Mohon tunggu...
Darul Azis
Darul Azis Mohon Tunggu... Administrasi - Wirausahawan

Wirausahawan yang terkadang menulis

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Tumbuh dan Menguat Bersama di Diskominfo "Coworking Space" Jogja

19 September 2018   18:51 Diperbarui: 19 September 2018   20:08 1323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fasilitas DCS: Musala, toilet ramah difabel, ruang kelas ramah difabel, dan jaringan internet yang kenceng [Ilustrasi: Darul Azis]

Jarum jam tangan masih menunjukkan pukul 09.12 WIB ketika saya tiba di kantor Dinas Kominfo DIY pada Rabu (19/09). Suasana luar kantor, yang menjadi ujung tombak pemerintahan DIY di bidang komunikasi dan informatika ini, tampak lengang dari aktivitas pegawai maupun pengunjung. Hanya ada satpam yang berjaga-jaga di pos dan deru mesin kendaraan di jalan raya.

Selepas memarkirkan motor, saya berjalan kembali ke arah gerbang gedung dan mengamati suasana kantor dari depan dengan lebih saksama dari sana. Sinar matahari pagi tadi belum terasa menyengat, sehingga saya bisa agak berlama-lama. Lalu pandangan saya tertuju pada papan nama dari alumunium yang terpasang di sisi kanan kantor.

"DCS, Diskominfo Co working Space"

Inilah rupanya ruang kerja bersama itu, saya membatin. Tujuan kedatangan saya kali ini memang untuk menyurvei Diskominfo Coworking Space (DCS) Jogja yang baru diresmikan pada 24 Agustus 2018 lalu. Tentang rencana pembangunan DCS ini, sebetulnya sudah tidak asing lagi di telinga saya, karena Kepala Diskominfo, Pak Rony, maupun Kabid Inforkom Dikominfo, Pak Bayu, sudah sering mengutarakannya dalam setiap pertemuan dengan para pegiat digital di Jogja. 

Saya kemudian melangkahkan kaki menuju ruang outdoor. Di area ini ada seorang yang tampak sedang memainkan laptop. Saya mengajaknya berkenalan. Mas Priyo namanya, beliau adalah seorang konsultan pertambangan.

Mas Priyo sedang menyelesaikan pekerjaannya [Dok. Pri]
Mas Priyo sedang menyelesaikan pekerjaannya [Dok. Pri]
Sudah dua tahun ini ia sering bolak-balik ke kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu yang berada di belakang kantor Diskominfo. Sambil menunggu temannya, ia pun nyambi menyelesaikan pembuatan peta di laptopnya.

"Dengan adanya tempat ini, jadi enak. Saya janjian dengan teman bisa di sini. Di sini juga ada colokan dan kursinya, cukup mempermudah pekerjaan saya Mas, biasanya saya harus bolak-balik ke warnet." ujar Mas Priyo ketika saya minta tanggapannya tentang DCS.

Mas Priyo juga mengatakan, secara konsep, tempat ini cukup representatif. Oleh karena itu, ia pun turut mengapresiasi dibangunnya DCS. Namun ke depan, menurutnya perlu ada tambahan kursi karena saat ini jumlahnya masih terbilang kurang dan mengingat kemungkinan tempat ini akan ramai dikunjungi. Tak lama kemudian, teman Mas Priyo datang. Lalu mereka berbincang hangat di kursi yang telah tersedia. Sepertinya mereka memperbincangkan pekerjaan.

Kursi yang nyaman di area luar ruang DCS Jogja [Dok. pribadi]
Kursi yang nyaman di area luar ruang DCS Jogja [Dok. pribadi]
Selepas berbincang dengan Mas Priyo, saya memasuki ruang kreatif (creative space). Di ruangan ini, terdapat meja informasi dan di sanalah pengunjung harus melakukan pendaftaran. Di ruangan ini pula, terdapat ruang studio mini berukuran 3 x 4 meter, serta ruang kerja yang cukup luas serta dilengkapi dengan PC merk Dell Intel Core i5 generasi ke-8 yang bisa digunakan oleh pengunjung. 

(Kelak, saya menggunakan salah satu komputer tersebut untuk menyusun tulisan ini, tentu dengan memanfaatkan jaringan wifi yang ternyata kecepatannya sangat tinggi.)

Ruang kreatif DCS Jogja, dilengkapi fasilitas komputer, AC, dan studio mini [Dok. pribadi]
Ruang kreatif DCS Jogja, dilengkapi fasilitas komputer, AC, dan studio mini [Dok. pribadi]
Saya kemudian berbincang dengan pegawai perempuan Dinas Kominfo yang bertugas untuk menjaga ruangan ini, Mbak April namanya. Mbak April kemudian mengajak saya berkeliling untuk melihat-lihat fasilitas yang ada, seperti ruang kelas yang terintegrasi dengan perpustakaan.

Ruang kelas/rapat DCS, berkapasitas 20 orang [Dok. pribadi]
Ruang kelas/rapat DCS, berkapasitas 20 orang [Dok. pribadi]

"Di sini tidak bayar, tidak seperti Co working Space lain. Selain itu, konsep tempat ini juga lebih ramah difabel," ujarnya.

Menurut keterangannya, untuk pemakaian area luar dan ruang kelas, dapat mengajukan proposal dulu 14 hari sebelum pelaksanaan acara. Agar dapat diatur jadwalnya sehingga tidak berbenturan dengan aktivitas lain.

Koleksi buku bacaan dan referensi di DCS Jogja [Dok. pribadi]
Koleksi buku bacaan dan referensi di DCS Jogja [Dok. pribadi]
DCS beroperasi pada hari kerja, yakni Senin hingga Jumat. Pada hari Senin, tempat ini dibuka dari jam 08.30 hingga pukul 16.00, sedangkan pada hari Jumat dari pukul 14.30. Namun untuk area outdoor, Mbak April mengatakan, masih bisa digunakan.

"Insya allah ke depan sampai malam," jawab Mbak April ketika saya singgung soal kemungkinan penambahan jam operasional mengingat biasanya mahasiswa dan siswa yang baru punya waktu pada malam hari. 

Hal ini juga senada dengan apa yang menjadi kebutuhan Evan Kasidi, desainer website asal Jakarta yang sudah seminggu ini rutin berkunjung ke DCS.

"Tempatnya enak dan nyaman. Gratis lagi. Saya sudah coba tempat lain kan bayar atau minimal beli minuman. Tapi sayangnya di sini tidak bisa sampai malam, walaupun bisa di luar, tapi banyak nyamuk. Jadi saya lanjutkan pekerjaan di penginapan saja." terang Evan.

Saya dan Mas Evan Kasidi di DCS [Dokumen pribadi]
Saya dan Mas Evan Kasidi di DCS [Dokumen pribadi]
Ruang Srawung yang Inklusif

Kehadiran DCS ini, tentu akan masuk sebagai daftar tempat yang direkomendasikan apabila saya dan teman-teman komunitas serta kampus akan mengadakan acara. Buat Anda yang ingin mengadakan acara di sini juga bisa karena DCS bisa diakses siapa pun. 

Tempat ini, juga dekat dengan tempat saya ngekos, jaraknya cuma sak uncalan watu dari Gedongkiwo tempat saya ngekos, sehingga bisa menjadi tempat alternatif bagi saya untuk menggarap tesis, selain perpustakaan kampus dan perpustakaan daerah.

Menariknya, konsep pembangunan DCS ini pun juga sudah melibatkan berbagai kalangan masyarakat. Hal ini saya ketahui setelah bertemu dengan salah satu pihak yang turut serta merumuskan rencana pembangunan DCS ini. 

(Visualisasi tentang aksebilitas DCS bisa dilihat pada video di bawah ini.)


Ya, saya beruntung karena pada kesempatan ini dapat bertemu dengan Pak Dodi dari Komunitas Jogja Beda. Jogja Beda merupakan komunitas yang aktif mendorong inklusivitas di DIY.

"Kami salah satu yang sejak awal mendorong agar DCS dibangun dengan memperhatikan konsep inklusivitas. Karena kan banyak Co working Space tapi aksesbilitasnya kurang, malah bahkan tidak ada sama sekali. Alhamdulillah Diskominfo memfasilitasi diskusi-diskusi dengan kami dari awal, FGD, dan konsultasi lay out DCS. Sampai akhirnya terwujud seperti ini." jelasnya.

Pak Dodi mengakui, DCS saat ini memang belum 100 persen ideal. Namun dirinya yakin, DCS di masa yang akan datang akan terus mengarah ke sana.

"Ini saya kira sudah mewujudkan komitmen di awal dan sudah lebih dari 50 terwujudnya. Tinggal nanti bagaimana ke depan ada penambahan-penambahan. Jadi ada progesnya. Entah dari sisi kegiatannya, aksesbilitas fisik atau nonfisiknya. Itu nanti kan bisa didiskusikan bersama, yang penting upaya ke arah sana selalu terpelihara." kata Pak Dodi. 

Pak Dodi kemudian mengambil contoh desain bangunan kamar mandi DCS yang sudah dapat diakses dengan oleh difabel. Di Jogja, menurut Pak Dodi, baru DCSlah yang menerapkan hal ini.

Ia juga mengatakan, kebutuhan mendasar teman-teman difabel adalah fasilitas, agar mereka dapat mandiri, maka harus difasilitasi dalam rangka menuju kemandirian mereka. Bukan dianak emaskan. Sehingga nanti efek positifnya akan terbangun pada diri difabel.

"PR-nya bagaimana teman-teman difabel dapat mengakses Co working Space ini. Selain itu DCS ini juga dapat menjadi ruang komunikasi antarsemua. DCS juga harus nyambungke antarkomunitas, untuk kemudian bisa berjejaring. Misalnya ada teman-teman lain yang ingin belajar bahasa isyarat dan lain sebagainya." jelasnya.

Pembangunan DCS yang mengutamakan keinklusifan dan aksesbilitas pada dasarnya memang sudah menjadi amanat Perda DIY Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas. 

Dalam Perda tersebut dikatakan, pemerintah DIY berkewajiban mewujudkan dan memfasilitasi terwujudnya aksesibilitas penggunaan fasilitas umum bagi penyadang disabilitas. Fasilitas umum tersebut meliputi bangunan umum dan sarananya, jalan umum, dan angkutan umum.

DCS Jogja: ruang kreatif yang aksesbilitas, inklusif, guyub, produktif, berjejaring untuk membentuk ekosistem digital yang baik di Jogja [Ilustrasi: Darul Azis]
DCS Jogja: ruang kreatif yang aksesbilitas, inklusif, guyub, produktif, berjejaring untuk membentuk ekosistem digital yang baik di Jogja [Ilustrasi: Darul Azis]
Untuk bangunan, harus memenuhi prinsip kemudahan, keamanan/keselamatan, kenyamanan, kesehatan, dan kemandirian dalam hal menuju, mencapai, memasuki dan memanfaatkan fasilitas yang dibutuhkan. Oleh karena itu, inklusivitas dan aksesbilitas DIY selain sebagai sebuah konsekuensi hukum, juga membuktikan komitmen yang tinggi dari Pemda DIY untuk terus mewujudkannya. 

Fasilitas DCS: Musala, toilet ramah difabel, ruang kelas ramah difabel, dan jaringan internet yang kenceng [Ilustrasi: Darul Azis]
Fasilitas DCS: Musala, toilet ramah difabel, ruang kelas ramah difabel, dan jaringan internet yang kenceng [Ilustrasi: Darul Azis]
Ada pernyataan yang menarik dari Pak Dodi yang melekat dalam ingatan saya terkait dengan inklusivitas dan aksesbilitas ini. Beliau mengatakan, yang terpenting adalah progresnya. Yang penting adalah kita terus mengarah ke sana. Inklusivitas dan aksesbilitas memang tidak bisa diterapkan sekaligus, melainkan dilakukan secara terus-menerus, sedikit demi sedikit. Inklusivitas dan aksesbilitas juga harus menjadi perhatian semua orang, bukan cuma pemerintah atau penyandang difabel.

Berswafoto dengan Pak Dodi dan rekannya di panggung DCS [dok.pri]
Berswafoto dengan Pak Dodi dan rekannya di panggung DCS [dok.pri]
Ruang Tumbuh Bersama

"Kekuatan Jogja adalah kebersamaan", ujar GKR Hayu mengutip pernyataan Ngarso Dalem, saat peresmian DCS 24 Agustus 2018 lalu. Ngarsa Dalem benar. Memang, eksistensi Jogja selama ini ditopang oleh kebersamaan, keguyuban, dan gotong royong. Tengoklah misalnya, upacara adat dan keagamaan di Jogja, pasti selalu melibatkan orang banyak. 

Selain itu, selama ini, Jogja selalu dikenal sebagai daerah yang penduduknya sangat beragam. Di dalamnya ada masyarakat dari berbagai kalangan, lintas agama, lintas budaya, lintas pekerjaan, lintas usia, lintas hobi, maupun lintas kemampuan. Dengan kondisi tersebut, tentu Jogja harus mewadahi semuanya.

Kehadiran GCS, tampaknya berusaha menjadi wadah kebersamaan itu sehingga mampu menciptakan ekosistem digital yang baik dan kondusif serta produktif di Jogja.

Keistimewaan Jogja akan tercermin salah satunya dari kemampuannya dalam mewadahi semua itu, melalui Diskominfo Coworking Space (DCS) Jogja.

[Tulisan ini diikutsertakan dalam kompetisi Pagelaran TIK yang diselenggarakan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika DIY]

Diskominfo Coworking Space Jogja, 19 September 2018

Darul Azis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun