[caption caption="Secercah Jingga di Pantai Kedonganan / dap"][/caption]Banyak orang bilang, kalau mau bikin hati pasanganmu klepek-klepek, ajak lah doi makan malam di pantai Jimbaran, Bali. Keindahan garis pantai diikuti suara merdu deburan ombak serta degradasi warna jingga kala senja tiba, diyakini mampu menghadirkan suasana romantis. Benarkah demikian?
“Gimana Mas Darwin? Tau jalannya?” tanya Mba Asita DK sambil berkemas, memasukkan segala ‘persenjataannya’ ke dalam tas ransel abu-abu, Selasa (9/2) sore.
“Tau, Mbak,” jawabku sekenanya tanpa menoleh. Asik menyentuh layar smartphone. Bukan maksud hati tak sopan, saya lagi buka aplikasi google maps. Cari tau rute perjalanan menuju lokasi. Nyaris lima tahun tinggal di Bali, belum pernah saya ke pantai Jimbaran. Memalukan memang.
Siapakah Asita DK? Beliau adalah mantan wartawati senior Kompas. Penulis buku travelling dan juga anggota Kompasiana. Kedatangan Mba Ita, sapaan akrabnya, ke pulau dewata ialah untuk menyelesaikan beberapa urusan. Sekaligus jalan-jalan, tentunya.
Sesampainya di daerah sana, saya bingung. Hapalan rute di kepala mulai pupus. “Ini ke kanan atau lurus ya?” gumam saya. Lantaran ada beberapa kendaraan travel yang berbelok ke kanan, jadilah saya ikut-ikutan. Mba Ita yang menangkap signal keragu-raguan saya, lantas bertanya ke salah satu juru parkir setempat. "Pak numpang tanya, Jimbaran ke arah sana ya?". Pria paruh baya berompi biru tersebut membenarkan dengan menganggukan kepalanya.
Tak berselang lama, kami tiba. Disepanjang jalan itu banyak dijumpai deretan tempat makan. Baik cafe maupun restoran. Karena kami tak punya rekomendasi, walhasil kami survey dulu. Pilih tempat yang paling ramai pengunjungnya. Mulai dari ujung sampai ujung.
Salah Lokasi
[caption caption="Sensasi Makan Malam di Tepi Pantai / photo by: Asita DK"]
[caption caption="Daftar Menu Sea Side Cafe / dap"]
Selagi ditinggal Mba Ita sendiri, saya mengamati suasana sekitar. Cuaca pada sore hari itu sedang kurang bersahabat. Gumpalan tebal awan berwarna kelabu tampak menghiasi langit. Berulang kali saya berdoa dalam hati, “semoga gak hujan, semoga gak hujan, jangan hujan”. Meski terlihat mengkhawatirkan, ada secuil perasaan lega karena angin berembus ke arah laut. Andai sebaliknya, ketar-ketir lah saya. Efek lain akibat mendung ialah, kami gagal menikmati keindahan matahari terbenam di ufuk barat. Atau bahasa bule-nya, sunset.
Kondisi pantainya cukup menawan hati. Hamparan pasirnya berwarna putih. Kebersihannya pun amat terjaga. Kalau toh ada kotoran, paling-paling hanyalah seonggok ranting yang terbawa arus. Pemandangan macam itu sudah lumrah, biasa terjadi. Yang ngga wajar itu, kalau ada ikan duyung terdampar. Selain itu, jumlah anjing liar yang berseliweran juga tak banyak. Tidak lebih dari hitungan lima jari.
[caption caption="Dua Orang Wisatawan Asing Menunggangi Kuda di Pesisir Pantai Kedonganan / dap"]
Yang tak kalah menariknya lagi, di sana juga ada penjaja jagung bakar! Mereka berjualan dengan menggunakan gerobak dorong sederhana. Bentuknya mirip tukang sate. Hanya saja, tak ada bagian atapnya. Pemandangan itu jelas agak kontras menurut saya. Satu jagung bakar dihargai Rp 10 ribu.
Di ujung sana, saya juga bisa menyaksikan pesawat tengah lepas landas maupun mendarat. Sementara pada jalur taxi holding position, terdapat antrian sejumlah pesawat dari berbagai maskapai. Menunggu jatah take-off clearance dari petugas Air Traffic Controller.
Banyak hal yang bisa dilihat di daerah ini. Jadi tidak hanya melulu pantai dan deburan ombaknya semata.
[caption caption="Cover Depan Sea Side Cafe / dap"]
Beli Pemandangan, Bukan Cita Rasa
[caption caption="Tiga Gadis Asal Jepang / photo by: Asita DK"]
Pastilah ada setitik keinginan ikut nimbrung di meja mereka. Sekedar berkenalan dan ngobrol singkat. Namun niatan itu saya urungkan. Terpaan angin pantai secara terus-menerus membuat saya terserang flu dan bersin-bersin. Malu dong setor muka dengan kondisi hidung meler-meler? Cepat-cepat saya kenakan jaket biar kondisi tak semakin drop. Dalam hati saya membatin, “Makan apa sih mereka bisa tahan angin laut?”.
Restoran di kawasan ini tampaknya paham betul cara menata meja sehingga tampak apik. Saya menemukan adanya meja yang diatur memanjang. Kapasitasnya mungkin sekitar 50-an orang. Terdapat deretan buah kelapa yang bagian atasnya diberi sedotan. Ada juga air minum kemasan ukuran 500ml. Saya menduga, restoran itu pasti kedangan tamu dalam jumlah besar. Dan benar lah tebakan saya. Rombongan asal Taiwan datang, menempati meja panjang tersebut.
[caption caption="Meja Khusus Rombongan / dap"]
Bagaimana soal cita rasa hidangan? Kali itu Mba Ita memesan sup jagung, sup ikan dan ikan bakar. Rasa sup jagungnya, menurut lidah saya, terasa biasa. Banyak tambahan air. Begitu pula dengan ikan bakarnya. Bumbunya terasa standar. Tak ada yang istimewa. Yang enak, justru terletak pada sup ikannya. Tekstur dagingnya lembut dan rasa kuahnya terasa gurih serta asin. Ada sedikit jejak rasa rempah di dalamnya.
[caption caption="Hidangan Kami Ketika Itu / dap"]
Antara Pantai Jimbaran dan Kedonganan sebetulnya sama. Statusnya masih 'tetanggaan'. Keduanya sama-sama memiliki keindahan pantai yang menakjubkan dan menawarkan malam malam di tepi pantai. Bagi mereka yang ingin menikmati suasana romantis, tempat ini amat rekomendasi. Yang perlu diwaspadai adalah angin lautnya yang terkadang kurang 'ramah'. Tergantung cuaca juga sih. Untuk mengantisipasinya, ada baiknya membawa jaket atau syal. Gak lucu kan, niatnya pengen bermesraan tapi habis itu kerokan di kamar hotel gara-gara masuk angin? Seperti yang telah saya utarakan sebelumnya, soal pemandangan mungkin dapet. Tapi cita rasa cenderung standar. Bahkan bisa jadi tempat makan langganan kamu jauh lebih nikmat ketimbang hidangan di sini.
Selamat Berwisata Kuliner ^_^
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI