahan pantai yang menakjubkan dan menawarkan malam malam di tepi pantai. Bagi mereka yang ingin menikmati suasana romantis, tempat ini amat rekomendasi. Yang perlu diwaspadai adalah angin lautnya yang terkadang kurang 'ramah'. Tergantung cuaca juga sih. Untuk mengantisipasinya, ada baiknya membawa jaket atau syal. Gak lucu kan, niatnya pengen bermesraan tapi habis itu kerokan di kamar hotel gara-gara masuk angin? Seperti yang telah saya utarakan sebelumnya, soal pemandangan mungkin dapet. Tapi cita rasa cenderung standar. Bahkan bisa jadi tempat makan langganan kamu jauh lebih nikmat ketimbang hidangan di sini.

 

Selamat Berwisata Kuliner ^_^

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun