Mohon tunggu...
darwinarya
darwinarya Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer Specialized Hotels and Resorts

Travel Enthusiast. Hospitality Photography Junkie

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tawan Ciptakan Alat Agar Dapat Hidup Normal

28 Januari 2016   07:57 Diperbarui: 29 Januari 2016   04:38 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sorot Mata Letih Bli Tawan / photo by: Agung Soni"][/caption]

Sejak kedatangan saya dan Mas Agung Soni di bengkel lasnya, nyaris sejam Bli Tawan masih meladeni berbagai pertanyaan dari para jurnalis. Saya agak jaga jarak, berdiri sekitar dua meter dari kerumunan. Sengaja, biar bisa menangkap seluruh kejadian demi kejadian.

Sebetulnya saya kesal. Ingin rasanya menyela diskusi dan bilang, "Mas, cukup, Mas, wawancaranya. Kasihan Bli Tawan ngga ada istirahatnya dari tadi." Saya perhatikan, ia tetap tersenyum. Bibirnya mengembang. Sesekali mereka tertawa lepas bersama-sama. Entah apa yang jadi bahan candaan, mereka memakai bahasa Bali.

"Ya saya kalau seperti ini (banyak tamu datang) gimana bisa kerja?" tiba-tiba kalimat itu terlontar begitu saja.

Memang kalimat itu tidak diucapkan dengan tegas, melainkan setengah becanda. Para wartawan mungkin kurang nangkap, tapi tidak dengan saya. Saya menerjemahkannya sebagai tanda pengusiran secara halus. Kelewat halus buat orang sekelas wartawan.

Bli Tawan bisa saja mengatakan, "Kemarin kan sudah saya jelaskan serinci mungkin sama wartawan media anu. Silahkan kalian rembukan soal cara kerja alat saya. Sekarang saya mau kerja, jadi, beri saya waktu untuk menyelesaikan pekerjaan."

Ajaib. Hal itu tidak dilakukannya sama sekali. Ia terus tersenyum ramah kepada tiap orang yang mengajaknya ngobrol. Mengulang dan terus mengulang informasi yang sama. Hari demi hari tiada henti. Ia tak ingin tamu-tamunya itu merasa kecewa. Namun, di balik senyumnya iti, saya bisa menangkap pancaran sorot mata lelah.

Terlalu berat beban hidupnya. Mulai dari menghidupi anak istri, berusaha memperoleh penghasilan sebagai tukang las, terus berbohong agar alat ciptaanya bekerja, melayani tamu-tamu yang tak kunjung usai, memberi kesempatan para praktisi mencoba alatnya, sampai dihujat orang banyak. Dibilang penipu, pembohong, hoax dan lain sebagainya. Kalau saya jadi Bli Tawan, bisa putus akal sehat saya, lantas jadi orang gila. Sungguhan! Bayangkan, seberapa besar tekanan yang ia terima dalam waktu bersamaan? Bisakah kalian menghadapi semua itu seperti Bli Tawan?

Setelah apa yang saya katakan, lewat tulisan ini, dan mungkin ada netizen pem-bully yang sedang membaca, tolong jangan hina Bli Tawan. Saya mohon. Hargai jerih payahnya. Alat itu bukan buat gaya-gayaan atau mencari sensasi, melainkan dibuat kerja. Buat cari nafkah menghidupi istri dan ketiga anaknya yang masih kecil. Masih terlampau panjang jalan hidup mereka. Jangan kalian bunuh semangatnya dengan komentar kelewat pedas. Karena itulah satu-satunya yang tersisa yang mereka miliki.

"Enak hidup seperti dulu (belum terkenal), Mas, saya orangnya gak kuat dikritik," katanya lirih sambil memandangi langit-langit.

Setelah mengatakan kalimat itu, sorot matanya jadi lemah. Kondisi psikisnya bagai habis dihajar babak belur. Lamunan singkat beberapa detik itu dibuyarkan oleh panggilan istrinya. Kalau tak salah dengar (mudah-mudahan saya tidak salah dengar), Bli Tawan dipanggil dengan sebutan, "Ayah".

"Ayah, ayo makan dulu, yah," ujar Ni Nengah Sudartini. Suaranya terdengar lembut tapi cukup tegas.

Mendengar hal itu, tanpa dikomando, saya dan Mas Agung Soni langsung pamit pulang. Tapi, sebelum undur diri, saya sempat memperhatikan alat makan yang dibawakan oleh sang istri. Bukan piring pecah belah berbahan keramik, maupun plastik. Kalian tau tempat kobokan air buat cuci tangan sehabis makan di restoran atau tempat makan? Nah, itulah yang dipakai Bli Tawan sebagai piring. Bahannya terbuat dari besi. Hanya saja ukurannya agak besar. Itupun kondisinya penyok sana-sini.

Istri Bli Tawan pintar. Dia tidak memperlihatkan menu atau makanan macam apa yang dihidangkan kepada suami tercinta. Bagian atasnya ditutup piring lain. Cukup! Jangan dibuka penutupnya. Saya tidak ingin lihat. Kisah pilu ini sudah cukup meneror saya.

Saya dan Mas Agung Soni lantas pamit. Berjalan menuju kendaraan. Dalam perjalanan pulang balik ke Denpasar, saya dan Mas Soni tak banyak bicara. Apa yang baru saja kami saksikan, terlalu pedih untuk dituangkan ke dalam tulisan.

Sampai detik ini, hingga artikel ini selesai dibuat, saya tak bisa melupakan bagaimana cara Bli Tawan tersenyum tulus kepada banyak orang. Bagaimana bahasa tubuhnya berbicara. Menghantui saya tiap malam. Tiap mengingat sosok seorang insan bernama lengkap I Wayan Sumardana. Bli Tawan orangnya polos. Asik diajak ngobrol. Kalian pasti betah berlama-lama habiskan waktu sekedar sharing bersamanya. Pembawaannya santai, tidak kaku.

Suatu hari nanti, saya akan menceritakan kisah ini kepada anak saya, "Nak, dulu, jaman Papamu muda dulu, ada seorang super hero keren asal Karangasem, Bali. Banyak orang memanggilnya, Tawan "IronMan". Dia memang tidak bisa terbang tinggi seperti Tony Stark. Tapi menurut Papa, dia luar biasa hebat. Berhati baja, pantang menyerah. Berbuat baik kepada semua orang walau banyak yang mengolok-oloknya. Kamu tau kenapa dia diejek? Karena dia terlalu pintar."

 

Netizen Gagal Paham

[caption caption="Tawan "IronMan" Bali Tengah Memberi Penjelasan Cara Kerja Alatnya Kepada Wartawan, Minggu (24/1) Siang"]

[/caption]
Gencarnya pemberitaan media diikuti berbagai pertanyaan para dosen dan pakar ahli membuat iklim jagat maya kian memanas. Berbagai komentar mengalir deras. Ada yang pro, ada pula yang kontra.

Baik Pro maupun kontra adalah hal yang wajar terjadi, tapi mengkritiknya itu jangan sampai kebablasan sampai lupa daratan. Pakai acara menghujat, mengolok-olok atau bahkan mencaci-maki lah. Apa yang kalian (netizen pem-bully) harapkan dari alat Tawan? Bisa bergerak patah-patah seperti robot canggih bikinan Honda Jepang? Seperti itukah bayangan kalian? Ya enggak lah. Imajinasi kalian ketinggian, Bro!

Ilmu rangkaiannya aja didapat dari artikel di internet, dipelajari secara otodidak, itupun Tawan ngga pernah mengenyam pendidikan lanjutan spesialis robotika atau elektronika. Hanya dikira-kira memakai ilmu dasar SMK yang dia punya. Komponennya juga berasal dari barang rongsok. Mana bisa bikin alat secanggih yang kalian bayangkan?

"Saya ini orang bodoh, Mas. Kalau ada salah atau kekurangan, tolong dibantu," katanya ketika saya dan Mas Agung Soni berkunjung ke bengkel las Tawan, Minggu (24/1) lalu, "Tolong bawakan alat itu (yang dimaksud pakar ahli) biar alat saya bekerja lebih sempurna."

Berulang kali Bli Tawan memohon, meminta tolong kepada publik, khususnya para praktisi, kalau ada masukan / solusi, tolong dibantu (pengadaan komponen). Diberi pengarahan. Itupun memintanya dengan penuh kerendahan hati. Setidaknya dia sudah berusaha sebaik mungkin. Sesempurna mungkin. Itu yang seharusnya diapresiasi. Bukan malah dihujat habis-habisan. Dibilang penipu lah, pembual lah, hoax lah, lelucon lah, palsu lah, makan uang haram lah, dsb. Seolah-olah saling berlomba, siapa paling sadis melontarkan kritik tajam menyayat hati, dialah keluar sebagai juaranya. Sesungguhnya, mata hati kalian telah dibutakan nafsu emosi sesat.

Media pun demikian, melakukan pemberitaan kelewat gencar dan bombastis. Terlalu mengumbar "kehebatan" alat bantu Tawan hingga akhirnya ekspektasi publik melambung tinggi.

"Saya tidak membenci media, saya justru senang ada yang memperhatikan saya. Tapi saya ngga suka (wartawan) yang mengutip (tidak bertanya dan datang langsung ke lapangan)," keluhnya sembari duduk jongkok. Saya dan Mas Agung Soni juga ikutan jongkok waktu itu (sampai kesemutan). Duduk berhadapan dengannya.

"Alat ini ngga ada yang canggih. Dibuat sederhana. Semua orang juga bisa bikin. Fungsinya hanya buat bantu saya kerja. Itu aja, ngga lebih," katanya sambil menyesap sebatang rokok dalam-dalam.

 

Cerdas di Bawah Garis Kemiskinan

[caption caption="Rumah Sekaligus Bengkel Las Tawan IronMan Bali"]

[/caption]
Hati kecil anda akan menjerit sejadi-jadinya, bila anda datang ke bengkel las Tawan. Setidaknya itulah yang saya dan Mas Agung Soni rasakan. Sekuat tenaga saya menahan air mata yang mulai membasahi sudut mata.

Tidak, saya tidak mengada-ada apalagi mendramatisasi keadaan. Apa yang saya tulis benar adanya. Berdasarkan pengamatan langsung. Seperti anda lihat pada foto di atas, rumah sekaligus bengkel las Tawan dibangun amat sederhana. Pagarnya berupa seng yang dijejerkan sedemikian rupa. Begitu juga dengan atapnya. Namun jumlahnya tak mencukupi sehingga terdapat celah menganga cukup lebar.

Apa yang anda lihat dari luar belum ada apa-apanya dibandingkan bagian dalamnya. Jauh lebih tragis. Anda pasti pernah berkunjung ke bengkel las pinggir jalan kan? Nah, bengkel las Tawan jauh lebih berantakan lagi. Dimana-mana barang rongsok. Ada besi batangan, besi berbentuk pipa, drum plastik, kulkas, motor bahkan sambil mobil butut sekalipun. Tentu saja bentuk motor dan mobil itu tak karuan hancurnya. Paling gampang menggambarkannya itu seperti habis terkena ledakan bom!

Untuk mendekat ke Bli Tawan dan kerumunan wartawan, saya harus menundukkan kepala. Memastikan kaki saya tidak salah injak. Selain barang rongsok, di sana, saya juga melihat adanya tumpukan botol-botol minum kemasan. Jumlahnya ada ratusan. Tingginya kira-kira sepinggang orang dewasa.

Ada pula ayam. Jumlahnya sekitar belasan. Ada yang mematuk-matuk cari makan di pinggir jalan, ditumpukan botol-botol, ada juga yang melewati saya. Selain ayam, masih ada anakan kucing. Warnanya hitam dan putih. Tubuhnya kurus kering. Kalau berjalan seperti lunglai tak ada tenaganya.

Yang paling memprihatinkan adalah ruang pribadi. Jangan dikira luasnya mencukupi untuk menampung Bli Tawan, istri dan ketiga anaknya. Saya perkirakan luasnya sekitar 6 meter (panjang) x 4 meter (lebar). Lantainya dari tanah. Kalau tidur, hanya dilapisi karton. Sesederhana itu.

[caption caption="Beginilah Kondisi Ruang Istirahat Bli Tawan"]

[/caption]

Ironisnya lagi, di ruang pribadi itu, juga ada keran air. Jaraknya dengan karton tidur hanya sekitar 10 cm. Saya kedapatan melihat seorang pengunjung yang cuci tangan di situ. Itupun istri Tawan harus bergeser pindah lebih dulu.

Selagi melakukan pengamatan, tiba-tiba seekor ayam naik ke bagian atas perabot, dekat televisi (entah berfungsi atau tidak). Ayam itu kemudian turun dan berjalan di dekat kaki anaknya Bli Tawan yang sedang tertidur pulas. Sementara, beberapa detik kemudian, giliran si kucing berjalan santai melewati kepala anaknya. Tadinya saya ragu, masa iya sih itu dipakai tidur? Mungkin itu ruang "tamu", pikir saya.

"Bli, kalau tidur di mana?" tanya saya.

"Itu, di situ," katanya sambil menunjuk enteng, "Kemarin-kemarin di belakang (tumpukan botol yang menggunung), tapi sekarang udah pindah ke situ."

Ternyata, memang di sanalah mereka beristirahat. Bagaimana hati saya tidak teriris pilu, coba? Siang kepanasan, malam kedinginan, hujan ya kehujanan. Demi menghidupi anak istri, semua dijalani Bli Tawan dengan tabah. Berharap, kondisi serba prihatin seperti sekarang lekas berlalu. Setidaknya ... Paling tidak, bisa memberikan penghidupan yang lebih manusiawi. Meski begitu, dari kondisi serba prihatin itulah, alat bantu Tawan tercipta. Dengan segala kekurangan beserta keterbatasannya.

 

Dari awal, Bli Tawan (31) tak mau terkenal. Ia hanya ingin bekerja, hidup normal, seperti orang kebanyakan. Mencari nafkah demi menghidupi istri dan ketiga anaknya yang masih kecil.

Sebagai tulang punggung keluarga, ia sadar betul bahwa ia harus lekas bangkit. Tanpa mengharapkan belas kasih orang.

Tangan kirinya memang lumpuh, tapi ia masih dikaruniai daya pikir yang cemerlang.

Berbekal ilmu elektronika yang didapat di bangku SMK, dipadu informasi yang berserakan di internet (artikel berbahasa Indonesia), ia mencari tau, bagaimana cara terbebas dari kekurangan fisiknya.

Maka dibuat lah alat bantu khusus yang ia rancang sendiri. Tentu saja dengan komponen ala kadarnya, yakni dari barang rongsok.

Usahanya tidak langsung berhasil. Perlu penyesuaian sana-sini. Mulai dari memakai saklar sentuh sampai bluetooth.

Selama eksperimen, ia dibantu istrinya, Ni Nengah Sudartini (29).

Akhirnya alat bantu rakitannya berfungsi. Ia menggunakan rangkaian lie detector. Menurutnya, rangkaian tersebut paling cocok diterapkan pada alatnya.

Sejak itulah, lengan kiri Tawan jadi lebih bertenaga dan produktif bekerja.

Tawan "Iron Man", begitulah warga sekitar menjulukinya.

Alat penemuan Tawan, ternyata menarik perhatian media. Dimuatlah artikel tentang dirinya. Jagat maya pun gempar.

Mendadak Tawan terkenal. Alat bantu kerja miliknya jadi pembicaraan banyak kalangan. Tidak hanya netizen yang dibuat terbelalak, melainkan juga para dosen, pakar ahli, pejabat daerah sampai menteri.

 

Catatan Khusus:
*. Artikel ini saya persembahkan kepada I Wayan Sumardana alias Sutawan alias Tawan "IronMan" yang tinggal di Banjar Tauman, Desa Nyuhtebel, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali.

Terima kasih atas segala pelajaran hidup yang Bli tunjukkan. Setidaknya sejauh pengamatan saya selama berada di sana.

Semoga artikel ini bisa membuka mata hati banyak orang. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun