Baca juga: Filsafat Islam
Oliver Leaman menjelaskan bahwa sejarah filsafat Islam yang asli tidak harus dipengaruhi filsafat Yunani. Hal ini karena menurutnya, sebelum mengenal filsafat dari Yunani, para cendekiawan Muslim sudah mengenal ilmu yang menggunakan akal pikiran dalam menarik sebuah hukum (yang dimaksud adalah istimbat hukum fikih dan usul fiqh).
Menurutnya metode takwil dan qiyas, merupakan aktifitas filsafat. Maka, seorang orientalis asal Universitas Kentucky USA ini menerangkan bahwa jika menganggap filsafat Islam bermula dari proses penerjemahan teks-teks Yunani atau hanya nukilan dari filsafat Aristoteles atau Neo-Platonis adalah kesalahan besar. Sejarah keaslian filsafat Islam tidak seperti yang dijelaskan Ernest Renan (1823-1893 M) dan Pierre Duhem (1861-1916 M). [8]
Seyyed Hossein Nasr, menjelaskan filsafat Islam adalah pergumulan aktivitas pencarian hikmah dalam tradisi intelektual Islam. Kemudian, ketika mereka bertemu filsafat Yunani, mereka menggabungkan dan menyesuaikan untuk mendefinisikan filsafat Islam menurut pemikir Islam. Ada 6 poin, diantaranya: 1) Philosophy (al-falsafah) is the knowledge of all existing things qua existents 2) Philosophy is knowledge of divine and human matters 3) Philosophy is taking refuge in death, that is, love of death 4) Philosophy is becoming God-like to the extent of human ability 5) It [philosophy] is the art of arts and the science (Him) of sciences. 6) Philosophy is predilection for ikmah. [9]
Adapun tentang filsafat yang original, Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya yang berjudul "Islamic Philosophy from its Origin to the Present", mengatakan bahwa filsafat Islam yang murni lahir dari pengajaran al-Qur'an:
"Islamic philosophy was born of philosophycal speculation on the heritage of Greco-Alexandrian philosophy, which was made available in Arabic in the third/ninth century, by Muslims who were immersed in the teaching of the Quran and lived in a universe in which revelation was a central reality." [10]
Baca juga: Tokoh-Tokoh Filsafat Islam dan Pemikirannya
Di sisi lain, keberadaan filsafat Islam memilik pro dan kontra. Filsafat islam jika ditinjau dari sejarah, adalah sebuah warisan tradisi intelektual Islam. Namun tidak sedikit yang antipati terhadap filsafat. Hal ini karena filsafat dianggap sebagai ‘barang impor’ yang mengandung unsur-unsur ateisme, sekularisme, relativisme, pluralisme, dan liberalisme.
Jika demikian, maka filsafat disepakati untuk ditolak para Ulama. Adapun yang tidak menolak filsafat, berusaha menghilangkan unsur sesat itu dan mendefinikan filsafat adalah sikap mental, proses nalar dan kearifan.[11] Ada juga yang mengartikan filsafat Islam adalah sikap dan ilmu berbasis ajaran Islam dalam menyelesaikan masalah pemikiran untuk mempertahankan akidah karena ulah filsafat Yunani.
Budaya untuk mempertanyakan hakikat apa yang ada disekitar dengan menggunakan akal (sebagaimana sama yang dilakukan oleh filosof), adalah budaya yang juga dimiliki Islam yang diajarkan dalam al-Qur’an. Al-Qur'an berbicara tentang pentingnya berpikir secara luas, yang menyebutkan ratusan kali istilah-istilah seperti: Pertimbangkan (Yāqilun), pahami (yafqahun), pelajari kebijaksanaan (yataffakarun), lihat (yanzurun), tinjauan ke depan (yubsirun), renungkan (yātsarir), renungkan (yātabirun), berspekulasi (yatadabbarun), merenungkan (yāmalun). Dalam hal lain digunakan frasa seperti: uli al-albab, uli al-absār, atau uli nahī untuk menarik perhatian pada fungsi pikiran. [12]
Sebenarnya budaya berfikir Islam yang sering disebut filsafat Islam itu adalah sesuatu sistem berfikir yang memiliki perbedaan dengan filsafat Yunani. Dikarenakan budaya bertanya kritis (filsafat) dikenal terlebih dahulu dalam budaya Yunani, maka budaya berfikir kritis yang dibawa peradaban Islam setelah Nabi Muhammad karena mendapatkan wahyu al-Qur'an, orang menyebutnya itu sebagai filsafat juga. Jadi, Islam sejatinya tidak mengajarkan filsafat seperti filsafat yunani, namun mengajarkan cara berfikir kritis dan mengajarkan hikmah, yang berpusat pada keimanan kepada Tuhan yang satu. []