Holiday mengaku semua itu bisa dimanipulasi. Berdasarkan pengakuannya, ia melakukan itu pertama-tama dengan mempublikasikan berita-berita palsunya di blog-blog kecil atau memberitahu pengelola blog-blog kecil tentang suatu berita palsu. Sebagai blog kecil yang tidak punya tim dan banyak uang untuk membeli konten, 'bocoran' informasi tersebut tentu saja akan langsung dilahap oleh para pengelola blog. Semakin banyak blog yang memberitakan, maka kemudian berita palsu tersebut menjadi viral. Dan media-media online arus utama pun kemudian turut memberitakannya. Kalau kemudian media-media elektronik seperti televisi pun juga ikut memberitakannya dan itu menjadi isu nasional, maka berarti di situlah letak kesuksesan seorang manipulator informasi.
Di Indonesia, hal itu tidak dimulai dari blog-blog kecil, melainkan dari media sosial. Maklumlah, Indonesia mempunyai penduduk yang begitu banyak dan aktif menggunakan media sosial dan aplikasi obrolan, seperti Instagram, Facebook, Twitter, WhatsApp, BBM, dan Line. Dari sanalah hampir sebagian besar berita diproduksi-dan-diedarkan ulang oleh media-media online semacam Tribun.
Ini bukan tanpa alasan loh. Dalam persepsi sebagian netizen Indonesia itu, kalau suatu peristiwa sudah masuk ke media online, maka mereka akan semakin bangga dan yakin bahwa berita itu benar adanya.
"Beritanya sudah masuk media A nih. Ya kali nggak disebar?"
"Beritanya aja sudah masuk media B, nggak mungkinlah hoaks!"
"Wow, sudah muncul di media C. Tuh kan, bener beritanya!".
Seakan telah mendapatkan afirmasi, lalu netizen pun dengan suka rela dan senang hati menyebarkannya ke mana-mana. Memviralkannya. SUKSES!
Walakhir, saya ucapkan selamat membaca produk-produk jurnalisklik yang sangat berkualitas dan terpercaya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H