Beberapa hari lalu, sebuah berita tentang seorang seorang laki-laki yang meninggal dunia diduga karena menjadi perokok pasif menjadi viral di internet. Beberapa teman saya ikut membagikan berita tersebut. Dari tautan berita-berita yang tersebar, kelompok media Tribunnews-lah yang secara masif memberitakannya. Tidak ada lain. Kecuali kemudian diikuti oleh blog-blog kecil entah milik siapa. Namun yang jelas, berita tersebut mula-mula diberitakan oleh Tribun Jogja.
Karena penasaran akan kebenaran berita tersebut, saya kemudian melakukan pencarian secara lebih mendalam. Berdasarkan penelusuran yang saya lakukan, terdapat dua sumber yang dirujuk oleh kelompok media Tribun dan yang disebar oleh netizen, yakni akun Facebook Della Noor Defasa dan akun Facebook Dewi Sartika.
Pada saat saya menulis tulisan ini, akun Facebook Della Noor Defasa sudah tidak saya temukan. Hanya akun Facebook Dewi Sartika yang berhasil saya temukan. Saya tidak tahu, apakah Della Noor Defasa sudah menutup akunnya atau bagaimana.
Pada akun Facebook Dewi Sartika, cerita tentang kematian Fajar Saputra katanya dicopas dari calon almarhum, Della Noor Defasa, dan sudah mendapatkan izin dari yang bersangkutan. Keduanya sama-sama viral dan dikutip oleh kelompok media Tribun dalam waktu yang nyaris berdekatan. Setelah kemarin postingannya viral, kini akun Facebook Dewi Sartika pun seolah semakin ketagihan untuk menyebarkan konten-konten emosional. Anda bisa melihatnya sendiri. Diketahui pula, melalui akun Facebooknya, dia juga menjual jilbab. Saya menduga, kalau dilihat dari pola-pola postingannya, akun Dewi Sartika ini juga terafiliasi dengan Della Dameria, Dhe Marsya, dan mungkin masih banyak lagi akun-akun yang lain.Â
Tanpa mengurangi rasa duka kepada keluarga dan pihak-pihak yang ditinggalkan, jika berita itu benar-benar nyata adanya, saya merasa harus menuliskan tulisan ini. Karena sesuatu di dalam dada saya mengatakan ada kejanggalan dalam kasus tersebut.
Saya sebenarnya menaruh harapan besar kepada Tribun atas terkuaknya 'berita' tersebut. Karena saya sendiri adalah seorang perokok pasif. Saya hidup di lingkungan para perokok. Jika berita itu benar, maka tentu hal itu akan menjadi alarm tersendiri bagi saya.Â
Tetapi sayangnya, sebagai media yang juga turut memviralkan 'berita' tersebut, sepanjang pencarian saya, Tribun tak melakukan klarifikasi dan konfirmasi siapakah sebenarnya Fajar Saputra dan Della Noor Defasa atawa Della Nurmayanthi seperti yang tertulis di undangan.Â
Orang manakah mereka sebenarnya?
Benarkah Fajar meninggal hanya karena menjadi perokok pasif?
Kita tidak pernah tahu itu. Karena media online di masa kini, tak terkecuali Tribun, tidak pernah berusaha memberitahukannya. Mereka hanya memberitakan apa yang viral di media sosial; apa yang menjadi desas-desus; dan apa yang banyak menyita perhatian netizen.
Tapi saya juga paham sih, buat apa melakukan itu semua?
Tidak penting. Karena yang penting adalah KLIK-KLIK-KLIK-KLIK-KLIK dan KLIK Â hingga ratusan ribu kali. Sebagai bloger, saya juga paham akan hal itu. Dan memang, klik adalah sumber utama pendapatan pengelola situs blog/web.Â
Yang penting cerita tersebut sudah viral. Dan kemudian sebagai media online yang progresif dan revolusioner serta terdepan daam mengabarkan, sudah tentu harus memberitakannya ulang a.k.a memviralkan ulang a.k.a menghebohkan ulang. Dan lalu, keesokan harinya tenggelam oleh berita lain. Itu lain soal.
Tapi yang membuat saya lebih tidak percaya dan menyesal lagi: masa' berita sepenting itu tidak mendorong Tribun untuk mencari lebih dalam? Asap rokok, nyawa manusia.
Ah, katanya tadi sudah paham. Tapi kok masih tidak percaya dan menyesal? Gimana sih?
Oke. Menyesal dan tidak percaya kepada Tribun tidak ada gunanya.Â
Nasi sudah menjadi bubur. Klik sudah terjadi. Perkara berita itu benar atau bohong, sudah bukan urusan media yang bersangkutan. Kalau ternyata memang salah, toh bisa dihapus. Lagi pula, ingatan netizen Indonesia kan pendek-pendek, seperti sumbunya. *Eh
Sebagai informasi, kelompok media Tribunnews memiliki 25 (dua puluh lima) subdomain yang memberitakan berita dari daerah-daerah. Dua puluh lima subdomain situs tersebut adalah wartakota.tribunnews.com, jabartribunnews.com, bogor.tribunnews.com, jogja.tribunnews.com, solo.tribunnews.com, jateng.tribunnews.com, surabaya.tribunnews.com, suryamalang.tribunnews.com, bali.tribunnews.com, aceh.tribunnews.com, medan.tribunnews.com, pekanbaru.tribunnews.com, batam.tribunnews.com, jambi.tribunnews.com, palembang.tribunnews.com, bangka.tribunews.com, bangka.tribunnews.com, lampung.tribunnews.com, pontianak.tribunews.com, banjarmasin.tribunnews.com, kaltim.tribunnews.com, makassar.tribunews.com, manado.tribunnews.com, kupang.tribunnews.com, sumsel.tribunnews.com.
Kunci Viralitas: Menguras Emosi
Memang, kalau sudah menguras emosi, sebuah status kemungkinan besar akan viral. Ini tidak hanya berlaku di Indonesia, di luar negeri pun demikian.
Hal ini sesuai dengan apa yang telah dikatakan Jonash Berger dalam Contagious Why Things Catch On. Menurutnya, setidaknya ada 6 kunci mengapa konten/ide bisa menjadi viral, yang kemudian ia sederhanakan dalam suatu akronim S.T.E.P.P.S, yakni Social currency, Trigger, Â Emotion, Public, Practical value, dan Story.
Ryan Holiday, seorang Manipulator Media yang kemudian menulis buku Trust Me, I'm Lying, mengatakan hal senada. Secara lebih spesifik ia mengatakan bahwa sesuatu hal yang mampu menimbulkan kemarahan, sensasionalisme, ekstrimisme, seks, skandal, dan kebencian, bisa dipastikan akan selalu viral.
 Holiday mengaku semua itu bisa dimanipulasi. Berdasarkan pengakuannya, ia melakukan itu pertama-tama dengan mempublikasikan berita-berita palsunya di blog-blog kecil atau memberitahu pengelola blog-blog kecil tentang suatu berita palsu. Sebagai blog kecil yang tidak punya tim dan banyak uang untuk membeli konten, 'bocoran' informasi tersebut tentu saja akan langsung dilahap oleh para pengelola blog. Semakin banyak blog yang memberitakan, maka kemudian berita palsu tersebut menjadi viral. Dan media-media online arus utama pun kemudian turut memberitakannya. Kalau kemudian media-media elektronik seperti televisi pun juga ikut memberitakannya dan itu menjadi isu nasional, maka berarti di situlah letak kesuksesan seorang manipulator informasi.
Di Indonesia, hal itu tidak dimulai dari blog-blog kecil, melainkan dari media sosial. Maklumlah, Indonesia mempunyai penduduk yang begitu banyak dan aktif menggunakan media sosial dan aplikasi obrolan, seperti Instagram, Facebook, Twitter, WhatsApp, BBM, dan Line. Dari sanalah hampir sebagian besar berita diproduksi-dan-diedarkan ulang oleh media-media online semacam Tribun.
Ini bukan tanpa alasan loh. Dalam persepsi sebagian netizen Indonesia itu, kalau suatu peristiwa sudah masuk ke media online, maka mereka akan semakin bangga dan yakin bahwa berita itu benar adanya.
"Beritanya sudah masuk media A nih. Ya kali nggak disebar?"
"Beritanya aja sudah masuk media B, nggak mungkinlah hoaks!"
"Wow, sudah muncul di media C. Tuh kan, bener beritanya!".
Seakan telah mendapatkan afirmasi, lalu netizen pun dengan suka rela dan senang hati menyebarkannya ke mana-mana. Memviralkannya. SUKSES!
Walakhir, saya ucapkan selamat membaca produk-produk jurnalisklik yang sangat berkualitas dan terpercaya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H