Jarum jam tangan masih menunjukkan pukul 09.12 WIB ketika saya tiba di kantor Dinas Kominfo DIY pada Rabu (19/09). Suasana luar kantor, yang menjadi ujung tombak pemerintahan DIY di bidang komunikasi dan informatika ini, tampak lengang dari aktivitas pegawai maupun pengunjung. Hanya ada satpam yang berjaga-jaga di pos dan deru mesin kendaraan di jalan raya.
Selepas memarkirkan motor, saya berjalan kembali ke arah gerbang gedung dan mengamati suasana kantor dari depan dengan lebih saksama dari sana. Sinar matahari pagi tadi belum terasa menyengat, sehingga saya bisa agak berlama-lama. Lalu pandangan saya tertuju pada papan nama dari alumunium yang terpasang di sisi kanan kantor.
"DCS, Diskominfo Co working Space"
Inilah rupanya ruang kerja bersama itu, saya membatin. Tujuan kedatangan saya kali ini memang untuk menyurvei Diskominfo Coworking Space (DCS) Jogja yang baru diresmikan pada 24 Agustus 2018 lalu. Tentang rencana pembangunan DCS ini, sebetulnya sudah tidak asing lagi di telinga saya, karena Kepala Diskominfo, Pak Rony, maupun Kabid Inforkom Dikominfo, Pak Bayu, sudah sering mengutarakannya dalam setiap pertemuan dengan para pegiat digital di Jogja.Â
Saya kemudian melangkahkan kaki menuju ruang outdoor. Di area ini ada seorang yang tampak sedang memainkan laptop. Saya mengajaknya berkenalan. Mas Priyo namanya, beliau adalah seorang konsultan pertambangan.
"Dengan adanya tempat ini, jadi enak. Saya janjian dengan teman bisa di sini. Di sini juga ada colokan dan kursinya, cukup mempermudah pekerjaan saya Mas, biasanya saya harus bolak-balik ke warnet." ujar Mas Priyo ketika saya minta tanggapannya tentang DCS.
Mas Priyo juga mengatakan, secara konsep, tempat ini cukup representatif. Oleh karena itu, ia pun turut mengapresiasi dibangunnya DCS. Namun ke depan, menurutnya perlu ada tambahan kursi karena saat ini jumlahnya masih terbilang kurang dan mengingat kemungkinan tempat ini akan ramai dikunjungi. Tak lama kemudian, teman Mas Priyo datang. Lalu mereka berbincang hangat di kursi yang telah tersedia. Sepertinya mereka memperbincangkan pekerjaan.
(Kelak, saya menggunakan salah satu komputer tersebut untuk menyusun tulisan ini, tentu dengan memanfaatkan jaringan wifi yang ternyata kecepatannya sangat tinggi.)
"Di sini tidak bayar, tidak seperti Co working Space lain. Selain itu, konsep tempat ini juga lebih ramah difabel," ujarnya.
Menurut keterangannya, untuk pemakaian area luar dan ruang kelas, dapat mengajukan proposal dulu 14 hari sebelum pelaksanaan acara. Agar dapat diatur jadwalnya sehingga tidak berbenturan dengan aktivitas lain.
"Insya allah ke depan sampai malam," jawab Mbak April ketika saya singgung soal kemungkinan penambahan jam operasional mengingat biasanya mahasiswa dan siswa yang baru punya waktu pada malam hari.Â
Hal ini juga senada dengan apa yang menjadi kebutuhan Evan Kasidi, desainer website asal Jakarta yang sudah seminggu ini rutin berkunjung ke DCS.
"Tempatnya enak dan nyaman. Gratis lagi. Saya sudah coba tempat lain kan bayar atau minimal beli minuman. Tapi sayangnya di sini tidak bisa sampai malam, walaupun bisa di luar, tapi banyak nyamuk. Jadi saya lanjutkan pekerjaan di penginapan saja." terang Evan.
Kehadiran DCS ini, tentu akan masuk sebagai daftar tempat yang direkomendasikan apabila saya dan teman-teman komunitas serta kampus akan mengadakan acara. Buat Anda yang ingin mengadakan acara di sini juga bisa karena DCS bisa diakses siapa pun.Â
Tempat ini, juga dekat dengan tempat saya ngekos, jaraknya cuma sak uncalan watu dari Gedongkiwo tempat saya ngekos, sehingga bisa menjadi tempat alternatif bagi saya untuk menggarap tesis, selain perpustakaan kampus dan perpustakaan daerah.
Menariknya, konsep pembangunan DCS ini pun juga sudah melibatkan berbagai kalangan masyarakat. Hal ini saya ketahui setelah bertemu dengan salah satu pihak yang turut serta merumuskan rencana pembangunan DCS ini.Â
(Visualisasi tentang aksebilitas DCS bisa dilihat pada video di bawah ini.)
Ya, saya beruntung karena pada kesempatan ini dapat bertemu dengan Pak Dodi dari Komunitas Jogja Beda. Jogja Beda merupakan komunitas yang aktif mendorong inklusivitas di DIY.
"Kami salah satu yang sejak awal mendorong agar DCS dibangun dengan memperhatikan konsep inklusivitas. Karena kan banyak Co working Space tapi aksesbilitasnya kurang, malah bahkan tidak ada sama sekali. Alhamdulillah Diskominfo memfasilitasi diskusi-diskusi dengan kami dari awal, FGD, dan konsultasi lay out DCS. Sampai akhirnya terwujud seperti ini." jelasnya.
Pak Dodi mengakui, DCS saat ini memang belum 100 persen ideal. Namun dirinya yakin, DCS di masa yang akan datang akan terus mengarah ke sana.
"Ini saya kira sudah mewujudkan komitmen di awal dan sudah lebih dari 50 terwujudnya. Tinggal nanti bagaimana ke depan ada penambahan-penambahan. Jadi ada progesnya. Entah dari sisi kegiatannya, aksesbilitas fisik atau nonfisiknya. Itu nanti kan bisa didiskusikan bersama, yang penting upaya ke arah sana selalu terpelihara." kata Pak Dodi.Â
Pak Dodi kemudian mengambil contoh desain bangunan kamar mandi DCS yang sudah dapat diakses dengan oleh difabel. Di Jogja, menurut Pak Dodi, baru DCSlah yang menerapkan hal ini.
Ia juga mengatakan, kebutuhan mendasar teman-teman difabel adalah fasilitas, agar mereka dapat mandiri, maka harus difasilitasi dalam rangka menuju kemandirian mereka. Bukan dianak emaskan. Sehingga nanti efek positifnya akan terbangun pada diri difabel.
"PR-nya bagaimana teman-teman difabel dapat mengakses Co working Space ini. Selain itu DCS ini juga dapat menjadi ruang komunikasi antarsemua. DCS juga harus nyambungke antarkomunitas, untuk kemudian bisa berjejaring. Misalnya ada teman-teman lain yang ingin belajar bahasa isyarat dan lain sebagainya." jelasnya.
Pembangunan DCS yang mengutamakan keinklusifan dan aksesbilitas pada dasarnya memang sudah menjadi amanat Perda DIY Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas.Â
Dalam Perda tersebut dikatakan, pemerintah DIY berkewajiban mewujudkan dan memfasilitasi terwujudnya aksesibilitas penggunaan fasilitas umum bagi penyadang disabilitas. Fasilitas umum tersebut meliputi bangunan umum dan sarananya, jalan umum, dan angkutan umum.
"Kekuatan Jogja adalah kebersamaan", ujar GKR Hayu mengutip pernyataan Ngarso Dalem, saat peresmian DCS 24 Agustus 2018 lalu. Ngarsa Dalem benar. Memang, eksistensi Jogja selama ini ditopang oleh kebersamaan, keguyuban, dan gotong royong. Tengoklah misalnya, upacara adat dan keagamaan di Jogja, pasti selalu melibatkan orang banyak.Â
Selain itu, selama ini, Jogja selalu dikenal sebagai daerah yang penduduknya sangat beragam. Di dalamnya ada masyarakat dari berbagai kalangan, lintas agama, lintas budaya, lintas pekerjaan, lintas usia, lintas hobi, maupun lintas kemampuan. Dengan kondisi tersebut, tentu Jogja harus mewadahi semuanya.
Kehadiran GCS, tampaknya berusaha menjadi wadah kebersamaan itu sehingga mampu menciptakan ekosistem digital yang baik dan kondusif serta produktif di Jogja.
Keistimewaan Jogja akan tercermin salah satunya dari kemampuannya dalam mewadahi semua itu, melalui Diskominfo Coworking Space (DCS) Jogja.
[Tulisan ini diikutsertakan dalam kompetisi Pagelaran TIK yang diselenggarakan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika DIY]
Diskominfo Coworking Space Jogja, 19 September 2018
Darul Azis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H