Secara etimologi, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani. Secara harfiah dibaca philosophia. Terdiri dari kata 'philen' yang berarti 'cinta' atau 'mengejar' dan 'sophia' yang bermakna kebijaksanaan atau pengetahuan. [1] Maka 'philosophy' bermakna cinta kebijaksanaan atau mengejar pengetahuan. [2]
Secara terminologi, menurut bahasa Inggris disebut "Philosophy" yang memiliki arti cinta kepada kebijaksanaan yang mengarahkan pada pencariannya atau pengetahuan tentang prinsip-prinsip elemen umum, kekuasaan, sebab dan hukum yang dipakai sebagai menjelaskan fakta dan keberadaan. (the love of wisdom as leading to the search for it; knowledge of general pronciples-element, powers, pr causes and laws- as explaining fact and existence). [3] Adapun dalam KBBI, filsafat memiliki makna sebuah pengetahuan yang menyelidiki dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukum-hukumnya, atau teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan atau ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi. [4] Adapun Bertrand Russel dalam bukunya "The History of Western Philosophy" menyatakan bahwa filsafat itu pertengahan atau titik pertemuan antara teologi dan sains.
"Philosophy, as I shall understand the word, is something intermediate between theology and science. Like theology, it consists of speculations on matters as to which definite knowledge has, so far, been unascertainable; but like science, it appeals to human reason rather than to authority, whether that of tradition or that of revelation. All definite knowledge--so I should contend-belongs to science; all dogma as to what surpasses definite knowledge belongs to theology. But between theology and science there is a No Man's Land, exposed to attack from both sides; this No Man's Land is philosophy"[5]
Sejarah Filsafat adalah salah satu subbidang sentral tradisional dari filsafat yang mungkin dianggap sebagai cabang dari disiplin sejarah daripada filsafat, yang dikenal lebih membahas kepada sejarah ilmu pengetahuan dan bukan cabang ilmu pengetahuan itu sendiri. Sejarah filsafat meneliti para filsuf besar, pengaruh satu filsuf terhadap yang lain.
Seperti bagaimana pengaruh pemikiran Aristoteles dalam pemikirannya Aquinas, Husserl pada Heidegger, atau Frege dalam pemikirannya Russell. Selain itu juga membahas seluruh periode dalam pengembangan filsafat, seperti: Zaman Kuno; Abad Pertengahan; Era Modern; Abad ke-19; dan periode Abad ke-20 sampai sekarang Abad ke 21 ini. Jadi, pembahasannya dalam kajian sejarah filsafat adalah berusaha untuk memahami tokoh-tokoh besar, pengaruhnya terhadap orang lain, dan pentingnya mereka untuk isu-isu abadi dan kontemporer. [6]
Filsafat Islam merupakan hasil pemikiran seseorang pemikir mengenai ketuhanan, kenabian, kemanusiaan, alam, realitas ontologi, pandangan tentang hakikat ruang, waktu, dan materi. Selain itu berkembang juga dalam ilmu kalam, usul fiqh, dan tasawuf yang berasaskan ajaran Islam sebagai bentuk alur pemikiran yang logis dan sistematis.
Filsafat Islam berupaya memadukan antara wahyu dengan akal, serta untuk menjelaskan bahwa wahyu tidak bertentangan dengan akal manusia. Beberapa pendapat mengatakan bahwa filsafat Islam adalah pemikiran yang lahir dari dunia Islam untuk menjawab tantangan zaman yang berkaitan dengan Allah dan alam semesta, wahyu dan akal, agama dan filsafat. Selain itu juga dianggap sebagai pembahasan tentang alam dan manusia yang tersinari ajaran Islam. [7]
Baca juga: Filsafat Islam
Oliver Leaman menjelaskan bahwa sejarah filsafat Islam yang asli tidak harus dipengaruhi filsafat Yunani. Hal ini karena menurutnya, sebelum mengenal filsafat dari Yunani, para cendekiawan Muslim sudah mengenal ilmu yang menggunakan akal pikiran dalam menarik sebuah hukum (yang dimaksud adalah istimbat hukum fikih dan usul fiqh).
Menurutnya metode takwil dan qiyas, merupakan aktifitas filsafat. Maka, seorang orientalis asal Universitas Kentucky USA ini menerangkan bahwa jika menganggap filsafat Islam bermula dari proses penerjemahan teks-teks Yunani atau hanya nukilan dari filsafat Aristoteles atau Neo-Platonis adalah kesalahan besar. Sejarah keaslian filsafat Islam tidak seperti yang dijelaskan Ernest Renan (1823-1893 M) dan Pierre Duhem (1861-1916 M). [8]
Seyyed Hossein Nasr, menjelaskan filsafat Islam adalah pergumulan aktivitas pencarian hikmah dalam tradisi intelektual Islam. Kemudian, ketika mereka bertemu filsafat Yunani, mereka menggabungkan dan menyesuaikan untuk mendefinisikan filsafat Islam menurut pemikir Islam. Ada 6 poin, diantaranya: 1) Philosophy (al-falsafah) is the knowledge of all existing things qua existents 2) Philosophy is knowledge of divine and human matters 3) Philosophy is taking refuge in death, that is, love of death 4) Philosophy is becoming God-like to the extent of human ability 5) It [philosophy] is the art of arts and the science (Him) of sciences. 6) Philosophy is predilection for ikmah. [9]
Adapun tentang filsafat yang original, Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya yang berjudul "Islamic Philosophy from its Origin to the Present", mengatakan bahwa filsafat Islam yang murni lahir dari pengajaran al-Qur'an:
"Islamic philosophy was born of philosophycal speculation on the heritage of Greco-Alexandrian philosophy, which was made available in Arabic in the third/ninth century, by Muslims who were immersed in the teaching of the Quran and lived in a universe in which revelation was a central reality." [10]
Baca juga: Tokoh-Tokoh Filsafat Islam dan Pemikirannya
Di sisi lain, keberadaan filsafat Islam memilik pro dan kontra. Filsafat islam jika ditinjau dari sejarah, adalah sebuah warisan tradisi intelektual Islam. Namun tidak sedikit yang antipati terhadap filsafat. Hal ini karena filsafat dianggap sebagai ‘barang impor’ yang mengandung unsur-unsur ateisme, sekularisme, relativisme, pluralisme, dan liberalisme.
Jika demikian, maka filsafat disepakati untuk ditolak para Ulama. Adapun yang tidak menolak filsafat, berusaha menghilangkan unsur sesat itu dan mendefinikan filsafat adalah sikap mental, proses nalar dan kearifan.[11] Ada juga yang mengartikan filsafat Islam adalah sikap dan ilmu berbasis ajaran Islam dalam menyelesaikan masalah pemikiran untuk mempertahankan akidah karena ulah filsafat Yunani.
Budaya untuk mempertanyakan hakikat apa yang ada disekitar dengan menggunakan akal (sebagaimana sama yang dilakukan oleh filosof), adalah budaya yang juga dimiliki Islam yang diajarkan dalam al-Qur’an. Al-Qur'an berbicara tentang pentingnya berpikir secara luas, yang menyebutkan ratusan kali istilah-istilah seperti: Pertimbangkan (Yāqilun), pahami (yafqahun), pelajari kebijaksanaan (yataffakarun), lihat (yanzurun), tinjauan ke depan (yubsirun), renungkan (yātsarir), renungkan (yātabirun), berspekulasi (yatadabbarun), merenungkan (yāmalun). Dalam hal lain digunakan frasa seperti: uli al-albab, uli al-absār, atau uli nahī untuk menarik perhatian pada fungsi pikiran. [12]
Sebenarnya budaya berfikir Islam yang sering disebut filsafat Islam itu adalah sesuatu sistem berfikir yang memiliki perbedaan dengan filsafat Yunani. Dikarenakan budaya bertanya kritis (filsafat) dikenal terlebih dahulu dalam budaya Yunani, maka budaya berfikir kritis yang dibawa peradaban Islam setelah Nabi Muhammad karena mendapatkan wahyu al-Qur'an, orang menyebutnya itu sebagai filsafat juga. Jadi, Islam sejatinya tidak mengajarkan filsafat seperti filsafat yunani, namun mengajarkan cara berfikir kritis dan mengajarkan hikmah, yang berpusat pada keimanan kepada Tuhan yang satu. []
Catatan Kaki:
[0] Gambar Ilustrasi: 'The Philosopher' karya Pelukis Orientalis Ludwig Deutch 1905
[1] The Meaning and Scope of Philosophy, https://shodhganga.inflibnet.ac.in/bitstream/10603 /116523/9/09_chapter%201.pdf, Diakses pada tanggal 23 September 2019.
[2] Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy, (UK: Oxford University Press).
[3] Smith SS, The New International Webster's Comprehensive Dictionary of the English Language, (Florida: Triden Press International, 1996), hlm 494.
[4] KBBI Edisi ke-4. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. p. 392
[5] Lihat Bertrand Russel, A History Of Western Philosophy; And Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day, (New York: Simon And Schuster, 1945), hlm xiii.
[6]Donald M. Borchert, Ecyclopedia of Philosophy Vol 7, (USA: Thomson Gale, 2006), hlm 325-327.
[7] Asep Sulaiman, Mengenal Filsafat Islam, (Bandung: Yrama Widya, 2016) hlm 4.
[8] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam-terj M. Amin Abdullah, (Jakarta: Rajawali, 1989), hlm 8.
[9] Seyyed Hossein Nasr, "The Meaning and Concept of Philosophy in Islam", dalam Seyyed Hossein Nasr (ed.) dan Oliver Leaman (ed.), Routledge History of World Philosphies Volume 1 History of Islamic Philosophy (London dan New York: Routledge, 1996) hlm 57-59.
[10] Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from its Origin to the Prensen; Philosophy in the land of Propechy, (US: State University of New York Press, 2006), hlm 108.
[11] Syamsuddin Arif dan Dinar Dewi Kania, “Filsafat Islam dan Tradisi Keilmuan Islam”, dalam Adian Husaini (ed.), Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2013), hlm 18.
[12] Sophy Rayan, “Islamic Philosophy of Education”, International Journal of Humanities and Social Science, Vol. 2, No. 19, 2012, hlm 152.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H